Jargon ‘taman hiburan terkondang se-Jepang di kaki Gunung
Fuji’ nampaknya tak salah
digaung-gaungkan oleh Fuji-Q Highland. Wahana-wahananya kerap dijajal
pesohor-pesohor Jepang dan menjadi lokasi syuting banyak program televisi.
Layak memang, sebab roller coaster dan rumah hantunya—wahana paling masyhur di
taman ini—jelas-jelas memegang rekor dunia.
Begitu mengetahui
bahwa Fuji-Q Highland ada dalam jadwal perjalanan kami, saya langsung
menetapkan satu wahana yang HARUS saya naiki, apapun yang terjadi. Nama
wahananya adalah Eejanaika. Salah satu wahana roller coaster ini sukses membuat
artis dalam salah satu acara televisi yang saya tonton bergetar lututnya, dan
saya menertawakannya. Saya bahkan sedikit sesumbar, “sesangar apa sih Eejanaika
ini? Paling-paling artisnya yang lebay.” Selain Eejanaika, roller coaster
lainnya adalah Fujiyama (disebut sebagai 'King of Coaster', memiliki panjang
2.045 meter, kecepatan maksimum 130 km/jam, dan ketinggian maksimum 79 meter)—yang
sayangnya sedang dalam perbaikan saat kami berkunjung, Takabisha, dan Dodonpa
(disebut-sebut sebagai roller coaster paling menyenangkan di dunia dengan
kecepatan maksimum 172 km/jam)—yang sayangnya juga sedang ditutup dan baru
dibuka pada bulan Juli 2017.
Berbekal selembar
tiket masuk terusan, kami diberi waktu sekitar enam jam untuk memuaskan diri
menjelajahi Fuji-Q Highland. Mengenai tiket ini, laman situs https://www.fujiq.jp/en/ menayangkan harga 5.700 yen untuk tiket
terusan sehari bagi pengunjung dewasa; sedangkan harga 4.800 yen dapat
diperoleh bagi pengunjung dalam kelompok berjumlah lebih dari 15 orang. Namun
entah mengapa, pada tiket yang dibagikan kepada kami kemarin tertera tulisan 3.800
yen. Tiket ini sendiri sebenarnya dapat dibeli terpisah. Tiket masuk saja
tersedia dengan harga 1.500 yen; dan tiket untuk tiap wahana dijual dengan harga
bervariasi, mulai dari 100 yen sampai dengan 1.000 yen.
Terdapat dua pintu
masuk ke area taman bermain ini. Karena tempat parkir terletak di dekat pintu
1, jadi kami masuk lewat pintu tersebut. Alur menuju pintu 1 ini cukup unik.
Kami disambut oleh toko oleh-oleh yang menjual beragam buah tangan khas Fuji-Q
Highland. Keluar dari toko, suasananya sedikit berubah; rasanya tidak sedang
berada di Jepang. Deretan toko berarsitektur Eropa berdiri dan menjual berbagai
macam kue, penganan, maupun pernak-pernik. Rupanya, ini adalah taman pertama di
dunia yang dibuat dengan mengusung tema karakter populer dari Prancis, yaitu
Gaspard dan Lisa. Taman ini pun memiliki nama tersendiri: La Ville de Gaspard
et Lisa. Di ujung taman bahkan dibangun replika Menara Eiffel, yang semakin
menguatkan suasana Prancis.
Di depan pintu masuk menuju kios oleh-oleh
Setelah melewati
kota Gaspard dan Lisa, tampak pintu masuk dengan enam gerbang otomatis. Dari
sini, rombongan besar telah berpencar. Kami, rombongan Indonesia, bergabung
dengan rombongan Kamboja. Saya berjalan di belakang, menurut saja pada pimpinan
rombongan di depan. Rupanya wahana pertama yang dituju adalah Takabisha. Saat
kami sampai, panjang antrean di depan kami mungkin sekitar 15 meter. Kami
menunggu sambil bercanda, sampai kemudian melewati dinding di dekat pintu
wahana. Di dinding tersebut tergantung sebuah pigura yang berisi sertifikat
rekor dunia. Rupanya, Takabisha memegang rekor dunia sebagai ‘roller coaster
tercuram di dunia pada 1210’. Saya tak pernah tahu tentang Takabisha
sebelumnya, dan angka 121 ini sama sekali tak memberikan efek apapun bagi saya.
Pintu masuk 1
Setelah menunggu
sekitar 20 menit, akhirnya tiba juga giliran kami. Begitu masuk, kami diminta
melepas kacamata, syal, topi, gelang, dan apapun yang berpotensi jatuh. Seluruh
barang dititipkan di loker yang dilengkapi kunci. Setelah loker dikunci, anak
kunci disimpan dengan mengaitkan karet di pergelangan tangan. Kami yang
berjilbab bahkan diberi tambahan jaket bertudung untuk dikenakan. Tudungnya
dilengkapi tali di bagian tepi wajah, sehingga dari kepala sampai pinggang
tertutup jaket. Hal ini untuk berjaga-jaga agar kerudung tak terjatuh atau
bahkan terbang ke suatu tempat~
Ada 2 atau 3
‘mesin’ tersedia, dan satu mesin berkapasitas 8 orang. Kami yang bersembilan
–satu orang kawan dari Indonesia memilih untuk berjalan-jalan di Thomas Land
saja—jadinya dipisah ke dalam dua gelombang. Saya duduk di barisan belakang, di
kursi nomor dua dari kiri. Menjelang berangkat, mbak-mbak dan mas-mas petugas
memastikan bahwa pengaman telah dikaitkan dengan baik dan kencang. Kemudian tak
lupa mereka juga melepas keberangkatan kami dengan senyum dan kata-kata yang
indah.
Takabisha meluncur.
Lambat. Keadaan lorong gelap. Belok ke kiri. Tak lama kemudian terowongan berakhir,
dan Takabisha langsung menukik ke atas. Saya masih sesumbar ‘ternyata gini
doang’, lalu sesumbar saya hilang dalam sekejap saat Takabisha memelintir dan
turun dengan kecepatan yang tak terkira. Saat itu kepala saya rasanya hampir
terlepas dari leher, bernafas tak bisa normal, dan jantung saya entah
tertinggal di mana. Saya cuma bisa banyak-banyak mohon ampun pada Tuhan. Mata
saya tak sedetikpun membuka. Setelah itu Takabisha naik lagi, berputar lagi, turun,
naik lagi, berputar lagi, dan meliuk-liuk sebelum kemudian masuk kembali ke
terowongan. Saya menarik nafas. Keluar dari terowongan, Takabisha naik dengan
kecepatan yang pelan, bahkan cenderung tersendat-sendat. Saya menyempatkan diri
membuka mata. Rupanya inilah perjalanan menuju puncak yang dibangga-banggakan
oleh Takabisha. Bentuk rel mungkin siku-siku 900 sehingga rasanya seperti duduk biasa dengan
punggung di bawah. Kondisi ini berlangsung sampai hampir 20 detik. Di puncak
tertinggi, Takabisha berhenti sejenak. Menggantung. Kemudian ia menghempaskan
tubuh saya, dan jantung saya yang sebelumnya sudah tidak saya ketahui di mana
tempatnya kembali menghilang. Saya tak henti-henti baca istighfar; sementara
orang di samping saya berteriak-teriak. Lantas saya berpikir, ‘barangkali
dengan berteriak, jantung saya dapat kembali ke tempatnya dan mata saya dapat
terbuka,’. Detik berikutnya saya ikut-ikutan berteriak, yang kemudian saya
anggap itu adalah keputusan yang salah: berteriak sungguh menghabiskan nafas
dan saya jadi butuh energi lebih untuk mengambil nafas. Akhirnya saya pasrah
saja, terus-terusan memohon ampun sambil menjalani serangkaian pelintiran dan
tukikan yang mengocok isi perut saya.
Penderitaan saya
berakhir setelah menempuh 1.004 meter dalam waktu sekitar 3 menit.
Turun dari
Takabisha, seluruh tubuh saya rasanya seperti tak lagi memiliki sendi. Belum
lagi perut saya yang jadi sangat mual. Kawan saya bahkan berkomentar kalau
wajah saya pucat. Lantas saya bersumpah, Takabisha adalah roller coaster
pertama dan terakhir dalam hidup saya.
Tulisan di plang yang saya pegang itu artinya 'saya dikerjai Takabisha'
Perjalanan kembali
dilanjutkan. Pimpinan rombongan mengarah ke wahana Eejanaika.
Saya menyerah.
Tak mungkin saya
naik Eejanaika. Yang mengerikan dari Takabisha barangkali hanya kecuramannya saja.
Namun di Eejanaika, curamnya lintasan berpadu dengan kursi yang dapat berputar.
Roller coaster ini bahkan memegang rekor sebagai ‘roller coaster dengan jumlah
total putaran terbanyak di dunia’. Kecepatan maksimalnya yang mencapai 126
km/jam pun melebihi Takabisha yang ‘hanya’ 100 km/jam.
Dengan berat hati;
saya dan 2 kawan perempuan saya akhirnya berpisah dari rombongan. Kami memilih
berkelana sendiri, menuju wahana selanjutnya: korsel alias komidi putar.
Hahaha. Namun, saat naik korsel pun, gerakan kuda yang naik-turun juga membuat
saya mual. Efek Takabisha rupanya belum habis.
Setelah naik korsel
bersama dengan beberapa anak kecil dan sepasang kekasih, kami memutuskan untuk
beristirahat di tempat duduk di samping Eejanaika. Sekitar satu jam kami habiskan
dengan makan—sambil mendengarkan teriakan berisik penumpang Eejanaika—dan
salat.
Lepas istirahat,
kami kembali memulai petualangan dengan naik bianglala. Bianglala bernama
Shining Flower dengan ketinggian 50 meter ini mampu membuat kami memandang
seluruh area Fuji-Q Highland dari ketinggian. Gunung Fuji bahkan terlihat
dengan jelas! Tak lupa, Takabisha juga masuk ke pandangan dan membuat kami
berceloteh, ‘Demi apa tadi kita naik wahana itu!’. Dalam waktu 11 menit di
dalam gondola yang berputar pelan, kami telah memutuskan akan naik wahana apa selanjutnya.
Gunung Fuji dari dalam gondola Shining Flower. Rel mengular yang berputar-putar di tengah gambar adalah lintasan Takabisha
Kaki kami lantas
mengarah ke wahana bernama Cool Jappaan, sebuah wahana yang meluncurkan
pengunjungnya dari ketinggian 30 meter ke air. Di sini, kami juga diminta
menitipkan tas ke dalam loker. Kemudian kami naik ke dalam semacam perahu berkapasitas
sekitar 20 orang. Perahu lalu mulai melaju mengikuti rel, dan di akhir kami
seakan diajak menantang menubruk air. Basah? Tenang, perahu ini dilengkapi
dengan penutup bening—bentuk keseluruhan perahu jadi mirip kapsul—sehingga tak
perlu khawatir cipratan air akan membasahi tubuh.
Turun dari Cool
Jappaan, kami membuka peta Fuji-Q Highland. Ingin hati masuk rumah hantu, tapi
rupanya nyali ini tak cukup besar. Akhirnya mata saya melihat deretan wahana
yang diletakkan di bawah judul ‘horor’. Salah satunya adalah wahana bernama
Ge-Ge-Ge no Youkai Yokocho, Youkai Kobanashi atau Mizuki Shigeru’s Ge-Ge-Ge
Haunted Mansion. Letaknya ternyata persis di depan Cool Jappaan. Kami
memutuskan untuk masuk ke dalamnya.
Di depan pintu
masuk, ada sekitar 6 orang yang mengantre. Sebenarnya saya sedikit heran dengan
wahana ini: apakah rumah hantu bisa sekecil ini? Ukurannya, barangkali hanya
sekitar 5x10 meter. Hantu macam apa yang menghuni bangunan kecil ini?
Keheranan saya
belum terjawab saat pintu terbuka. Seorang petugas yang saya taksir usianya
sudah lebih dari 60 tahun mempersilakan kami masuk ke dalam sebuah ruangan. Ia
meminta kami untuk melihat layar televisi yang terpasang di atas. Ia lalu
meninggalkan kami, masuk ke dalam ruangan lain. Tak lama kemudian, lampu
menjadi remang-remang, dan televisi menyala. Animasi Ge-Ge-Ge diputar. Saya tak
sepenuhnya paham, tapi di akhir tayangan, tokoh-tokohnya berpesan pada kami—
para pengunjung, untuk berhati-hati dalam memasuki rumah hantu ini. Setelah
tayangan selesai, lampu kembali menyala, dan si petugas tadi muncul, lalu
mengarahkan kami untuk masuk ke dalam sebuah ruangan.
Ruangannya kecil
saja, sekitar 2,5x6 meter. Hanya tampak kursi-kursi dan semacam meja kecil yang
menghadap dinding. Kami lantas diminta duduk satu per satu di kursi yang telah
disediakan. Di atas meja, rupanya, telah tersedia seperangkat headphone.
Petugas menyuruh kami memasang headphone. Mulai terdengar suara tokoh anime
yang mengetes apakah bagian kanan dan kiri headphone telah dipasang dengan
benar. Setelah itu, lampu dipadamkan. Ruangan benar-benar gelap.
Jangan-jangan kami
diajak menonton film animasi yang disorotkan ke dinding?
Suara-suara tokoh
anime kembali terdengar. Hantu-hantu muncul di telinga kanan lantas menghilang
di telinga kiri. Beberapa tokoh lari tunggang-langgang. Tak ada apapun yang
disorot ke dinding. Tak ada tayangan. Rupanya di wahana ini kami hanya diminta
mendengarkan kisah seram dari cerita Ge-Ge-Ge, sebagaimana mendengarkan
sandiwara radio.
Saya keluar wahana
dengan ekspresi datar; lebih tepatnya, tak tahu harus berekspresi bagaimana.
Wahana ini jelas-jelas tak sesuai dengan ekspektasi saya. Untungnya, di pintu
keluar, terdapat kios kecil yang menjual berbagai barang bertema Ge-Ge-Ge. Saya
memutuskan untuk membawa pulang satu map bergambar Ge-Ge-Ge.
(Catatan: ketika
menulis tulisan ini, saya baru mengerti cara baca dan arti kanji kobanashi pada
Ge-ge-ge no Youkai Yokocho, Youkai Kobanashi. Kobanashi dapat diartikan kisah
pendek yang menarik. Barangkali kalau saya bisa membaca kanji tersebut saat
melihat peta, saya mengurungkan niat masuk ke Rumah Ge-Ge-Ge.)
Setelah itu, mata
Nisya, kawan saya, tertumbuk pada permainan sepeda di samping Cool Jappaan.
Sepeda yaang dikayuh di atas lintasan rel yang letaknya antara 1,8 sampai 6,3
meter di atas tanah ini nampaknya cukup menarik untuk dimainkan. Kami akhirnya
masuk ke wahana, menitipkan tas, lalu naik ke atas sepeda. Pengamannya hanya
semacam sabuk yang diikatkan ke bagian perut. Seram juga rasanya, seperti
melintas di atas seutas tali (rel ding); apalagi di bawah pengayuh tak ada
tempat lagi untuk kaki bersandar. Rel ini dibuat mengelilingi sebidang taman
kecil berisi beberapa patung hamster berbentuk Hamtaro dan kawan-kawannya. Ada
juga beberapa mainan dan bangku-bangku taman untuk duduk-duduk. Usut punya
usut, wahana bernama Dokidoki Mori no Kakurenbo atau Hide and Seek in the Woods
ini rupanya dikategorikan sebagai atraksi untuk anak-anak.
Saat naik
sepeda-sepedaan tadi, saya melihat patung kucing keberuntungan (patung
berbentuk kucing sedang duduk yang biasanya ada di depan toko atau kedai,
dianggap membawa keberuntungan) berukuran besar yang tak jauh dari lokasi kami.
Saya mengusulkan agar kami menaiki atraksi tersebut. Dua kawan saya setuju,
jadi kami langsung berpindah dengan sedikit berlari mengingat waktu yang hampir
habis.
Wahana yang kami
naiki ini bernama Nagashimasuka, mirip dengan wahana arung jeram di Dufan,
Taman Impian Jaya Ancol. Karena akan basah-basahan, jadi pengunjung disarankan
membeli ponco plastik seharga 100 yen yang kuponnya dapat dibeli di mesin
penjual di samping pintu masuk. Kupon ini hanya bisa dibeli terpisah, jadi kami
tetap harus mengeluarkan uang 100 yen meskipun ada tiket terusan yang kami
miliki. Kupon tadi kemudian ditukarkan dengan ponco yang diberikan oleh
mbak-mbak petugas. Setelah menitipkan barang di loker dan mengaretkan kunci di
pergelangan tangan, kami mengenakan ponco. Setelah siap, kami dipersilakan
menaiki ‘perahu’ berkapasitas 4 orang, yang bentuknya lingkaran dengan pegangan
di tengah. Tak ada penutup di atas ‘perahu’, tidak seperti pada Cool Jappaan.
Masalah yang muncul di pikiran saya selanjutnya adalah: sarung tangan saya
berbahan wol yang tentu akan basah jika terkena air dan ia akan menjadi jauh
lebih dingin dalam kondisi demikian. Akhirnya saya melepas sarung tangan, dan
itu adalah pilihan yang sangat menyedihkan. Sepanjang perjalanan
diombang-ambingkan air serta meluncur dari ketinggian 18 meter, air acapkali
masuk lewat samping dan mengenai tangan—rasanya seperti disiram air es; belum
lagi pegangan yang terbuat dari besi juga terasa sangat dingin. Nagashimasuka
tak pelak membuat tangan saya serasa membeku.
Nagashimasuka
menjadi wahana terakhir yang kami jelajahi di Fuji-Q Highland. Keluar dari
Nagashimasuka, waktu sudah menunjukkan pukul 16.10. Sisa waktu kami tinggal 50
menit. Kami berlari menyeberang ke gedung di seberang, berjudul Kids’
Studio-Character Shop. Beragam pernak-pernik bergambar berbagai karakter
tersedia di sini. Ada Doraemon, Pokemon, One Piece, Hello Kitty, dan lain
sebagainya. Saya melihat-lihat dengan cepat dan menjatuhkan pilihan pada pasel
One Piece seukuran kartu pos (belum saya buka, nih. Ada yang mau?).
Dari kios ini,
kawan saya meminta agar kami mampir sebentar ke rumah hantu yang letaknya
persis di belakang Nagashimasuka. Rumah hantu yang diklaim sebagai rumah hantu
terseram dan terpanjang di dunia ini juga menjadi salah satu wahana yang
menjadi andalan di Fuji-Q Highland—sebagaimana Eejanaika. Tiketnya pun dijual
terpisah seharga 500 yen, dan tiket terusan tidak dapat dipergunakan. Saking
kondangnya, untuk bisa masuk, pengunjung bahkan harus rela antre sekitar 1 jam.
Dengan panjang rute 900 meter, diperlukan waktu sekitar 50 menit untuk
mengkhatamkan rumah hantu ini. Kami yang memang sudah tidak bernyali semenjak
turun dari Takabisha benar-benar hanya mampir foto di depan gedung wahana yang
bernama Super Scary Labyrinth of Fear ini.
Setelah kembali ke
bus, selama lima belas menit pertama kami semua masih sibuk mengisahkan
pengalaman masing-masing, kemudian suara-suara itu perlahan terdengar makin
sayup, lalu habis sama sekali. Hampir semuanya tertidur, barangkali kelelahan.
Enam jam di Fuji-Q Highland benar-benar menguras tenaga kami.
Peta Fuji-Q Highland (dari pamflet; peta di situs web tidak sama dengan pamflet). Wahana yang kami naiki: no. 1 (Takabisha), no. 20 (korsel), no. 19 (Shining Flower), no. 12 (Cool Jappaan), no. 15 (Mizuki Shigeru's Ge-Ge-Ge Haunted Mansion), no. 37 (Hide n Seek in the Woods), dan no. 7 (Nagashimasuka).
Maafkan gambar yang seadanya ini T.T
Ditulis 7 Februari
2017
Foto: dokumen pribadi