Saturday, December 24, 2016

Orang-orang Shibuya


Persimpangan jalan di depan patung Hachiko, Stasiun Shibuya.

Orang-orang pergi dan pulang saling mendekat, bersimpangan. Tak ubahnya seperti ombak yang mendekat ke pantai yang saling bertabrakan dengan ombak yang menyurut, saling menindih satu sama lain. Dalam sehari, ada sekitar 270.000 orang yang menyeberangi persimpangan ini. Kebanyakan adalah orang-orang berusia muda. Mereka adalah orang-orang yang datang karena mengagumi Shibuya, sebuah kota yang modern. Selain mereka, ada juga orang-orang yang sudah nyaman tinggal di kota ini.

***

Orang-orang muda yang menyeberangi persimpangan ini kebanyakan masuk ke pusat kota. Jalan-jalan dipenuhi oleh generasi muda yang terus bergerak. Bersela beberapa jalan kecil dari pusat kota itu, ada satu ruas jalan sempit menanjak berupa anak tangga. Sebutannya Lereng Spanyol. Beberapa gadis naik. Ada pusat perbelanjaan Parco di depan pertigaan di ujung lereng. Di ujung palang jalan pertigaan tersebut, tiga pemuda sedang berlarian tak tentu arah—ke kiri dan ke kanan. Mereka mengejar dan menyapa perempuan yang lewat. Bila tak digubris, mereka langsung mengejar perempuan yang lain. Tiga pemuda itu terus berlarian, ke kiri dan ke kanan tanpa henti, di jalan yang memiliki lebar tiga meter dan panjang sepuluh meter itu. Persis seperti tikus yang dimasukkan dalam sebuah alat percobaan yang dialiri listrik.

***

Akhir Maret. Hari Minggu. Pukul 16.00. Saya memanggil salah seorang dari tiga pemuda itu.

“Sekarang saya sedang bekerja,” ia memandang saya lekat dengan ekspresi wajah yang menakutkan.

“Oh, maaf. Bisakah kita mengobrol sebentar? Setelah jam kerja juga tidak apa-apa,” tanya saya yang jadi ketakutan.

“Boleh. Tunggu di sini pukul setengah sembilan,”

“Baik. Sambil menunggu, boleh saya melihat kamu bekerja?”

“Boleh saja.”

Pemuda ini bernama Hitoshi Idehara. Di antara tiga pemuda itu, ia yang paling tua, usianya 23 tahun. Ketiga pemuda itu wajahnya terbakar sinar matahari, rambutnya panjang dan dicat, serta mengenakan pakaian warna kehitaman. Hitoshi memakai mantel panjang warna hitam. Di bawah mantelnya ia memakai celana panjang hitam yang ujung bawahnya terpotong serampangan sehingga benangnya bergantungan. Sepertinya akibat seharian berjalan tanpa henti.

“Maaf … siswa sekolah?”

Sembari berkata demikian, Hitoshi tersenyum lebar pada dua orang perempuan yang lewat di depannya, kedua tangannya ditempelkan di dahi seperti sedang memohon, tubuhnya dicondongkan ke samping. Kedua perempuan itu tampak tidak nyaman, lalu pergi menjauh dari Hitoshi. “Eh … eh ….” Hitoshi berjalan menjejeri mereka berdua. Setelah mengejar sekitar tiga meter, ia menyerah. “Bego. Mati sajalah!” gerutunya. Ia mencari dua orang calon konsumen selanjutnya. Begitu ketemu, ia berlari, lalu berdiri di depan dua perempuan tersebut. Ia tersenyum lebar, kedua tanganya ditaruh di depan dahi. “Maaf … siswa sekolah?” Dua perempuan itu berlari, kabur. Wajah Hitoshi tampak marah, ia menggerutu, “Jangan main-main, bego!” Sambil menggerutu, ia langsung menemukan calon konsumen selanjutnya, dan berlari mendekat. Senyuman plus kedua tangan memohon, dan “maaf … siswa sekolah?”, lalu targetnya menjauh. Muka Hitoshi berubah menakutkan. Ekspresi wajahnya berubah-ubah. Berlarian, tersenyum, diacuhkan, marah, menggerutu. Begitu terus berulang-ulang.

***

Setelah pekerjaan Hitoshi selesai, kami pergi ke kedai minum. Saya ingin mendengarkan ceritanya. Pertama-tama, ia bercerita mengenai apa yang dilakukan oleh seorang penjual sistem-cegat.

Tugas mereka adalah menyapa calon konsumen perempuan, meminta tolong untuk menjawab angket, membawa mereka ke dalam gedung, lalu mendudukkan mereka di meja konter dengan konselor perempuan di baliknya. Sembari mengambil angket, si konselor membincangkan masalah kecantikan dan menawarkan kosmetik serta alat perawatan wajah. Kebanyakan adalah produk berharga mulai dari 250.000 sampai 500.000 yen, dengan fasilitas pinjaman. Jika berjalan lancar, saat itu juga langsung ada kontrak-sementara. Dokumen kontrak tersebut lalu dikirimkan ke perusahaan penyedia pinjaman. Setelah konsumen membubuhkan stempel, maka kontrak tersebut sudah menjadi kontrak-resmi. Di titik inilah Hitoshi akan menerima hasil bagiannya, yaitu sekitar tujuh persen dari total nilai kontrak. Jadi dari kontrak senilai 250.000 yen, bagian untuknya adalah 17.000 yen.

Dari total jumlah kontrak-sementara di meja konter itu, separuhnya tidak berlanjut. Kalau Hitoshi membawa sepuluh orang, yang berlanjut sampai kontrak-sementara adalah sekitar empat orang. Dengan kata lain, hanya dua orang yang sampai pada tahap kontrak-resmi. Kenyataannya, dalam sehari ia paling banyak bisa membawa sepuluh orang ke meja konter, dan paling apes ia tak membawa seorang pun.

Pekerjaan itu dilakukan sejak pukul satu siang hingga pukul delapan malam. Ada lima orang konselor; jika calon konsumen yang dibawa masuk sudah memenuhi meja konter, barulah Hitoshi dan kawan-kawannya memiliki waktu istirahat.

Shibuya adalah lokasi rebutan bagi para penjual sistem-cegat. Dari stasiun sampai Lereng Spanyol, tempat Hitoshi, ada beberapa laki-laki dari perusahaan lain, jadi ia harus mengejar para perempuan yang tadi sudah menghindar dari penjual sistem-cegat sebelumnya. Memang penjualan sistem-cegat lebih baik dilancarkan di lokasi yang sedekat mungkin dengan stasiun, tetapi sudah ada wilayah kekuasaan masing-masing, dan untuk wilayah tersebut tiap perusahaan membayar setoran sebesar 70.000 yen per bulan kepada yakuza. Selain itu, terkait dengan pembayaran pinjaman, tiap konsumen harus memiliki kemampuan untuk melunasi pinjaman itu, padahal orang-orang muda yang datang ke Shibuya kebanyakan adalah siswa sekolah atau pengangguran. Jadi pertama-tama, para penjual sistem-cegat wajib menyeleksi calon konsumennya. Atas alasan tersebut, kalimat pertama yang diajukan menjadi beralasan jelas.

“Siswa sekolah?”

***

Hitoshi sedang mengejar dua orang perempuan. Namun keduanya terus saja berjalan tanpa mempedulikan Hitoshi. Hitoshi meminum kopi kaleng yang ia pegang dengan tangan kirinya, lalu menghisap rokok yang ia pegang dengan tangan kanannya. Ini sudah akhir bulan Maret, tetapi angin yang berhembus masih saja dingin.

Dua orang perempuan berambut panjang dikuncir yang masing-masing mengenakan mantel biru dan krem berjalan mendekati tanjakan Lereng Spanyol. Hitoshi meletakkan kopi kalengnya di sudut jalan, lalu saat keduanya naik, Hitoshi sudah berdiri di depan mereka. Kedua tangannya diletakkan di depan dahi, dan ia tersenyum lebar.

“Maaf … siswa sekolah?”

Perempuan yang mengenakan mantel biru memandangi Hitoshi lekat lalu berteriak keras.

“Berisik!”

***

Dahulu Hitoshi tinggal di sebuah kota kecil di pedalaman Perfektur Saitama. Saat SMP, ia berpikir bahwa anak yang bandel lebih populer di mata para gadis sehingga ia mendekati gerombolan anak bandel. Ia memotong rambutnya di bagian samping sampai tipis dan menyisakan rambut tebal di kepala bagian tengah, serta bergabung dengan geng di daerah Omiya dan Urawa. Kedua orangtuanya bercerai, ia dan adik laki-lakinya dibesarkan hanya oleh ibunya. Setelah lulus SMP, ia berkerja, tetapi tak juga menemukan yang cocok sehingga berkali-kali pindah tempat kerja. Dalam enam bulan ia pindah kerja sebanyak enam kali. Setelah itu, atas rekomendasi seniornya, ia menjadi pekerja pembuat cetakan di lokasi konstruksi. Selama empat tahun ia bekerja di sana, bahkan mendapat kepercayaan menjadi penanggung jawab lokasi. Namun karena ada masalah yang disebabkan oleh perubahan desain, ia melarikan diri dan berhenti bekerja. Ia keluar dari kotanya tanpa tujuan sambil menghirup cairan pengencer cat.

“Saya tidak kuat mental, jadi saya melarikan diri,” kata Hitoshi.

Ketika sedang duduk di bundaran stasiun Akabane, ia berkenalan dengan seorang laki-laki pencari bakat aktris porno dan ditawari apakah ia mau menjadi penjual sistem-cegat di Shibuya.

“Sebelumnya saya pernah main ke Shibuya dan pernah melihat laki-laki penjual sistem-cegat yang sedang bekerja,” kata Hitoshi mengenang. “Saya berpikir, ‘wah, Shibuya. Pasti laki-laki ini sering berkenalan dengan gadis-gadis.’”

Tak lama kemudian, ia menelepon si laki-laki pencari bakat, ingin diperkenalkan pada pekerjaan tersebut. Hitoshi merasa ia telah memasuki satu babak baru.

“Entah mengapa, memikirkan bisa bekerja di Shibuya saja membuat saya senang.”

Para lelaki yang bekerja sebagai penjual sistem-cegat itu mayoritas berasal dari daerah, sehingga bekerja di kota besar seperti Shibuya merupakan suatu kebanggaan.

“Awalnya menyenangkan bisa menyapa dan mengobrol dengan gadis-gadis,” Hitoshi berkisah sambil tertawa. “Seperti ‘setelah bisa menggoda seorang gadis dan mengajaknya pergi, apa yang harus dilakukan?’. Tapi melakukan hal itu setiap hari ternyata sama sekali tidak meyenangkan. Kebanyakan yang lewat sini cuma perempuan-perempuan yang tidak menarik.”

Tiap hari, Hitoshi merasa seperti diejek oleh perempuan-perempuan kota besar ini dari cara mereka melihat dirinya.

“Awalnya saya menyapa mereka dan diacuhkan. Ini tidak begitu menyakitkan. Tapi, misalnya saat saya sudah berusaha sekuat tenaga tapi tak ada yang jadi kontrak, atau kalau saya berjuang mati-matian, melakukannya mati-matian dengan sekuat tenaga menyapa calon konsumen, bertanya apakah para konselor di atas sedang menunggu, berusaha terlibat, membawa lima belas atau enam belas pasang calon konsumen tapi sama sekali tidak membuahkan hasil; maka pada saat-saat seperti itu saya jadi turun gedung lagi dengan lunglai, tidak bersemangat. Saat para konselor sedang tak ada calon konsumen, maka itulah giliran kami, itu pekerjaan kami, jadi kami harus lebih bersemangat. Lalu juga ketika menyapa dan dibalas begini (ia menggerakkan tangan seperti gestur mengusir), atau ketika menyapa malah mereka kabur, dibilang bego, bersembunyi di tembok dan berteriak, ‘huaaaaa … ‘ seperti melihat kecoa; itu menyakitkan. Pekerjaan ini memang berat secara fisik, tetapi lebih berat lagi untuk mental.” Setelah berkata demikian, Hitoshi lalu meneguk bir. “Sekarang saya tak bisa menyapa calon konsumen dengan sensasi menyapa gadis sebagaimana apa yang dahulu saya bayangkan. Sekarang saya menyapa dengan memikirkan … aneh kalau menyinggung uang, tetapi mungkin lebih ke urusan perut.”

***

Dua orang perempuan berambut pendek mendengarkan cerita Hitoshi. Salah seorang yang bertubuh kurus memandang wajah Hitoshi, sementara seorang lagi yang bertubuh gemuk melihat ke arah lain.

“Sekarang saya juga bekerja di bagian promosi sebuah salon. Saya mempromosikan sebuah salon yang terletak di gedung berlantai lima di sebelah toko GAP.” Hitoshi menunjuk gedung GAP. Ia menurunkan file foto yang tergantung di lehernya dan menunjuknya, “salon ini dulu direnovasi dan sekarang sudah dibuka kembali; promosinya adalah dengan meminta orang-orang untuk mengingat nama dan alamat salon ini. Nah, saya adalah karyawan yang bekerja paruh waktu.

Selamat siang.” Hitoshi tersenyum-senyum sambil memandang wajah dua perempuan tadi. “Usia saya 23 tahun, kalau Kakak-kakak ini berapa?” Keduanya tidak menjawab. Mereka melanjutkan berjalan, tetapi Hitoshi menghalangi jalan mereka dengan tubuhnya, lalu menunjukkan bagian belakang file-nya. “Saat ini kami sedang mencari orang untuk melingkari dua belas jenis model rambut yang disukai dari majalan mode dan sejenisnya. Kalau Kakak bilang tidak bisa memilih juga tidak apa-apa. Kami sudah mempersiapkan hadiah sebagai ucapan terima kasih, dan promosi yang sedang kami lakukan yaitu kami ingin Kakak mengingat nama serta alamat salon kami.” Perempuan bertubuh gemuk melihat Hitoshi.

“Wah, Kakak ini sepertinya tegang ya. Tapi tenang, Kakak tidak perlu menulis alamat atau nomor telepon; kami tidak meminta untuk mengisi angket atau apalah itu di sana. Mungkin kalau perempuan sedang berjalan-jalan, entah untuk berbelanja atau makan, pasti ada bermacam-macam tempat yang ingin dikunjungi, kan?”

“Iya,” jawab perempuan bertubuh kurus.

Nah, jalan kaki ke salon kami cuma lima belas detik. Mengisi angketnya juga tidak perlu waktu lama kok. Tidak akan mengganggu waktu Kakak sekalian untuk belanja atau makan. Jadi, mohon bantuannya,” setelah berkata demikian, Hitoshi menyatukan tangannya, memohon kepada kedua perempuan itu. Keduanya seperti terganggu tetapi mereka tertawa.

“Tidak perlu menulis alamat dan nomor telepon, cuma menulis nama. Misalnya nama panggilan. Kalau nama Kakak adalah Yoshiko, ditulis Yocchan juga boleh. Atau kalau mau menulis Ketua juga tidak masalah.”

“Kenapa saya jadi Ketua?” tanya perempuan bertubuh gemuk.

“Bukan begitu. Kakak kalau berjalan selangkah lebih cepat, seperti bilang ayo ikuti saya, jadi mengajak kakak yang satunya ini,”

Dua perempuan itu tertawa.

“Ada di sebelah sana saja kok ….” Hitoshi mulai melangkah. Dua perempuan tadi jadi sedikit tertinggal, lalu mereka menyusul. Sambil berjalan, Hitoshi terus-terusan berbicara, “hadiahnya tidak besar, tapi bukan tisu kok. Yang jelas tidak akan membebani bawaan Kakak-kakak ….”

Bertiga, mereka memasuki gedung. Tidak sampai semenit, Hitoshi sudah keluar lagi.

Ia menyenandungkan sebuah lagu.

“ … Itsudemo kimi no egao ni yurete (Aku selalu melambai pada senyumanmu)
Taiyou no you ni tsuyoku saiteitai (Aku ingin mekar dengan kuat, seperti matahari)
Mune ga itakute, itakute, kowaresou dakara (Karena hatiku pedih, pedih, seakan hancur)
Kanawanu omoi nara, semete karetai ….” (Rasa yang tak terwujud ini, biarkan layu saja)
(Judul: Flower. Lirik: hyde. Penyanyi: L’Arc~En~Ciel)

“Saya kadang terlalu bersemangat ketika berbicara. Sayang saja, tak ada orang yang menanggapinya,” Hitoshi minum bir, wajahnya memerah.

Jika sudah mulai menceritakan saat-saat kontrak-sementara terjadi, Hitoshi berubah menjadi penceramah.

“Sudah saya duga, pasti di sini,” Hitoshi menekan jantungnya sendiri, “saya akan berusaha agar semangat saya tidak turun. Kalau saya, begitu menyanyi lagu L’Arc~En~Ciel, semangat saya jadi meningkat.”

“Apakah penjualan sistem-cegat tidak tergolong penipuan?” tanya saya

“Tidak,” Hitoshi agak tegang, “kami tidak berbohong. Jika misalnya konsumen ingin membatalkan kontrak, ya langsung bisa batal.”

Hitoshi sudah menjalankan pekerjaan ini selama dua tahun, tetapi selama itu tidak sekalipun ia pulang ke rumahnya.

“Kamu bilang kerja apa pada ibumu?” saya bertanya.

“Saya bilang kalau kerja di perusahaan manufaktur mobil,” Hitoshi mematikan rokoknya dengan menekannya di asbak.

“Kenapa tidak bilang yang sebenarnya?”

“Kalau tahu saya kerja sebagai penjual sistem-cegat, ibu pasti sedih. Saya tidak ingin membuat ibu khawatir lagi.”

***

Dua orang perempuan sedang berjalan di tepi jalan; seorang berambut panjang terurai ke belakang dan memakai mantel hitam, sementara seorang lainnya berambut pendek dan memakai sweter warna krem. Dari kejauhan, Hitoshi melambaikan tangan dan tersenyum, seakan sudah mengenal mereka.

“Maaf … siswa sekolah?”

Keduanya mengacuhkan Hitoshi sama sekali, kemudian berlalu menjauh dengan pandangan meremehkan.

“Hari ini sama sekali tidak berhasil,” wajah Hitoshi tampak ingin menangis, “ini gawat.” Ia melihat ke atas, berbicara sendiri. Tepat di depannya adalah dinding Parco dengan gambar wajah Amino Suzuki berukuran besar, dan sederet huruf berukuran kecil: tersenyumlah!

***

“Berapa peghasilanmu sebulan?” tanya saya.

“500.000 yen. Saya harus bekerja keras agar tidak turun,” jawab Hitoshi.

Walaupun pendapatannya 500.000 yen, tapi ia tak punya tabungan. Setelah saya tanya ia menggunakan uangnya untuk apa, ternyata untuk minum sake. “Lalu untuk pergi ke klub kabaret; di sana saya jadi ingin berteriak lepas. Pekerjaan ini menimbulkan stres.” Kata Hitoshi.

Uang yang ia kumpulkan mati-matian ternyata terpakai habis. Tidakkah ia memikirkan masa depannya?

“Tentu saja saya pikirkan,” Hitoshi menjawab dengan nada marah.

Ia berkeinginan menjadi pihak yang mempekerjakan para penjual sistem-cegat.

“Asalkan bisa merangkul beberapa penjual sistem-cegat dan konselor, dengan mengeluarkan uang saja sudah bisa menjadi pemilik. Banyak yang begitu. Bos saya, kepala divisi saya, mereka dulu juga melakukan itu dan berhasil. Sebelumnya mereka juga penjual sistem-cegat,” Hitoshi mengambil botol bir dengan tangannya dan menuangnya ke gelas saya.

“Hah …?”

Melihat wajah saya yang kaget karena terkesan, Hitoshi tertawa lepas.

Katanya, “dunia yang tidak mengenal latar belakang pendidikan memang sungguh ada ….”

***

Hitoshi berbicara lewat telepon dengan menempelkan ponselnya di telinga. Di sampingnya lewat dua orang perempuan yang sedang membawa es krim.

“Jangan main-main, bego!” Tiba-tiba Hitoshi berteriak keras. Orang-orang di sekitar sampai menoleh. Dua perempuan yang membawa es krim tadi lalu tergopoh-gopoh menaiki lereng.

Hitoshi berlari masuk gedung.

Sepuluh menit kemudian, ia keluar dari gedung dengan langkah gontai. Ia mendongak, melihat langit. Ia mengelap matanya dengan lengan mantelnya. Ia menangis.

***

“Hari ini kamu menangis?” saya bertanya.

“Iya, saya menangis,” Hitoshi tertawa tersipu.

“Apa ada sesuatu?”

“Saya sudah membawa banyak target calon konsumen, tetapi konselor tidak berhasil mencapai kontrak. Saya hilang kesabaran. Biasanya, jika tak ada yang berakhir sampai kontrak, konselor-konselor itu akan menelepon, ‘maaf, tak ada yang mencapai kontrak, padahal sudah berusaha membawa target ke sini. Mohon bantuannya untuk target selanjutnya.’ Tapi karena hari ini tidak ada telepon dari Junko Sato, saya jadi marah-marah di telepon. Kemudian saya dipanggil kepala divisi. Katanya, ‘saya tahu kamu sudah berusaha, tapi ingat bahwa konselor pun begitu,’”

“Dimarahi?”

“Bukan dimarahi, malah Pak Kepala Divisi kemudian menghibur saya. Saya menghormatinya.” Ekspresi Hitoshi menunjukkan keseriusan. Katanya, kepala divisinya berusia 27 tahun.

“Apa yang Kepala Divisi katakan untuk menghiburmu?”

“Katanya, ‘jujur, bos menjadikan kemampuanmu sebagai senjata; dia akan terganggu kalau kamu tak ada. Tapi kalau sampai ada masalah seperti ini, kamu akan dapat poin minus. Jadi kalau kamu berbuat seperti ini lagi, saya akan panggil kamu lagi; saya tidak akan membiarkan kamu. Setelah ini, kalau kamu seperti merasa hilang kesabaran, ingat kata-kata saya barusan.’ Saya jadi ingin berubah setelah dibilang begitu. Di depan gedung tadi saya memang menangis. Saya benar-benar serius dengan pekerjaan ini.”

***

Keluar dari kedai minum, saya dan Hitoshi berjalan ke arah Stasiun Shibuya. Pukul 12 malam. Ada banyak pemuda yang berjalan sambil mengobrol.

“Di sini ada banyak perempuan yang digoda, laki-laki yang bertengkar, dan macam-macam lainnya; dan semuanya tak ada artinya.” Hitoshi berkata sambil menghela nafas.

Ia membenci laki-laki dan perempuan yang berjalan d Shibuya.

“Kau suka pekerjaan sebagai penjual sistem-cegat?” tanya saya.

“Saya membencinya. Tapi bagi lulusan SMP seperti saya agar bisa berpenghasilan seperti sekarang ini, tak ada pilihan lain selain pekerjaan ini.”
Kami berdiri di persimpangan jalan di depan Stasiun Shibuya. Ada banyak orang berusia muda di seluruh penjuru.

“Waktu di Saitama,” Hitoshi mulai berkisah, “orang mengagumi segala tentang Shibuya yang populer. Tapi kalau melihat kami, para penjual sistem-cegat ini, masih adakah orang yang kagum? Kadang saya pikir tak ada salahnya mereka itu bekerja sebentar di Shibuya.”

Lampu lalu lintas berganti warna. Kami menyeberang. Kerumunan manusia mengarah ke stasiun.

“Apa kau mengenal wajah orang-orang yang berprofesi sama denganmu di Shibuya ini?” saya bertanya.

“Iya. Saya suka bergaul dengan penjual dari perusahaan lain, jadi sebagian besar kenal. Mereka lulusan SMP atau keluar sekolah saat SMA, tapi semuanya bekerja dengan giat. Meskipun tetap saja ada yang pintar bekerja, atau sebaliknya, tidak becus bekerja.”

Ketika berjalan melintasi lapangan depan stasiun, Hitoshi menunjuk seorang laki-laki yang sedang berdiri di kios majalah.

“Itu dia, si pencari bakat.”

“Ooh ….” Saya menyahut. Hitoshi berjalan cepat ke arah laki-laki itu. Mengenakan mantel, laki-laki yang sepintas tampak seperti pekerja kantoran biasa itu membalikkan badannya, tangannya memegang majalan mingguan yang baru saja dibelinya. Saya tertinggal dari Hitoshi, lalu mengejarnya.

“Sekarang saya sedang diwawancarai majalah,” kata Hitoshi, seakan mengenalkan saya pada lelaki itu.

Laki-laki itu memandang saya dengan tatapan tajam.

“Jangan berkata macam-macam. Kemarin Shige juga diwawancarai majalah, lalu ia terkena masalah,” katanya.

“Tenang, tidak apa-apa ….” Hitoshi tersenyum dengan terpaksa.

Saya merasa suasananya menjadi tidak mengenakkan, jadi saya berkata pada Hitoshi, “Kalau begitu, terima kasih ya atas waktunya hari ini.” kemudian saya meninggalkan tempat tersebut.

Setelah berpisah, dari kejauhan saya kembali penasaran dengan kondisi Hitoshi. Si pencari bakat sudah tidak ada. Di tengah kemacetan, Hitoshi menelepon. Saya tahu ia berbicara dengan suara keras dan ekspresi senang. Setelah itu, seorang laki-laki yang juga sedang menelepon mendekat. Rambutnya panjang dan dicat terang, wajahnya terbakar matahari. Keduanya mendekat lalu tertawa. Lalu mereka berdua pergi ke arah kawasan pertokoan. Hitoshi berbicara dengan antusias. Dengan langkah kaki yang mantap, mereka menyeberang persimpangan jalan.

Hitoshi berjalan di kota Shibuya dengan penuh keceriaan. Shibuya adalah rumahnya.

*


Diterjemahkan dari “キャッチ。セールス” (Catch Sales) karya Takashi Uehara dalam buku 喜びは悲しみのあとに, Gentosha Outlaw Bunko, 2004.

0 comments:

Post a Comment