Wednesday, February 1, 2012

Cerpen: Sore Terakhir di Taman Kota


Post saya kali ini bertujuan tak lain tak bukan untuk menunaikan janji saya beberapa hari pekan lalu. Yakusoku nani? Janji apa? Silakan dibaca di sini.
Di bawah ini adalah salah satu cerpen saya yang dimuat di antologi Kolase 2: Dari Balik Jendela. Judulnya Sore Terakhir di Taman Kota.

Selamat membaca!


SORE TERAKHIR DI TAMAN KOTA

MALAM ini sepertinya akan menjadi lebih panjang dari biasanya. Menonton televisi, mendengarkan radio, membaca novel, bahkan tidur rasanya tak mampu membantu untuk membuat malam berlalu lebih singkat.Jika saja memutar jarum jam di dinding ruang tamu juga secara otomatis membuat bumi berputar lebih cepat dan pagi segera datang menggantikan malam, tentu sudah kulakukan hal itu semenjak tadi. Semenjak aku termangu sendirian di atas atap rumah, menikmati malam yang akan lebih panjang ini dengan ditemani angin malam yang segar dan teriakan-teriakan anak tetangga yang terdengar.

Dua minggu ini, aku selalu menghabiskan malam-malamku di sini, tapi tak pernah sendiri. Baru kali ini saja terpaksa aku melakukannya. Karena memang sahabatku yang biasanya, tak ada. Hari ini, katanya, ia tak bisa menemaniku. Ia harus pergi menemani kedua orang tuanya ke luarkota, dan baru bisa kembali esok sore.

Aku rebah di atas genting. Kubah super raksasa berwarna hitam dengan bintik-bintik cahaya yang terbentang di hadapanku tampak begitu jauh, sejauh tempat sahabatku sekarang berada. Sesekali, pesawat-pesawat terbang melintas. Lampu-lampu mereka yang berkelap-kelip seperti menggodaku untuk lebih baik mengejar mereka saja, daripada termangu sendirian tanpa kawan.Pesawat-pesawat itu menawariku sebuah tumpangan untuk ikut terbang, menggerayangi indahnya dunia kala malam tiba, dan menyusuri tiap liku aktivitas semua anak manusia dari ketinggian. Tapi aku menolak ajakan mereka. Pikirku, dengan pesawat sekecil itu, mereka tak akan sanggup menahan berat badanku.

Kualihkan pandangan, mengacuhkan pesawat-pesawat centil yang tadi menggodaku. Mengetahui hal itu, bintang-bintang mengambil alih. Mereka mengedipkan mata padaku, mengajakku untuk menelusuri tempat mereka, bertabrakan dengan asteroid-asteroid, menyalami komet-komet, dan mengobrol dengan satelit-satelit. Kebetulan langit sedang cerah. Tapi tawaran seindah itu juga kutolak.

Aku lebih memilih untuk menghitung mereka, bintang-bintang itu, dari tempatku ini. Mereka tetap berbaik hati untuk tetap menampakkan diri meskipun tadi aku menolak ajakan mereka. Jumlah mereka banyak sekali. Setidaknya, aktivitas menghitungku bisa membantuku melalui malam yang akan lebih panjang ini.

Satu, dua, tiga, empat, lima, enam, tujuh,….

Aku menghentikan hitunganku. Ah, aku jadi ingat sahabatku.

Ia tak pernah bisa menghitung angka enam. Setelah sampai di hitungan lima, ia pasti berujar tujuh.


*****


SUARA itu! Aku mengenalnya dengan baik, maka kutinggalkan televisiku, berlari ke arah pintu dan memutar kunci.

Sebuah sepeda motor sudah masuk ke halaman. Ibu dan adikku sudah turun, sementara ayah masih duduk di atas sepeda motor. Melihatku berdiri di pintu, adikku langsung menghambur padaku. Aku berlutut, menyambut pelukannya. Hangat sekali.

Ia lantas berceloteh dengan semangat tentang pengalamannya, hari itu dan kemarin, bersama ayah dan ibu. Ia juga menunjukkan pergelangan tangannya. Sebuah gelang terpasang di situ. Katanya, ia juga telah meminta ibu untuk membeli gelang yang sama untukku. Aku menganggung-angguk, dan mengacak rambutnya.

Kuajak ia menghitung bilah bambu yang terangkai menjadi gelang itu. Ia mengangguk setuju, dan mulai menghitung. Satu, dua, tiga, empat, lima, tujuh, delapan,….

Aku tertawa keras.Ia mengerti di mana salahnya, jadi ia ikut tertawa. Kami berdua terus tertawa, sampai ayah dan ibu masuk rumah dan menyuruh adikku agar segera mencuci tangan dan kaki.


*****


ADIKKU mengangsurkan tangannya di depan hidungku. Seketika, gambar di televisi menjadi kabur, digantikan seuntai gelang dari bilah bambu berwarna cokelat tua.

Kubilang padanya, ini sungguh gelang yang bagus. Ia lantas menawarkan untuk memasangkannya di pergelangan tanganku. Segera aku mengangguk.

Sekarang gelang itu terpasang dengan rapi di tanganku. Kemudian ia mengangkat tanganku, juga tangannya. Tangan kami berdua lantas dijejerkan. Katanya, aku sayang kakak.

Aku memeluknya, erat sekali.Saking eratnya, ia mungkin merasa sesak. Mulut mungilnya berteriak, meronta-ronta agar aku melepaskan pelukanku. Aku hanya tertawa. Kusuruh ia menghitung sampai sepuluh, baru aku akan melepas pelukanku.

Ia menghitung dengan suara keras. Satu, dua, tiga, empat, lima, tujuh, delapan, sembilan, sepuluh.

Aku tertawa, dan kulepaskan pelukanku. Seperti aku, adikku juga tertawa. Di sela-sela tawanya, ia berjanji akan belajar berhitung dengan benar.

Kupegang janji itu, dik.


*****


ESOK aku harus kembali ke Jakarta, bermil-mil jauhnya dari rumah, untuk meneruskan beberapa semester yang masih menanti. Liburanku di rumah hanya tersisa malam ini. Dengan alasan itu, sore ini aku mengajak adikku pergi ke taman kota. Karena jarak rumah dan taman kota hanya tiga ratus meter, ibu menyuruh kami agar berjalan kaki.

Sepanjang jalan, tak henti-hentinya adikku mencoba menghitung dengan benar. Tapi sebanyak apapun dia menghitung, hitungannya tak pernah mengandung angka enam. Bahkan sampai kami tiba di taman kota, ia belum juga berhasil memasukkan angka enam dalam kegiatan menghitungnya.

Di taman kota, segera adikku menuju ayunan, dan duduk di atasnya. Ia berteriak, menyuruhku agar cepat mendekat dan mendorong ayunannya. Sepanjang permainan, ia tak berhenti tertawa. Kunikmati tawanya. Kurekam dengan baik sore terakhir dengannya ini, sebelum aku tak akan bertemu dengannya lagi untuk waktu lima bulan ke depan.

Tiba giliranku yang duduk di atas ayunan. Adikku yang harus mendorong. Tapi ia tak mau. Katanya, tubuhku berat, jadi ia tak kuat jika harus mendorongku. Selain itu, katanya, ia haus sekali. Jadi ia kuajak membeli es kelapa muda kesukaannya.

Dengan menggenggam plastik berisi es kelapa muda, ia kugandeng ke sebuah panggung besar yang disediakan di situ. Jika malam minggu, kadang ada konser kecil di sini.

Tanpa kusuruh, ia menghitung tiap anak tangga yang kami naiki. Tapi, lagi-lagi, ia belum juga berhasil menghitung angka enam sesudah lima. Selalu tujuh yang keluar. Kubetulkan hitungannya, dan ia hanya mengangguk-angguk lucu.

Di atas panggung, adikku duduk di pangkuanku. Kami menikmati angin sore sambil menikmati segarnya es kelapa muda. Matahari sore memancar tidak begitu panas, namun warnanya yang oranye begitu mewarnai sore ini. Pohon-pohon jadi nampak indah dengan tambahan sinar oranye milik sang matahari. Indahnya sore ini juga dinikmati banyak orang yang tengah berkumpul di taman kota ini.

Tengah asyik bernyanyi-nyanyi kecil dengan adikku dan es kelapa muda kami belum juga habis, tapi ibu sudah menghubungi telepon genggamku. Ibu menyuruh kami pulang, karena ada bibi datang berkunjung ke rumah.


*****


AKU dan adikku menyusuri anak tangga, turun dari panggung. Tak lupa, adikku menghitung jumlah anak tangga seperti ketika naik tadi.

Satu, dua, tiga, empat, lima, enam, tu….

Brakk..!

Aku sempat melihat gelang bambu di tanganku dan tangan adikku, sebelum semua menjadi gelap.


*****


ADIKKU sudah menunaikan janjinya. Ia berhasil menghitung dengan baik pada pertemuan terakhirku dengannya. Tak lama lagi, peti jenazahku akan diangkut ke pemakaman dekat rumah. Kulihat adikku terus menggelayut pada ibu, sambil menangis.

Tenang, sayang. Kakak baik-baik di sini. Teruslah menjadi anak yang baik, dan jadilah sahabat untuk ibu dan ayah, melebihi persahabatan hebat kita berdua.

Kulihat adikku menganggukkan kepalanya.

*****




Oke, cerpennya selesai. Segala cacian, makian, kritik, saran, sanjungan, pujian, atau apapun silakan dituangkan di kolom komentar di bawah.

Terima kasih telah membaca cerpen saya. Adios!!



Salam,
Wahyu Widyaningrum

0 comments:

Post a Comment