Tuesday, June 26, 2018

Gerimis Pagi Tadi


Aku tak meresahkan panjang jarak di antara kita.

Yang lebih membuatku khawatir adalah tingginya keakuan di kepala kita masing-masing, yang semakin memperpanjang jarak itu.

Dan suatu saat, barangkali, kita masing-masing akan berada di titik ujung. 

Lalu tak saling mengenal. 

Tak berjabat tangan. 

Tak saling bertanya kabar. 


Yang paling kutakutkan, tak saling mendoakan.



Jakarta, 26 Juni 2018
Gambar dari https://gratisography.com/photo/black-white-park-bench/

Tuesday, June 5, 2018

Saturday, April 21, 2018

また、君の誕生日


Halo. Apa kabar?

Sudah berapa banyak hubungan pertemanan yang kamu jalin? Empat? Sembilan?

Ah, tapi kan kamu bukan tipe orang yang sengaja datang kepada seseorang lalu langsung mengangsurkan tangan dan berkata, “hai, maukah kau jadi temanku?” Duh, membayangkannya saja saya jadi tertawa. Wajahmu tak cocok untuk melakukan itu.

Kamu selalu berkenalan dengan cara yang pelan. Kamu mendekat dengan lambat. Lalu tiba-tiba sudah saling memanggil nama dan saling meminjam alat tulis. Atau catatan.

Tentang catatan ini, ada yang sedikit membuat saya sebal. Mungkin sebab itulah saya tak mungkin bisa lupa.

Saat pelajaran berlangsung, saya yang bebal otaknya ini harus merekamnya. Lewat tulisan. Bisa saja saya tidak melakukannya, tetapi apa yang saya peroleh dari guru hari itu tak akan bersisa pada keesokan harinya. Saya mencatat apapun yang disampaikan guru—kecuali lawakannya yang garing—ke dalam buku, dengan tulisan tangan saya yang unik.

Buku catatan saya ini, lantas sering sekali berpindah tangan kepada kamu, yang dengan indahnya justru mendengkur di meja paling belakang. Tak jarang ia kembali bahkan lima menit sebelum pertemuan berikutnya. Saya diamkan saja itu, bukan karena saya tak kuasa meminta ia kembali darimu, tapi lebih karena saya lelah menagih dan bosan mendengar alasanmu yang alpa membawanya kembali.

Terlebih, angka-angka di lembar hasil penilaianmu selalu lebih tinggi daripada saya. Itu yang paling berhasil membuat saya sebal.

***

Kadangkala saya berpikir betapa enaknya menjadi kamu. Saya bertaruh, di sana kamu tak harus bertemu manusia-manusia yang senang berbasa-basi dan hanya akan menghabiskan waktumu. Lalu demi menyambut baik basa-basi itu, tak jarang beberapa topeng harus dipasang. Bahkan muak pada basa-basi juga akan membuat seseorang lihai pula dalam berbasa-basi. Begitu terus sampai air bisa mengalir dari laut ke gunung.

Apa saja kegiatanmu di sana?

Jangan merokok! Kata orang itu tak baik untuk kesehatan. Saya setuju dengan itu. Oh tapi lebih karena saya tak suka dengan asapnya. Apakah di sana ada rokok? Kalaupun ada, jangan dibeli! Jikalau teman barumu memberimu sebatang, bolehlah kau terima. Terima saja, tapi jangan dibakar dan diisap. Berikan saja pada temanmu yang lain. Semoga kamu mengerti.

Suatu saat, saya akan berkunjung ke tempatmu.

Ketika saat itu tiba, apakah kamu ingin saya membawakan oleh-oleh untuk kamu?



21 April 2018

Sunday, March 4, 2018

Orang Kecil Satu dan Orang Kecil Dua




Ada dua orang kecil yang tinggal bersamaku di sini.

Mulanya aku tinggal seorang diri. Kalau sedang banyak angin yang menerbangkan debu-debu sehingga mereka akhirnya hinggap dan menumpuk di beberapa sudut, dirikulah yang akan mengambil sapu dan mengangkat debu-debu itu. Kutaruh mereka di dalam wadah di pojokan, yang beberapa hari sekali kulempar ke luar.

Kalau aku sedang lupa menutup gelas yang isinya juga lupa kuhabiskan, lalu seekor kucing masuk melalui pintu yang lupa kututup, kemudian ia dengan anggunnya menyenggol gelasku dan menumpahkan isinya, dirikulah yang akan mengambil lap dan mengeringkan bekas senggolan tak sengaja itu. Kutaruh gelasnya di bak cuci piring, yang baru akan kubersihkan beberapa waktu setelahnya.

Kalau hari-hari membuatku penat raga dan jiwa hingga tak sempat melirik apapun lantas teralihkan dari melemasnya daun dan menghitamnya kelopak mawar yang kutaruh di vas di meja tengah, dirikulah yang akan membungkuk-bungkuk minta maaf pada satu-dua batang mawar merah—atau putih, yang lebih jarang kutemui sehingga jarang pula mampir ke atas meja—atas kelalaianku. Kubuang mereka dengan segenap penyesalan, lalu kucuci vasnya, yang entah berapa lama lagi baru akan berisi kembang segar.

Sebab terlalu lama sendiri, aku tak pernah mempersoalkan apapun. Sudah kubilang tadi: aku terbiasa sendiri dalam membersihkan debu-debu, mengelap tumpahan air, dan mencuci wadah kembang. Kalaupun ada yang tak biasa kulakukan, barangkali itu adalah mengangkat sekarung beras. Lebih-lebih yang ukuran 25 kilogram. Dua minggu sekali aku membeli beras di pasar. Ada sekitar enam karung dan tiga bak berisi beras berjejer di atas sebuah meja rendah. “Yang paling pulen, Pak,” kataku. Aku tak menunjuk salah satu karung ataupun bak. Kupercayakan seluruhnya pada si bapak penjual.

“Yang ini, Neng? Sekilo tiga belas ribu.”

“Kalau yang ini?” Ah, toh akhirnya aku menunjuk juga ke salah satu karung.

“Sebelas ribu, Neng. Yang ini sebelas setengah, yang ini dua belas, yang ini sepuluh setengah.”

Aku memilih untuk percaya pada petunjuk si bapak penjual. Beras paling pulen, tiga belas ribu rupiah, satu kilo. Sebab aku hanya selalu beli beras sebanyak satu kilo, jadi aku tak punya alasan untuk mengangkat sekarung beras 25 kilogram, apalagi membelinya. Itu hanya akan membuat mereka menjadi sarang kutu-kutu kecil berwarna hitam, dan rasa berasku akan berkurang drastis.

***

Aku sedang mengupas jambu biji saat dua orang kecil itu datang. Mereka datang pada saat yang bersamaan. Untunglah postur tubuh mereka sedikit berbeda—meskipun sama-sama kecil dan mengenakan kacamata, sehingga aku mudah mengingat keduanya.

Orang kecil Satu tubuhnya agak tambun. Bukan tambun, hanya agak tambun saja. Perutnya sedikit buncit, lipatan-lipatan dagunya cukup kentara. Adapun postur orang kecil Dua berkebalikan dengan orang kecil Satu: kurus, tak ada perut buncit, tak tampak lipatan dagu. Oh, ada lagi yang berbeda: senyum orang kecil Dua lebih manis dan segar dibandingkan senyum orang kecil Satu, yang tak pernah menghilangkan kesan serius dari wajahnya.

Kupersilakan orang kecil Satu dan orang kecil Dua duduk terlebih dahulu. Kulanjutkan aktivitasku. Jambu biji yang sudah kuupas lantas kuiris, kutata di piring, dan kuhidangkan di atas meja di depan mereka. “Silakan,” kataku, “saya akan mengambil minuman dahulu di dalam.”  

Saat aku kembali dengan nampan dan dua gelas minuman di atasnya, kulihat jambu biji yang tadi kuupas telah tandas.

Mereka berdua tersenyum. Kali ini sama-sama manis dan segar.

Mereka menyenangi (jambu-biji)ku. Begitu pikirku.

***

Sebab aku pun menyenangi orang kecil Satu dan orang kecil Dua yang terbukti lahap menyantap jambu biji yang kuhidangkan, kuizinkan pula mereka tinggal bersamaku di sini. Setidaknya aku jadi punya kawan untuk berbagi jambu biji. Atau durian, jika nanti tiba musim durian.

Aku merupakan tipe orang yang tak banyak berkata-kata, jadi tak banyak obrolanku dengan mereka berdua. Aku pun bahkan tak pernah bertanya apakah mereka betul menyenangi jambu bijiku saat itu.

Orang kecil Satu, ternyata, mengeluarkan kata-kata dengan jumlah yang jauh lebih sedikit daripada aku. Aku terkadang merasa takut padanya, terlebih di wajahnya jarang sekali tersunggi segaris senyuman. Seingatku hanya satu kali saja ia melakukannya, ya ketika aku kembali dengan dua gelas minuman itu.

Orang kecil Dua, kupikir sama saja denganku. Irit kata-kata juga, tapi tidak separah orang kecil Satu. Tapi aku tak pernah takut padanya. Oh pernah, satu kali saja. Saat itu aku mengajaknya ke pasar melewati jalan yang belum pernah kulalui sebelumnya. Kami berhasil sampai di pasar dengan selamat, tapi butuh waktu empat kali lipat saat kami kembali dari pasar. Aku membawanya melintasi jalan-jalan yang ternyata salah. Aku capek, dan kupikir ia pasti lebih capek sebab ia orang kecil yang kakinya pendek saja sehingga butuh jumlah ayunan kaki yang lebih banyak.

***

Suatu hari, aku berinisiatif mengajak mereka bermain. Permainan ini ideku sendiri, dan belum pernah kumainkan sebelumnya. Aturan mainnya sederhana saja. Aku bersembunyi, lalu orang kecil Satu dan orang kecil Dua akan mencariku sampai ketemu. Siapa yang terlebih dahulu menemukan aku, itulah pemenang permainan ini. Pagi harinya aku sudah menyiapkan sepiring martabak daging dan semangkuk es mentimun sebagai hadiah bagi pemenang.

Aku sudah bersembunyi. Dari tempatku ini, sungguh aku leluasa sekali mengamati pergerakan mereka.

Orang kecil Satu, kulihat ia masuk sebentar ke dalam rumah. Ditentengnya palu saat ia keluar. Aku terkejut dengan barang bawaannya itu, dan tak bisa berhenti menebak-nebak apa yang ia lakukan selanjutnya.

Langkah orang kecil Satu tak salah lagi sudah menuju ke arahku. Jelas tak seru kalau ia bisa menemukanku dengan mudah.

Oh, sepertinya aku salah.

Di akhir langkahnya, orang kecil Satu berbelok. Ia menghadap tembok yang berdiri di sebelah kananku, tak jauh dari tempat persembunyianku.

Tangannya mulai berayun. Palu yang ia pegang dihantamkannya ke tembok. Satu kali, dua kali. Pada hantaman ke sekian kali, tembok mulai bergetar.

Kualihkan pandangan mata kepada orang kecil Dua. Tadi begitu orang kecil Satu masuk ke dalam rumah, orang kecil Dua juga ikut berbalik badan. Namun ia mengambil jalan memutar ke luar, lalu berbelok lagi, melipir lewat jalan samping yang tembus ke belakang.

Orang kecil Satu terus saja menghantam tembok.

Orang kecil Dua tak menghentikan langkahnya berjalan ke belakang rumah.

Aku masih menunggu salah satu dari mereka berteriak, “ketemu!” saat melihatku, yang kemudian akan kuhadiahi sepiring martabak daging dan semangkuk es mentimun.



Foto: 
https://www.pexels.com/photo/person-foot-prints-on-sands-photo-723997/

Wednesday, January 31, 2018

Dua yang Tak Boleh Alpa




Beberapa waktu lalu, seorang wanita di Jepang menyita perhatian masyarakat. Media-media besar Jepang seperti Mainichi Shimbun, Yomiuri Shimbun, Asahi Shimbun, dan NHK tak mau ketinggalan menaikkan berita tentang Yuuka Ogata, nama wanita tersebut. Perkaranya adalah, Yuuka yang merupakan anggota dewan kota Kumamoto, Perfektur Kumamoto, Jepang, tersebut hadir di ruang rapat dewan kota sembari menggendong bayinya yang baru berusia tujuh bulan. Aktivitas yang dianggap tak lazim tersebut diprotes dan dikritik oleh anggota dewan lain, yang kemudian berujung dengan ‘mengalahnya’ Yuuka. Ia akhirnya menitipkan bayinya pada kawannya di luar ruang rapat. Rapat lantas dimulai, molor 40 menit dari jadwal semula.
Motivasi Yuuka membawa bayinya sederhana saja. Ia ingin membuka mata masyarakat bahwa mengasuh anak dan bekerja adalah dua hal yang tidak mudah. Ia pun ingin menyuarakan perasaan para ibu bekerja yang tiap pagi bergulat dengan suara hatinya sebelum pergi bekerja dan meninggalkan anaknya bersama pengasuh atau di tempat penitipan.
Kalau zaman sekarang sebutan wonder woman langsung diidentikkan dengan Gal Gadot yang ayu, seksi, dan kuat,  barangkali kita perlu diingatkan lagi dengan wonder woman yang—meskipun mungkin tidak seayu dan seseksi Gal Gadot tadi, tapi kekuatan dan kehebatannya bisa-bisa memindahkan sebuah gunung. Wonder woman inilah yang semoga tidak pernah dilupakan: istri di rumah. Atau jika hal terdekat lain dalam hidup adalah kantor, maka silakan tengok ibu-ibu di kubikel atau ruangan sebelah; yang sudah memiliki anak, apalagi. Merekalah sewonder-wondernya woman.

Menjaga Emosi, Jurus yang Jelas Dikuasai Ibu-Ibu Kubikel Sebelah

Jika suatu hari ada seorang ibu yang ditinggal mudik ART-nya kemudian membawa anaknya ke kantor, lantas ternyata rekan-rekan kerjanya tidak menerima hal tersebut dan malah justru memprotes tindakan si ibu, apa yang harus ia pertahankan?

Emosinya.

Dalam kondisi demikian, melawan atau memberikan penjelasan dengan emosi meletup-letup barangkali bukan tindakan yang elegan, mengaburkan permasalahan dan poin diskusi, serta justru menghilangkan simpati dari pihak luar.

Disadari atau tidak, wanita merupakan kelompok nondominan dalam lingkungan komunitas kantor; sementara laki-laki adalah kelompok dominan. Wanita sebagai kelompok nondominan ini seringkali dianggap tidak ada: tidak dipandang atau didengar sebagaimana laki-laki. Laura Liswood, penasehat senior Goldman Sachs, pernah mewawancarai Margaret Thatcher. Dalam wawancara tersebut Thatcher bercerita ia pernah berguru pada seorang pelatih bicara untuk belajar berbicara seperti laki-laki, mulai dari gaya bicara hingga intonasi. Hal tersebut ia lakukan agar suaranya didengar, terutama oleh laki-laki. Laura Liswood juga berpendapat bahwa kelompok nondominan hanya memiliki dua pilihan: berubah—seperti yang Thatcher lakukan—atau gagal, tumbang oleh kuatnya pengaruh kelompok dominan.

Dalam konteks pekerjaan, berubah dapat berarti banyak hal: menyesuaikan ritme kerja dengan kelompok dominan—dalam hal ini laki-laki, melakukan suatu terobosan agar keberadaannya diakui, atau mengubah jenis (tone) suara agar suaranya didengar.

Keputusan bagi seseorang untuk melakukan perubahan tersebut tentu berdampak pada emosinya. Ia harus menyiapkan diri untuk berubah, serta dalam perjalanan perubahan tersebut tidak menutup kemungkinan ia tak mampu mengejar lingkungannya sehingga harus ada cadangan emosi yang lebih besar lagi yang harus dipersiapkan.

Rasanya bukan rahasia jika wanita perlu mengeluarkan sedikitnya 13.000 kata dalam sehari. Masalahnya adalah, untuk dapat ‘melalui rintangan’ dari kelompok dominan, salah satu metode paling ampuh adalah dengan mendengar. Mendengar merupakan salah satu strategi yang dipakai demi didengar dan dipahami.

Rick Brinkman dan Rick Kirschner, tandem dalam dunia praktisi naturopati, pembicara profesional, dan trainer handal, dalam bukunya Dealing with People You Can’t Stand, menekankan bahwa mendengar ini bukan sembarang mendengar. Ada ego pribadi yang harus disingkirkan untuk sementara dan ada komentar tak penting yang harus ditahan agar tak keluar untuk beberapa waktu. Trik sederhana yang dapat diterapkan adalah dengan mendengar secara aktif, yang memiliki dua tujuan, yaitu tujuan emosional—orang lain merasa bahwa kita memahami bagaimana perasaan mereka—, serta tujuan intelektual—orang lain percaya bahwa kita memahami apa yang mereka sampaikan.   

Mari kita enyahkan terlebih dahulu fakta mengenai berapa kata yang mustinya dikeluarkan dalam satu hari, baik oleh laki-laki maupun perempuan. Proses mendengar aktif saja, bagi kedua pihak, sudah merupakan suatu tantangan tersendiri. Ini sebab hal tersebut tidak semudah apa yang dibayangkan. Ada empati di sana. Ada gestur tubuh. Raut wajah. Volume suara. Pemilihan komentar. Pun konfirmasi cerita, agar tidak salah menilai apa poin yang menjadi fokus lawan bicara. Ini tentu tak mudah.

Bagi ibu bekerja, tantangan ini menjadi berlipat. Bukan hanya di kantor, ia pun diharapkan dapat melakukan proses mendengar aktif di rumah bersama keluarganya. Padahal di saat yang sama, ada 13.000 kata yang menanti untuk dikeluarkan agar ia tetap terjaga emosinya.

Menomorsatukan Kesehatan

Bagi tiap orang, wajib hukumnya menjaga kesehatann tubuhnya. Tak terkecuali ibu bekerja. Dengan logika sederhana, dapat dipahami bahwa ibu bekerja memiliki tanggung jawab lebih. Ada kepala-kepala yang juga harus ia pastikan kesehatannya melalui beragam cara, misalnya memastikan asupan gizi dan kebutuhan kalori cukup serta menjaga pola makan keluarga.

Namun tak jarang seorang ibu lebih mengutamakan keluarganya dibandingkan dirinya sendiri.

Sebuah penelitian oleh Klinik Marunouchi, Jepang, baru-baru ini menunjukkan bahwa wanita-bekerja makan lebih sedikit daripada kebutuhan kalori hariannya. Asupan harian ada di kisaran angka 1.479 kilokalori, jauh dari kebutuhan harian sebesar 2.000 kilokalori. Angka 1.479 kilokalori tersebut bahkan lebih rendah dari asupan kalori per hari pada masa setelah Jepang kalah dalam Perang Dunia II.

Penyebab rendahnya asupan tersebut adalah lantaran tingginya kesibukan di kantor. Rapat seringkali berlangsung hingga memotong waktu makan siang, sementara pegawai harus kembali di mejanya tepat waktu setelah jam istirahat. Roti atau biskuit menjadi pilihan yang dirasa tepat untuk mengisi perut. Bahkan pada situasi lain, seseorang terlalu tenggelam dalam pekerjaannya dan baru menyadari sore telah membayang. Sementara saat pagi, orang lebih suka menambah waktu tidur sehingga tak punya cukup waktu untuk sarapan.

Kondisi tersebut menimbulkan kekhawatiran terhadap masa depan bayi dan anak-anak di Jepang. Hasil penelitian OECD di bidang kesehatan menunjukkan bahwa pada tahun 2011, 10% bayi yang lahir di Jepang memiliki berat badan di bawah 2,5 kilogram. Ditengarai, salah satu penyebabnya adalah kurangnya asupan harian para ibu bekerja.

Potret di Jepang tersebut bukan tidak mungkin dapat juga terjadi di Indonesia. Beban kerja yang cukup tinggi dengan tenggat waktu yang ketat dan ritme yang cepat tentu dapat membuat seseorang tak menyadari bahwa belum ada apapun yang masuk ke perutnya hingga jam pulang menjelang. Maka bagi ibu bekerja, selain kesehatan keluarga, tak bolehlah ia lalai terhadap kesehatannya sendiri.

Keputusan yang diambil oleh para ibu bekerja tentunya sudah bukan pada level untuk dipertanyakan kembali. Dengan mengambil pilihan tersebut, ibu bekerja telah menyadari tiap konsekuensi yang akan muncul. Tugas kita sebagai orang-orang yang ada di sekelilingnyalah untuk mendukung mereka agar dapat melangkah dengan selaras sebagai pekerja dan ibu yang telah memiliki anak serta menjalankan peran dengan sebaik-baiknya.



  
Referensi:
Brinkman, Rick, dan Rick Kirschner. 2002. Dealing with People You Can’t Stand: How to Bring Out the Best in People at Their Worst. McGraw-Hill.
Liswood, Laura. 2009. The Loudest Duck: Moving Beyond Diversity While Embracing Differences to Achieve Success at Work. Wiley.
https://www3.nhk.or.jp/news/html/20171211/k10011254281000.html

Gambar dari pexels.com

Sunday, January 14, 2018

わすれなぐさ

よくある
聴く曲
には
完璧で
理想の相手

何年間
君と
ここまで来て

手のぬくもり
ってどんな感じが
するんだろう
濡れた唇
ってあったかいか
冷たいんだろう
寄せる肩
って見守られている
と同じ感じがするんだろう

そんなのは
どうでもいい
って
誰にでも
伝えたくて

道端に
必ず外側を
とる君
汗びしょびしょで
バスを乗るまで
見送る君
ミスでまわり道
をとらなきゃ
いつも笑顔で君
辛い日々に
応援言葉を
届く君
些細なこと
に対して
笑う君

あぁ無理
紙使い過ぎたり
ペンのインクも
もうすぐ無くなったり

だって、
君自分は優しさ。

Monday, September 18, 2017

Karena Makan Bukan Hanya Urusan Perut: Resensi 'Kelas Memasak Lillian'


Judul buku                          : Kelas Memasak Lillian
Pengarang                          : Erica Bauermeister
Penerbit di Indonesia           : Penerbit Bentang
Tahun terbit                        : 2009
Tebal buku                          : x + 234 halaman


Masakan ibu, kabarnya, menuruti peringkat teratas sebagai masakan ternikmat. Sebabnya hanya satu, menurut saya: karena ia istimewa.

“Bauermeister mengungkapkan betapa di balik kenikmatan dan keistimewaan makanan, tersimpan sebuah kisah menawan – Publishers Weekly”


*****

Berkisah tentang Lillian, seorang pemilik kedai makan yang membuka kursus memasak berjudul Sekolah Bahan-Bahan Pokok, beserta delapan muridnya dengan kisahnya masing-masing yang melatari alasan mereka bergabung dalam kursus dan akhirnya dapat menemukan keindahan dan makna kehidupan lewat makanan.

Tom, misalnya. Setelah menikah dengan Charlie—wanita galak yang menjadi seniornya di restoran tempatnya bekerja paruh waktu, tetapi mengajarinya banyak hal tentang memasak—, ia mengetahui bahwa Charlie terkena kanker payudara. Charlie tetap bersikap menyenangkan dan positif meskipun ia tak lagi sama: tak bisa lagi berdiri di pancuran saat mandi, serta kulitnya harus terus diolesi losion sebab obat-obatan menyedot kelembapannya. Sembilan bulan setelah kepergian Charlie, seorang teman mengajak Tom ke restoran milik Lillian untuk makan malam. Di sana, ia melihat selembar kertas berisi pengumuman bahwa Sekolah Bahan-Bahan Pokok akan kembali dibuka. Tom menyukai segalanya tentang restoran Lillian—suasana, atmosfer, rasa, dan kebetulan-kebetulan lain—, dan ia memutuskan menjadi murid pada kursus yang memberi warna baru dalam kehidupannya.

Atau tentang Chloe, yang sangat kikuk—itu pengakuannya. Tak ada yang salah dengan hal tersebut, kecuali kekikukan itu merepotkan Chloe dalam menjalani pekerjaannya sebagai pembersih meja di restoran. Ia sering sekali menjatuhkan barang, termasuk pajangan serangkaian alat makan yang sangat spektakuler. Barangkali sebab itu, ia tak bertahan lama bekerja di suatu restoran. Bombay Grill, Green Door, Babushka, dan Satoro’s menjadi tempat kerja Chole berikutnya; yang sayangnya tak mampu meredakan kikuknya dan keseringannya menjatuhkan barang. Suatu hari ia bertemu Lillian di Satoro’s, diundang ke restorannya, dan Lillian mampu menimbulkan kepercayaan diri Chloe bahwa ia bisa ‘sembuh’ dari kebiasaannya. Begitulah: Chloe terkesan, dan menjadi murid Lillian.

Selain kisah tiap muridnya dan bagaimana tangan Lillian secara sederhana dan tidak menggurui mampu memberi warna pada kedelapan orang itu, saya menyukai ungkapan pengarang saat menggabungkan hal-hal tak kasat mata dengan sesuatu yang nyata.

Misalnya, bagaimana menggambarkan aroma yang nikmat? Atau bunyi yang khas saat suatu bahan dimasukkan ke dalam penggorengan?

Bauermeister memiliki kekhasan tersendiri untuk semuanya.

“Lillian mengambil jeruk dan mendekatkannya ke hidung lalu menghirup baunya. Baunya seperti sinar matahari, tangan-tangan yang lengket, daun-daun hijau yang berkilauan, dan langit biru tak berawan.”

“Batang cokelat keras berbentuk bulat itu dibungkus plastik kuning bergaris-garis merah. Cokelat terlihat berkilau dan hitam saat Lillian membukanya. Cokelat itu mengeluarkan bunyi keras saat diparutkan ke bagian parutan yang tajam, lalu jatuh melayang-layang pelan ke atas meja. Selanjutnya, keluarlah bau kamar belakang berdebu dan dipenuhi aroma cokelat yang pahit manis dan surat-surat cinta lama, bagian bawah laci meja antik, dan daun-daun terakhir musim gugur, almon, kayu manis, dan gula. Serpihan cokelat itu pun masuk ke dalam susu.”

“Waktu potongan-potongan bawang bombai mulai menghilang ke dalam mentega, Lillian segera menambahkan irisan jahe. Kemudian, muncullah sebuah aroma baru, sebagian seperti ciuman, sebagian seperti tamparan main-main. Setelah itu, bawang putih dimasukkan, seperti sofa lembut yang hangat di bawah jahe, diikuti garam dan merica.”

Deskripsinya, bagi saya, terlampau manis. Saya berkali-kali dibuat jatuh cinta lewat banyak penggambaran dalam novel ini. Namun barangkali saya memang terlalu mudah jatuh cinta; karena selain deskripsi tadi, saya pun senang dengan penceritaan laku Lillian yang begitu bijaksana dan mampu menyesuaikan dengan latar belakang maupun cerita masa lalu tiap muridnya. Lillian, melalui masakannya, mampu meyakinkan banyak orang—setidaknya delapan siswanya—bahwa makanan tak hanya sekedar dimasak asal-asalan untuk selanjutnya masuk mulut dan dicerna. Proses mengolah hidangan sampai tersaji di meja adalah suatu seni yang istimewa dan personal. Seseorang sepatutnya memasukkan bahan makanan, bumbu, dan rempah sesuai dengan hal atau pengaruh apa yang ingin ia timbulkan, baik untuk dirinya sendiri maupun orang lain yang turut merasakan masakannya.

Simak apa yang membuat Lillian begitu menghargai sebuah proses memasak, bahkan sejak awal rantai prosesnya.

“”Ya, betul, Chloe. Ini adalah pelajaran terpenting pertama.” Eskpresi Lillian tenang. “Kalau kalian pikir-pikir,” lanjutnya, “setiap kali kita membuat makanan, kita mengganggu sebuah siklus kehidupan. Kita mencabut sebuah wortel atau membunuh seekor kepiting—atau mungkin hanya membunuh jamur yang tumbuh di seiris keju. Kita membuah makanan dengan bahan-bahan itu dan saat melakukannya, kita memberikan kehidupan pada sesuatu yang lain. Ini sebuah persamaan yang mendasar dan kalau kita berpura-pura ini tidak terjadi, kemungkinan kita ketinggalan pelajaran penting lainnya, yaitu menghormati kedua belah pihak dalam persamaan itu. Jadi, kita mulai dari sini.”

*****



Saya teringat pada sebuah tayangan teve Jepang. Seorang lelaki tengah mengolah seekor ikan yang baru saja dipancingnya. Tiga laki-laki lain mengerubunginya, dan bertanya, “bagaimana cara khusus agar olahan ikan menjadi enak?”

“Dengan banyak bersyukur, karena kamu telah menerima nyawa makhluk lain yang mati dan menjadi makananmu.”



17092017
Belum mengerjakan PR untuk besok Rabu :(