Persimpangan jalan di depan patung Hachiko, Stasiun Shibuya.
Orang-orang pergi dan pulang saling mendekat, bersimpangan. Tak
ubahnya seperti ombak yang mendekat ke pantai yang saling bertabrakan dengan
ombak yang menyurut, saling menindih satu sama lain. Dalam sehari, ada sekitar
270.000 orang yang menyeberangi persimpangan ini. Kebanyakan adalah orang-orang
berusia muda. Mereka adalah orang-orang yang datang karena mengagumi Shibuya,
sebuah kota yang modern. Selain mereka, ada juga orang-orang yang sudah nyaman
tinggal di kota ini.
***
Orang-orang muda yang menyeberangi persimpangan ini kebanyakan masuk
ke pusat kota. Jalan-jalan dipenuhi oleh generasi muda yang terus bergerak. Bersela beberapa
jalan kecil dari pusat kota itu, ada satu ruas jalan sempit menanjak berupa
anak tangga. Sebutannya Lereng Spanyol. Beberapa gadis naik. Ada pusat perbelanjaan
Parco di depan pertigaan di ujung lereng. Di ujung palang jalan pertigaan tersebut, tiga pemuda
sedang berlarian tak tentu arah—ke kiri dan ke kanan. Mereka mengejar dan menyapa
perempuan yang lewat. Bila tak digubris, mereka langsung mengejar perempuan
yang lain. Tiga pemuda itu terus berlarian, ke kiri dan ke kanan tanpa henti, di jalan
yang memiliki lebar tiga meter dan panjang sepuluh meter itu. Persis seperti
tikus yang dimasukkan dalam sebuah alat percobaan yang dialiri listrik.
***
Akhir Maret. Hari Minggu. Pukul 16.00. Saya memanggil salah seorang
dari tiga pemuda itu.
“Sekarang saya sedang bekerja,” ia memandang saya lekat dengan
ekspresi wajah yang menakutkan.
“Oh, maaf. Bisakah kita mengobrol sebentar? Setelah jam kerja juga
tidak apa-apa,” tanya saya yang jadi ketakutan.
“Boleh. Tunggu di sini pukul setengah sembilan,”
“Baik. Sambil menunggu, boleh saya melihat kamu bekerja?”
“Boleh saja.”
Pemuda ini bernama Hitoshi Idehara. Di antara tiga pemuda itu, ia
yang paling tua, usianya 23 tahun. Ketiga pemuda itu wajahnya terbakar sinar
matahari, rambutnya panjang dan dicat, serta mengenakan pakaian warna
kehitaman. Hitoshi memakai mantel panjang warna hitam. Di bawah mantelnya ia
memakai celana panjang hitam yang ujung bawahnya terpotong serampangan sehingga
benangnya bergantungan. Sepertinya akibat seharian berjalan tanpa henti.
“Maaf … siswa sekolah?”
Sembari berkata demikian, Hitoshi tersenyum lebar pada dua orang
perempuan yang lewat di depannya, kedua tangannya ditempelkan di dahi seperti
sedang memohon, tubuhnya dicondongkan ke samping. Kedua perempuan itu tampak
tidak nyaman, lalu pergi menjauh dari Hitoshi. “Eh … eh ….” Hitoshi berjalan
menjejeri mereka berdua. Setelah mengejar sekitar tiga meter, ia menyerah.
“Bego. Mati sajalah!” gerutunya. Ia mencari dua orang calon konsumen selanjutnya.
Begitu ketemu, ia berlari, lalu berdiri di depan dua perempuan tersebut. Ia tersenyum
lebar, kedua tanganya ditaruh di depan dahi. “Maaf … siswa sekolah?” Dua
perempuan itu berlari, kabur. Wajah Hitoshi tampak marah, ia menggerutu,
“Jangan main-main, bego!” Sambil menggerutu, ia langsung menemukan calon
konsumen selanjutnya, dan berlari mendekat. Senyuman plus kedua tangan memohon,
dan “maaf … siswa sekolah?”, lalu targetnya menjauh. Muka Hitoshi berubah
menakutkan. Ekspresi wajahnya berubah-ubah. Berlarian, tersenyum, diacuhkan,
marah, menggerutu. Begitu terus berulang-ulang.
***
Setelah pekerjaan Hitoshi selesai, kami pergi ke kedai minum. Saya
ingin mendengarkan ceritanya. Pertama-tama, ia bercerita mengenai apa yang
dilakukan oleh seorang penjual sistem-cegat.
Tugas mereka adalah menyapa
calon konsumen perempuan, meminta tolong untuk menjawab angket, membawa mereka ke dalam gedung, lalu
mendudukkan mereka di meja konter dengan konselor perempuan di baliknya.
Sembari mengambil angket, si konselor membincangkan masalah kecantikan dan
menawarkan kosmetik serta alat perawatan wajah. Kebanyakan adalah produk
berharga mulai dari 250.000 sampai 500.000 yen, dengan fasilitas pinjaman. Jika
berjalan lancar, saat itu juga langsung ada kontrak-sementara. Dokumen
kontrak tersebut lalu dikirimkan ke perusahaan penyedia pinjaman. Setelah
konsumen membubuhkan stempel, maka kontrak tersebut sudah menjadi kontrak-resmi. Di titik inilah
Hitoshi akan menerima hasil bagiannya, yaitu sekitar tujuh persen dari total
nilai kontrak. Jadi dari kontrak senilai 250.000 yen, bagian untuknya adalah
17.000 yen.
Dari total jumlah kontrak-sementara di meja konter itu, separuhnya tidak berlanjut. Kalau
Hitoshi membawa sepuluh orang, yang berlanjut sampai kontrak-sementara adalah sekitar
empat orang. Dengan kata lain, hanya dua orang yang sampai pada tahap kontrak-resmi. Kenyataannya,
dalam sehari ia paling banyak bisa membawa sepuluh orang ke meja konter, dan paling
apes ia tak membawa seorang pun.
Pekerjaan itu dilakukan sejak pukul satu siang hingga pukul delapan
malam. Ada lima orang konselor; jika calon konsumen yang dibawa masuk sudah
memenuhi meja konter, barulah Hitoshi dan kawan-kawannya memiliki waktu istirahat.
Shibuya adalah lokasi rebutan bagi para penjual sistem-cegat. Dari
stasiun sampai Lereng Spanyol, tempat Hitoshi, ada beberapa laki-laki dari
perusahaan lain, jadi ia harus mengejar para perempuan yang tadi sudah
menghindar dari penjual sistem-cegat sebelumnya. Memang penjualan
sistem-cegat lebih baik dilancarkan di lokasi yang sedekat mungkin dengan
stasiun, tetapi sudah ada wilayah kekuasaan masing-masing, dan untuk wilayah
tersebut tiap perusahaan membayar setoran sebesar 70.000 yen per bulan kepada
yakuza. Selain itu, terkait dengan pembayaran pinjaman, tiap konsumen harus
memiliki kemampuan untuk melunasi
pinjaman itu, padahal orang-orang muda yang datang ke
Shibuya kebanyakan adalah siswa sekolah atau pengangguran. Jadi pertama-tama,
para penjual sistem-cegat wajib menyeleksi calon konsumennya. Atas alasan
tersebut, kalimat pertama yang diajukan menjadi beralasan jelas.
“Siswa sekolah?”
***
Hitoshi sedang mengejar dua orang perempuan. Namun keduanya terus
saja berjalan tanpa mempedulikan Hitoshi. Hitoshi meminum kopi kaleng yang ia
pegang dengan tangan kirinya, lalu menghisap rokok yang ia pegang dengan tangan
kanannya. Ini sudah akhir bulan Maret, tetapi angin yang berhembus masih saja
dingin.
Dua orang perempuan berambut panjang dikuncir yang masing-masing
mengenakan mantel biru dan krem berjalan mendekati tanjakan Lereng Spanyol.
Hitoshi meletakkan kopi kalengnya di sudut jalan, lalu saat keduanya naik,
Hitoshi sudah berdiri di depan mereka. Kedua tangannya diletakkan di depan
dahi, dan ia tersenyum lebar.
“Maaf … siswa sekolah?”
Perempuan yang mengenakan mantel biru memandangi Hitoshi lekat lalu
berteriak keras.
“Berisik!”
***
Dahulu Hitoshi tinggal di sebuah kota kecil di pedalaman Perfektur
Saitama. Saat SMP, ia berpikir bahwa anak yang bandel lebih populer di mata
para gadis sehingga ia mendekati gerombolan anak bandel. Ia memotong rambutnya di
bagian samping sampai tipis dan menyisakan rambut tebal di kepala bagian
tengah, serta bergabung dengan geng di daerah Omiya dan Urawa. Kedua
orangtuanya bercerai, ia dan adik laki-lakinya dibesarkan hanya oleh ibunya.
Setelah lulus SMP, ia berkerja, tetapi tak juga menemukan yang cocok sehingga
berkali-kali pindah tempat kerja. Dalam enam bulan ia pindah kerja sebanyak enam
kali. Setelah itu, atas rekomendasi seniornya, ia menjadi pekerja pembuat
cetakan di lokasi konstruksi. Selama empat tahun ia bekerja di sana, bahkan
mendapat kepercayaan menjadi penanggung jawab lokasi. Namun karena ada masalah
yang disebabkan oleh perubahan desain, ia melarikan diri dan berhenti bekerja. Ia keluar dari
kotanya tanpa tujuan sambil menghirup cairan pengencer cat.
“Saya tidak kuat mental, jadi saya melarikan diri,” kata Hitoshi.
Ketika sedang duduk di bundaran stasiun Akabane, ia berkenalan
dengan seorang laki-laki pencari bakat aktris porno dan ditawari apakah ia mau
menjadi penjual sistem-cegat di Shibuya.
“Sebelumnya saya pernah main ke Shibuya dan pernah melihat laki-laki
penjual sistem-cegat yang sedang bekerja,” kata Hitoshi mengenang. “Saya
berpikir, ‘wah, Shibuya. Pasti laki-laki ini sering berkenalan dengan
gadis-gadis.’”
Tak lama kemudian, ia menelepon si laki-laki pencari bakat, ingin
diperkenalkan pada pekerjaan tersebut. Hitoshi merasa ia telah memasuki satu
babak baru.
“Entah mengapa, memikirkan bisa bekerja di Shibuya saja membuat saya
senang.”
Para lelaki yang bekerja sebagai penjual sistem-cegat itu mayoritas
berasal dari daerah, sehingga bekerja di kota besar seperti Shibuya merupakan
suatu kebanggaan.
“Awalnya menyenangkan bisa menyapa dan mengobrol dengan
gadis-gadis,” Hitoshi berkisah sambil tertawa. “Seperti ‘setelah bisa menggoda seorang gadis dan
mengajaknya pergi, apa yang harus dilakukan?’. Tapi melakukan hal itu setiap
hari ternyata sama sekali tidak meyenangkan. Kebanyakan yang lewat sini cuma
perempuan-perempuan yang tidak menarik.”
Tiap hari, Hitoshi merasa seperti diejek oleh perempuan-perempuan
kota besar ini dari cara mereka melihat dirinya.
“Awalnya saya menyapa mereka dan diacuhkan. Ini tidak begitu menyakitkan.
Tapi, misalnya saat saya sudah berusaha sekuat tenaga tapi tak ada yang jadi
kontrak, atau kalau saya berjuang mati-matian, melakukannya mati-matian dengan sekuat tenaga
menyapa calon konsumen, bertanya apakah para konselor di atas sedang menunggu, berusaha
terlibat, membawa lima belas atau enam belas pasang calon konsumen tapi sama
sekali tidak membuahkan hasil; maka pada saat-saat seperti itu saya jadi turun gedung
lagi dengan lunglai, tidak
bersemangat. Saat para konselor sedang tak ada calon
konsumen, maka itulah giliran kami, itu pekerjaan kami, jadi kami harus lebih bersemangat.
Lalu juga ketika menyapa dan dibalas begini (ia menggerakkan tangan seperti
gestur mengusir), atau ketika menyapa malah mereka kabur, dibilang bego,
bersembunyi di tembok dan berteriak, ‘huaaaaa … ‘ seperti melihat kecoa; itu menyakitkan.
Pekerjaan ini memang berat secara fisik, tetapi lebih berat lagi untuk mental.”
Setelah berkata demikian, Hitoshi lalu meneguk bir. “Sekarang saya tak bisa
menyapa calon konsumen dengan sensasi menyapa gadis
sebagaimana apa yang dahulu saya bayangkan. Sekarang saya menyapa dengan
memikirkan … aneh kalau menyinggung uang, tetapi mungkin lebih ke urusan
perut.”
***
Dua orang perempuan berambut pendek mendengarkan cerita Hitoshi.
Salah seorang yang bertubuh kurus memandang wajah Hitoshi, sementara seorang
lagi yang bertubuh gemuk melihat ke arah lain.
“Sekarang saya juga bekerja di bagian promosi sebuah salon. Saya
mempromosikan sebuah salon yang terletak di gedung berlantai lima di sebelah
toko GAP.” Hitoshi menunjuk gedung GAP. Ia menurunkan file foto yang tergantung di
lehernya dan menunjuknya, “salon ini dulu direnovasi dan sekarang sudah dibuka kembali; promosinya adalah
dengan meminta orang-orang untuk mengingat nama dan alamat salon ini. Nah, saya
adalah karyawan yang bekerja paruh waktu.”
‘Selamat siang.” Hitoshi
tersenyum-senyum sambil memandang wajah dua perempuan tadi. “Usia saya 23
tahun, kalau Kakak-kakak ini berapa?” Keduanya tidak menjawab. Mereka
melanjutkan berjalan, tetapi Hitoshi menghalangi jalan mereka dengan tubuhnya,
lalu menunjukkan bagian belakang file-nya. “Saat ini kami sedang mencari orang
untuk melingkari dua belas jenis model rambut yang disukai dari majalan mode dan
sejenisnya. Kalau Kakak bilang tidak bisa memilih juga tidak apa-apa. Kami
sudah mempersiapkan hadiah sebagai ucapan terima kasih, dan promosi yang sedang
kami lakukan yaitu kami ingin Kakak mengingat nama serta alamat salon kami.”
Perempuan bertubuh gemuk melihat Hitoshi.
“Wah, Kakak ini sepertinya tegang ya. Tapi tenang, Kakak tidak perlu
menulis alamat atau nomor telepon; kami tidak meminta untuk mengisi angket atau
apalah itu di sana. Mungkin kalau perempuan sedang berjalan-jalan, entah untuk
berbelanja atau makan, pasti ada bermacam-macam tempat yang ingin dikunjungi,
kan?”
“Iya,” jawab perempuan bertubuh kurus.
“Nah, jalan kaki ke salon kami cuma lima belas detik. Mengisi angketnya juga tidak perlu waktu
lama kok. Tidak akan mengganggu waktu Kakak sekalian untuk belanja atau makan.
Jadi, mohon bantuannya,” setelah berkata demikian, Hitoshi menyatukan
tangannya, memohon kepada kedua perempuan itu. Keduanya seperti terganggu
tetapi mereka tertawa.
“Tidak perlu menulis alamat dan nomor telepon, cuma menulis nama.
Misalnya nama panggilan. Kalau nama Kakak adalah Yoshiko, ditulis Yocchan juga
boleh. Atau kalau mau menulis Ketua juga tidak masalah.”
“Kenapa saya jadi Ketua?” tanya perempuan bertubuh gemuk.
“Bukan begitu. Kakak kalau berjalan selangkah lebih cepat, seperti bilang ‘ayo ikuti saya’, jadi mengajak kakak
yang satunya ini,”
Dua perempuan itu tertawa.
“Ada di sebelah sana saja kok ….” Hitoshi mulai melangkah. Dua perempuan
tadi jadi
sedikit tertinggal, lalu mereka menyusul. Sambil berjalan, Hitoshi terus-terusan berbicara,
“hadiahnya tidak besar, tapi bukan tisu kok. Yang jelas tidak akan membebani
bawaan Kakak-kakak ….”
Bertiga, mereka memasuki gedung. Tidak sampai semenit, Hitoshi sudah
keluar lagi.
Ia menyenandungkan sebuah lagu.
“ … Itsudemo kimi no egao ni yurete (Aku selalu melambai pada senyumanmu)
Taiyou no you ni tsuyoku saiteitai (Aku ingin mekar dengan kuat, seperti
matahari)
Mune ga itakute, itakute, kowaresou dakara
(Karena hatiku pedih, pedih, seakan
hancur)
Kanawanu omoi nara, semete karetai ….” (Rasa yang tak terwujud ini, biarkan layu
saja)
(Judul: Flower. Lirik: hyde. Penyanyi:
L’Arc~En~Ciel)
“Saya kadang terlalu bersemangat ketika berbicara. Sayang saja, tak
ada orang yang menanggapinya,” Hitoshi minum bir, wajahnya memerah.
Jika sudah mulai menceritakan saat-saat kontrak-sementara terjadi,
Hitoshi berubah menjadi penceramah.
“Sudah saya duga, pasti di sini,” Hitoshi menekan jantungnya sendiri,
“saya akan berusaha agar semangat saya tidak turun. Kalau saya, begitu menyanyi
lagu L’Arc~En~Ciel, semangat saya jadi meningkat.”
“Apakah penjualan sistem-cegat tidak tergolong penipuan?” tanya saya
“Tidak,” Hitoshi agak tegang, “kami tidak berbohong. Jika misalnya
konsumen ingin membatalkan kontrak, ya langsung bisa batal.”
Hitoshi sudah menjalankan pekerjaan ini selama dua tahun, tetapi
selama itu tidak sekalipun ia pulang ke rumahnya.
“Kamu bilang kerja apa pada ibumu?” saya bertanya.
“Saya bilang kalau kerja di perusahaan manufaktur mobil,” Hitoshi
mematikan rokoknya dengan menekannya di asbak.
“Kenapa tidak bilang yang sebenarnya?”
“Kalau tahu saya kerja sebagai penjual sistem-cegat, ibu pasti sedih.
Saya tidak ingin membuat ibu khawatir lagi.”
***
Dua orang perempuan sedang berjalan di tepi jalan; seorang berambut
panjang terurai ke belakang dan memakai mantel hitam, sementara seorang lainnya
berambut pendek dan memakai sweter warna krem. Dari kejauhan, Hitoshi melambaikan tangan dan
tersenyum, seakan sudah mengenal mereka.
“Maaf … siswa sekolah?”
Keduanya mengacuhkan
Hitoshi sama sekali, kemudian berlalu menjauh dengan pandangan meremehkan.
“Hari ini sama sekali tidak berhasil,” wajah Hitoshi tampak ingin
menangis, “ini gawat.” Ia melihat ke atas, berbicara sendiri. Tepat di depannya adalah dinding Parco
dengan gambar wajah Amino Suzuki berukuran besar, dan sederet huruf berukuran
kecil: tersenyumlah!
***
“Berapa peghasilanmu sebulan?” tanya saya.
“500.000 yen. Saya harus bekerja keras agar tidak turun,” jawab
Hitoshi.
Walaupun pendapatannya 500.000 yen, tapi ia tak punya tabungan.
Setelah saya tanya ia menggunakan uangnya untuk apa, ternyata untuk minum sake.
“Lalu untuk pergi ke klub kabaret; di sana saya jadi ingin berteriak lepas.
Pekerjaan ini menimbulkan stres.” Kata Hitoshi.
Uang yang ia kumpulkan mati-matian ternyata terpakai habis. Tidakkah
ia memikirkan masa depannya?
“Tentu saja saya pikirkan,” Hitoshi menjawab dengan nada marah.
Ia berkeinginan menjadi pihak yang mempekerjakan para penjual sistem-cegat.
“Asalkan bisa merangkul beberapa penjual sistem-cegat dan konselor,
dengan mengeluarkan uang saja sudah bisa menjadi pemilik. Banyak yang begitu.
Bos saya, kepala divisi saya, mereka dulu juga melakukan itu dan berhasil.
Sebelumnya mereka juga penjual sistem-cegat,” Hitoshi mengambil botol bir
dengan tangannya dan menuangnya ke gelas saya.
“Hah …?”
Melihat wajah saya yang kaget karena terkesan, Hitoshi tertawa
lepas.
Katanya, “dunia yang tidak mengenal latar belakang pendidikan memang
sungguh ada ….”
***
Hitoshi berbicara lewat telepon dengan menempelkan ponselnya di
telinga. Di sampingnya lewat dua orang perempuan yang sedang membawa es krim.
“Jangan main-main, bego!” Tiba-tiba Hitoshi berteriak keras.
Orang-orang di sekitar sampai menoleh. Dua perempuan yang membawa es krim tadi lalu tergopoh-gopoh
menaiki lereng.
Hitoshi berlari masuk gedung.
Sepuluh menit kemudian, ia keluar dari gedung dengan langkah gontai.
Ia mendongak, melihat langit. Ia mengelap matanya dengan lengan mantelnya. Ia
menangis.
***
“Hari ini kamu menangis?” saya bertanya.
“Iya, saya menangis,” Hitoshi tertawa tersipu.
“Apa ada sesuatu?”
“Saya sudah membawa banyak target calon konsumen, tetapi konselor tidak berhasil
mencapai kontrak. Saya hilang kesabaran. Biasanya, jika tak ada yang berakhir
sampai kontrak, konselor-konselor itu akan menelepon, ‘maaf, tak ada yang
mencapai kontrak, padahal sudah berusaha membawa target ke sini. Mohon
bantuannya untuk target selanjutnya.’ Tapi karena hari ini tidak ada telepon
dari Junko Sato, saya jadi marah-marah di telepon. Kemudian saya dipanggil
kepala divisi. Katanya, ‘saya tahu kamu sudah berusaha, tapi ingat bahwa konselor pun begitu,’”
“Dimarahi?”
“Bukan dimarahi, malah Pak
Kepala Divisi kemudian menghibur saya. Saya menghormatinya.” Ekspresi Hitoshi menunjukkan keseriusan.
Katanya, kepala divisinya berusia 27 tahun.
“Apa yang Kepala Divisi katakan untuk menghiburmu?”
“Katanya, ‘jujur, bos menjadikan kemampuanmu sebagai senjata; dia
akan terganggu kalau kamu tak ada. Tapi kalau sampai ada masalah seperti ini, kamu akan dapat poin minus.
Jadi kalau kamu berbuat seperti ini lagi, saya akan panggil kamu lagi; saya tidak akan
membiarkan kamu. Setelah ini, kalau kamu seperti
merasa hilang kesabaran, ingat kata-kata saya barusan.’
Saya jadi
ingin berubah setelah dibilang
begitu. Di
depan gedung tadi saya memang menangis.
Saya benar-benar serius dengan pekerjaan ini.”
***
Keluar dari kedai minum, saya dan Hitoshi berjalan ke arah Stasiun
Shibuya. Pukul 12 malam. Ada banyak pemuda yang berjalan sambil mengobrol.
“Di sini ada banyak perempuan yang digoda, laki-laki yang
bertengkar, dan macam-macam lainnya; dan semuanya tak ada artinya.” Hitoshi
berkata sambil menghela nafas.
Ia membenci laki-laki dan perempuan yang berjalan d Shibuya.
“Kau suka pekerjaan sebagai penjual sistem-cegat?” tanya saya.
“Saya membencinya. Tapi bagi lulusan SMP seperti saya agar bisa
berpenghasilan seperti sekarang ini, tak ada pilihan lain selain pekerjaan
ini.”
Kami berdiri di persimpangan jalan di depan Stasiun Shibuya. Ada
banyak orang berusia muda di seluruh penjuru.
“Waktu di Saitama,” Hitoshi mulai berkisah, “orang mengagumi segala tentang Shibuya yang populer. Tapi kalau melihat
kami, para penjual sistem-cegat ini,
masih adakah orang yang kagum? Kadang saya pikir
tak ada salahnya mereka
itu bekerja sebentar di Shibuya.”
Lampu lalu lintas berganti warna. Kami menyeberang. Kerumunan
manusia mengarah ke stasiun.
“Apa kau mengenal wajah orang-orang yang berprofesi sama denganmu di
Shibuya ini?” saya bertanya.
“Iya. Saya suka bergaul dengan penjual dari perusahaan lain, jadi
sebagian besar kenal. Mereka lulusan SMP atau keluar sekolah saat SMA, tapi
semuanya bekerja dengan giat. Meskipun tetap saja ada yang pintar bekerja, atau
sebaliknya, tidak becus bekerja.”
Ketika berjalan melintasi lapangan depan stasiun, Hitoshi menunjuk
seorang laki-laki yang sedang berdiri di kios majalah.
“Itu dia, si pencari bakat.”
“Ooh ….” Saya menyahut. Hitoshi berjalan cepat ke arah laki-laki
itu. Mengenakan mantel, laki-laki yang sepintas tampak seperti pekerja kantoran
biasa itu membalikkan badannya, tangannya memegang majalan mingguan yang baru saja
dibelinya. Saya tertinggal dari Hitoshi, lalu mengejarnya.
“Sekarang saya sedang diwawancarai majalah,” kata Hitoshi, seakan
mengenalkan
saya pada lelaki itu.
Laki-laki itu memandang saya dengan tatapan tajam.
“Jangan berkata macam-macam. Kemarin Shige juga diwawancarai
majalah, lalu ia terkena masalah,” katanya.
“Tenang, tidak apa-apa ….” Hitoshi tersenyum dengan terpaksa.
Saya merasa suasananya menjadi tidak mengenakkan, jadi saya berkata
pada Hitoshi, “Kalau begitu, terima kasih ya atas waktunya hari ini.” kemudian
saya meninggalkan tempat tersebut.
Setelah berpisah, dari kejauhan saya kembali penasaran dengan
kondisi Hitoshi. Si pencari bakat sudah tidak ada. Di tengah
kemacetan, Hitoshi menelepon. Saya tahu ia berbicara dengan suara keras dan
ekspresi senang. Setelah itu, seorang laki-laki yang juga sedang menelepon
mendekat. Rambutnya panjang dan dicat terang, wajahnya terbakar matahari.
Keduanya mendekat lalu tertawa. Lalu mereka berdua pergi ke arah kawasan
pertokoan. Hitoshi berbicara dengan antusias. Dengan langkah kaki yang mantap,
mereka menyeberang persimpangan jalan.
Hitoshi berjalan di kota Shibuya dengan penuh keceriaan. Shibuya
adalah rumahnya.
*
Diterjemahkan dari “キャッチ。セールス” (Catch Sales) karya Takashi
Uehara dalam buku 喜びは悲しみのあとに, Gentosha Outlaw Bunko, 2004.