Wednesday, January 31, 2018

Dua yang Tak Boleh Alpa




Beberapa waktu lalu, seorang wanita di Jepang menyita perhatian masyarakat. Media-media besar Jepang seperti Mainichi Shimbun, Yomiuri Shimbun, Asahi Shimbun, dan NHK tak mau ketinggalan menaikkan berita tentang Yuuka Ogata, nama wanita tersebut. Perkaranya adalah, Yuuka yang merupakan anggota dewan kota Kumamoto, Perfektur Kumamoto, Jepang, tersebut hadir di ruang rapat dewan kota sembari menggendong bayinya yang baru berusia tujuh bulan. Aktivitas yang dianggap tak lazim tersebut diprotes dan dikritik oleh anggota dewan lain, yang kemudian berujung dengan ‘mengalahnya’ Yuuka. Ia akhirnya menitipkan bayinya pada kawannya di luar ruang rapat. Rapat lantas dimulai, molor 40 menit dari jadwal semula.
Motivasi Yuuka membawa bayinya sederhana saja. Ia ingin membuka mata masyarakat bahwa mengasuh anak dan bekerja adalah dua hal yang tidak mudah. Ia pun ingin menyuarakan perasaan para ibu bekerja yang tiap pagi bergulat dengan suara hatinya sebelum pergi bekerja dan meninggalkan anaknya bersama pengasuh atau di tempat penitipan.
Kalau zaman sekarang sebutan wonder woman langsung diidentikkan dengan Gal Gadot yang ayu, seksi, dan kuat,  barangkali kita perlu diingatkan lagi dengan wonder woman yang—meskipun mungkin tidak seayu dan seseksi Gal Gadot tadi, tapi kekuatan dan kehebatannya bisa-bisa memindahkan sebuah gunung. Wonder woman inilah yang semoga tidak pernah dilupakan: istri di rumah. Atau jika hal terdekat lain dalam hidup adalah kantor, maka silakan tengok ibu-ibu di kubikel atau ruangan sebelah; yang sudah memiliki anak, apalagi. Merekalah sewonder-wondernya woman.

Menjaga Emosi, Jurus yang Jelas Dikuasai Ibu-Ibu Kubikel Sebelah

Jika suatu hari ada seorang ibu yang ditinggal mudik ART-nya kemudian membawa anaknya ke kantor, lantas ternyata rekan-rekan kerjanya tidak menerima hal tersebut dan malah justru memprotes tindakan si ibu, apa yang harus ia pertahankan?

Emosinya.

Dalam kondisi demikian, melawan atau memberikan penjelasan dengan emosi meletup-letup barangkali bukan tindakan yang elegan, mengaburkan permasalahan dan poin diskusi, serta justru menghilangkan simpati dari pihak luar.

Disadari atau tidak, wanita merupakan kelompok nondominan dalam lingkungan komunitas kantor; sementara laki-laki adalah kelompok dominan. Wanita sebagai kelompok nondominan ini seringkali dianggap tidak ada: tidak dipandang atau didengar sebagaimana laki-laki. Laura Liswood, penasehat senior Goldman Sachs, pernah mewawancarai Margaret Thatcher. Dalam wawancara tersebut Thatcher bercerita ia pernah berguru pada seorang pelatih bicara untuk belajar berbicara seperti laki-laki, mulai dari gaya bicara hingga intonasi. Hal tersebut ia lakukan agar suaranya didengar, terutama oleh laki-laki. Laura Liswood juga berpendapat bahwa kelompok nondominan hanya memiliki dua pilihan: berubah—seperti yang Thatcher lakukan—atau gagal, tumbang oleh kuatnya pengaruh kelompok dominan.

Dalam konteks pekerjaan, berubah dapat berarti banyak hal: menyesuaikan ritme kerja dengan kelompok dominan—dalam hal ini laki-laki, melakukan suatu terobosan agar keberadaannya diakui, atau mengubah jenis (tone) suara agar suaranya didengar.

Keputusan bagi seseorang untuk melakukan perubahan tersebut tentu berdampak pada emosinya. Ia harus menyiapkan diri untuk berubah, serta dalam perjalanan perubahan tersebut tidak menutup kemungkinan ia tak mampu mengejar lingkungannya sehingga harus ada cadangan emosi yang lebih besar lagi yang harus dipersiapkan.

Rasanya bukan rahasia jika wanita perlu mengeluarkan sedikitnya 13.000 kata dalam sehari. Masalahnya adalah, untuk dapat ‘melalui rintangan’ dari kelompok dominan, salah satu metode paling ampuh adalah dengan mendengar. Mendengar merupakan salah satu strategi yang dipakai demi didengar dan dipahami.

Rick Brinkman dan Rick Kirschner, tandem dalam dunia praktisi naturopati, pembicara profesional, dan trainer handal, dalam bukunya Dealing with People You Can’t Stand, menekankan bahwa mendengar ini bukan sembarang mendengar. Ada ego pribadi yang harus disingkirkan untuk sementara dan ada komentar tak penting yang harus ditahan agar tak keluar untuk beberapa waktu. Trik sederhana yang dapat diterapkan adalah dengan mendengar secara aktif, yang memiliki dua tujuan, yaitu tujuan emosional—orang lain merasa bahwa kita memahami bagaimana perasaan mereka—, serta tujuan intelektual—orang lain percaya bahwa kita memahami apa yang mereka sampaikan.   

Mari kita enyahkan terlebih dahulu fakta mengenai berapa kata yang mustinya dikeluarkan dalam satu hari, baik oleh laki-laki maupun perempuan. Proses mendengar aktif saja, bagi kedua pihak, sudah merupakan suatu tantangan tersendiri. Ini sebab hal tersebut tidak semudah apa yang dibayangkan. Ada empati di sana. Ada gestur tubuh. Raut wajah. Volume suara. Pemilihan komentar. Pun konfirmasi cerita, agar tidak salah menilai apa poin yang menjadi fokus lawan bicara. Ini tentu tak mudah.

Bagi ibu bekerja, tantangan ini menjadi berlipat. Bukan hanya di kantor, ia pun diharapkan dapat melakukan proses mendengar aktif di rumah bersama keluarganya. Padahal di saat yang sama, ada 13.000 kata yang menanti untuk dikeluarkan agar ia tetap terjaga emosinya.

Menomorsatukan Kesehatan

Bagi tiap orang, wajib hukumnya menjaga kesehatann tubuhnya. Tak terkecuali ibu bekerja. Dengan logika sederhana, dapat dipahami bahwa ibu bekerja memiliki tanggung jawab lebih. Ada kepala-kepala yang juga harus ia pastikan kesehatannya melalui beragam cara, misalnya memastikan asupan gizi dan kebutuhan kalori cukup serta menjaga pola makan keluarga.

Namun tak jarang seorang ibu lebih mengutamakan keluarganya dibandingkan dirinya sendiri.

Sebuah penelitian oleh Klinik Marunouchi, Jepang, baru-baru ini menunjukkan bahwa wanita-bekerja makan lebih sedikit daripada kebutuhan kalori hariannya. Asupan harian ada di kisaran angka 1.479 kilokalori, jauh dari kebutuhan harian sebesar 2.000 kilokalori. Angka 1.479 kilokalori tersebut bahkan lebih rendah dari asupan kalori per hari pada masa setelah Jepang kalah dalam Perang Dunia II.

Penyebab rendahnya asupan tersebut adalah lantaran tingginya kesibukan di kantor. Rapat seringkali berlangsung hingga memotong waktu makan siang, sementara pegawai harus kembali di mejanya tepat waktu setelah jam istirahat. Roti atau biskuit menjadi pilihan yang dirasa tepat untuk mengisi perut. Bahkan pada situasi lain, seseorang terlalu tenggelam dalam pekerjaannya dan baru menyadari sore telah membayang. Sementara saat pagi, orang lebih suka menambah waktu tidur sehingga tak punya cukup waktu untuk sarapan.

Kondisi tersebut menimbulkan kekhawatiran terhadap masa depan bayi dan anak-anak di Jepang. Hasil penelitian OECD di bidang kesehatan menunjukkan bahwa pada tahun 2011, 10% bayi yang lahir di Jepang memiliki berat badan di bawah 2,5 kilogram. Ditengarai, salah satu penyebabnya adalah kurangnya asupan harian para ibu bekerja.

Potret di Jepang tersebut bukan tidak mungkin dapat juga terjadi di Indonesia. Beban kerja yang cukup tinggi dengan tenggat waktu yang ketat dan ritme yang cepat tentu dapat membuat seseorang tak menyadari bahwa belum ada apapun yang masuk ke perutnya hingga jam pulang menjelang. Maka bagi ibu bekerja, selain kesehatan keluarga, tak bolehlah ia lalai terhadap kesehatannya sendiri.

Keputusan yang diambil oleh para ibu bekerja tentunya sudah bukan pada level untuk dipertanyakan kembali. Dengan mengambil pilihan tersebut, ibu bekerja telah menyadari tiap konsekuensi yang akan muncul. Tugas kita sebagai orang-orang yang ada di sekelilingnyalah untuk mendukung mereka agar dapat melangkah dengan selaras sebagai pekerja dan ibu yang telah memiliki anak serta menjalankan peran dengan sebaik-baiknya.



  
Referensi:
Brinkman, Rick, dan Rick Kirschner. 2002. Dealing with People You Can’t Stand: How to Bring Out the Best in People at Their Worst. McGraw-Hill.
Liswood, Laura. 2009. The Loudest Duck: Moving Beyond Diversity While Embracing Differences to Achieve Success at Work. Wiley.
https://www3.nhk.or.jp/news/html/20171211/k10011254281000.html

Gambar dari pexels.com

0 comments:

Post a Comment