Disebut-sebut sebagai ‘desa ala Jepang’, Saiko Iyashi no
Sato Nenba’ merupakan sebuah desa wisata yang akan memikat hati siapapun.
Dilatari Gunung Fuji yang megah serta dialiri Sungai Honsawa, barangkali memang
desa ini identik dengan gambaran yang terbayang di benak begitu kata ‘desa’
disebut.
Belum lagi, laku para pedagang di kedai sepanjang jalan
sebelum gerbang masuk. Dalam tulisan, mereka mempromosikan barang yang mereka
jajakan dalam berbagai bahasa—tak terkecuali Bahasa Indonesia (atau Bahasa Melayu?), seolah-olah
menyambut para pengunjung untuk ‘selamat pulang kembali ke desa’. Tak jarang
berlembar-lembar karton bergantungan di depan kios mereka lantaran banyaknya
bahasa yang ditulis.
Betapa saya merasa sedang pulang kampung!
Dengan membayar tanda masuk sebesar 350 yen untuk orang
dewasa dan 150 yen untuk anak-anak, kemolekan desa wisata ini sudah dapat
dinikmati. Setelah melewati gerbang masuk, pengunjung langsung disuguhi
rumah-rumah kecil yang ditata dengan apik mengikuti kontur tanah yang semakin menanjak.
Kawasan desa ini bentuknya memanjang ke belakang. Dengan demikian, bangunan di
bagian belakang letaknya semakin tinggi dibandingkan dengan yang di depan. Dari
bangunan di bagian belakang ini, Gunung Fuji semakin memperlihatkan
keindahannya yang khas dengan topi salju di puncaknya.
Gerbang masuk Saiko Iyashi no Sato Nenba
Namun siapa sangka, desa ini rupanya hasil rekonstruksi
ulang. Pada tahun 1966, angin topan melanda kawasan ini dan meluluhlantakkan
seluruh desa. Rumah-rumah dengan atap ‘kabuto-zukuri’ yang bentuknya mirip
penutup kepala para samurai, hancur tak bersisa. Pemerintah kota
Fujikawaguchiko akhirnya memutuskan untuk membangun ulang desa ini pada tahun
2003. Hal ini dilakukan demi membangkitkan ingatan akan sebuah desa ala Jepang
yang rumahnya beratap jerami. Kawasan ini kemudian dibuka kembali pada tahun
2006 setelah proses rekonstruksi selesai.
Begini wujud atap jerami yang bentuknya mirip penutup kepala samurai
Terdapat 21 bangunan utama di Saiko Iyashi no Sato Nenba.
Kios oleh-oleh diletakkan di dekat gerbang masuk, dan sukses menghabiskan waktu
pengunjung yang tidak menyadari bahwa masih ada banyak bangunan tersisa untuk
dikunjungi. Kios ini menjual beragam produk lokal seperti miso, beras, udon
basah, teh, serta kerajinan tangan. Kami sempat tertarik dengan udon basah yang
dijual. Komposisi bahan pembuatnya aman untuk kami konsumsi sehingga udon ini
sungguh siap dibawa pulang lintas negara. Namun sayangnya, karena ia berupa mi
basah yang harus disimpan dalam mesin pendingin, dikhawatirkan ia tak akan
bertahan lama—apalagi jika harus dibawa sampai ke Surabaya.
Kesedihan lantaran gagal membawa pulang udon sedikit
terobati dengan tawaran minum teh gratis dari penjaga toko. Di luar bangunan
toko ini memang tertulis ‘tersedia teh gratis’. Ada dua mesin semacam teko
elektrik yang masing-masing berisi teh kombucha dan teh oolong. Dua cangkir teh
ini, selain mengobati kesedihan, juga membantu menghangatkan tubuh di tengah
musim dingin seperti ini.
Bangunan kedua yang kami kunjungi adalah Rumah Seseragiya.
Dinding rumah ini dipenuhi gambar-gambar indah, yang kebanyakan berbentuk
potret orang, baik sendiri maupun rombongan. Di dekat pintu terpajang instalasi
seni berbentuk ayam, yang saya yakini dibuat dalam rangka menyambut tahun ayam.
Cukup lama kami duduk-duduk di luar rumah ini, sekaligus mencari kehangatan
karena letaknya yang menghadap timur, pun matahari cukup terik saat itu.
Menyambut tahun ayam
Kami kembali melanjutkan perjalanan ke arah jembatan Fujimi.
Di sini terlihat beberapa orang berfoto dengan mengenakan kimono. Beberapa kawan
dari Myanmar bahkan sudah wira-wiri dalam balutan kimono. Rupanya mereka
menyewa dari Rumah Hinomiya. Di rumah ini pengunjung dapat menyewa kimono
dengan harga yang terjangkau, yaitu 500 yen. Selain penyewaan kimono, di dekat
pintu masuk rumah juga terdapat instalasi pakaian perang para samurai.
Lantaran kami tidak tertarik menyewa kimono, kami
melanjutkan langkah ke Rumah Miharashiya. Lantai-satu rumah ini mirip galeri,
dipenuhi dengan hasil seni yang telah memperoleh penghargaan baik di tingkat
kota maupun perfektur; sedangkan lantai duanya berfungsi sebagai semacam menara
pandang. Untuk naik ke lantai dua, pengunjung harus melepas alas kaki sebelum
naik tangga dan berganti mengenakan sandal yang telah disediakan. Di sebelah
kiri ujung tangga terdapat jendela besar, dan inilah menara pandang tersebut.
Gunung Fuji terlihat sangat menawan dari sini, disertai hiasan pemandangan atap
jerami rumah-rumah yang juga berwarna putih sebab tertimpa salju.
Pemandangan dari lantai dua Rumah Miharashiya
Keluar dari Rumah Miharashiya, kami memutuskan mampir ke
galeri kerja tembikar Fuji Roman-gama. Sesuai namanya, di dalam rumah ini
pengunjung dapat menemukan beragam tembikar yang dipatok dengan harga yang
bersahabat. Dudukan sumpit berbentuk kucing dijual mulai harga 200 yen. Mangkuk
kecil khas Jepang dengan motif yang indah dan menarik dibanderol dengan harga
mulai dari 400 yen. Selain itu masih banyak pajangan, cangkir, dan tembikar
lainnya. Saya sendiri akhirnya tergoda untuk membawa pulang pajangan berbentuk
Gunung Fuji yang imut, seharga 500 yen. Selain membeli tembikar yang dipajang,
pengunjung juga dapat mencoba membuat hiasan berbentuk burung hantu serta
mewarnai tembikar.
Plang kayu di depan galeri tembikar Fuji Roman-gama, mengajak pengunjung untuk mencoba membuat tembikar sendiri
Rumah galeri kerja tembikar Fuji Roman-gama menjadi rumah
terakhir yang kami singgahi di Saito Iyashi no Sato Nenba. Masih tersisa 15
menit sebelum waktu habis dan harus kembali ke bus, jadi kami menyempatkan diri
terus berjalan ke kios oleh-oleh yang tersebar di dekat area parkir. Seorang
pemilik kedai menawari kami untuk menghangatkan diri dengan makan udon di dalam
kedainya. Kami hanya tersenyum sambil terus melihat-lihat dagangan yang dijejer
di atas meja di depan kedai. Menyerah menawarkan udon, si pemilik lantas
menawarkan cicip-cicip buah kering. Alih-alih mencicip buah kering, mata kami
justru lebih tertarik pada satu meja berisi kotak-kotak kecil. Kotak tersebut
rupanya berisi sabun batang khas desa itu. Selain sabun batang, ada juga kotak
berisi batu. Empat buah batu kecil disusun dan diwadahi dalam kotak tembus
pandang, diberi sabuk kertas bertuliskan bahwa batu tersebut berasal dari
Gunung Fuji. Dari keterangan pemilik kedai, batu dari Gunung Fuji ini berbeda
dengan batu biasa; ia memiliki lebih banyak lubang sehingga jika batu tersebut
direndam di dalam air biasa, air tersebut dapat menjadi air bermineral. Kawan
saya rupanya sangat tertarik dengan batu ini, lantas ia menebusnya dengan selembar
uang pecahan 1.000 yen.
Desa wisata ini, dengan segala pesonanya—mulai dari
pemandangannya sampai bentuk bangunan dan sejarahnya—, mampu menarik pengunjung
untuk datang dan tak segan merogoh kocek demi membawa pulang barang-barang yang
dijajakan.
Ditulis 1 Februari 2017
Foto: dokumen pribadi
0 comments:
Post a Comment