Ratusan orang sedang
tenang mendengarkan obrolan segar dua orang pembawa acara—sesegar wajah si pembawa
acara wanita—ketika belasan orang berkaos merah tiba-tiba masuk dari pinggir
lapangan. Mereka masuk dari segala penjuru lalu berpencar, mendatangi sekelompok
penonton sambil membawa sesuatu. Setelah sejenak berkata-kata, sambil beberapa
kali mereka saling mendekatkan mulut dan telinga—kurasa karena pembawa acara di
atas panggung terus berbicara dan pengeras suara berfungsi dengan
baik—orang-orang berkaos merah kemudian membagikan beberapa potong kertas
berwarna kuning dan mengulurkan beberapa batang spidol. Salah satu dari
sekelompok orang yang didatangi mengambil satu spidol dan membagikan kertas
yang diterimanya kepada teman-teman sekelompoknya. Dengan segera, si pemegang
spidol menulis di atas kertas kuning.
Semua orang berkaos
merah melakukan hal yang sama, dalam hitungan waktu yang sama. Bergerak serempak
yang mengingatkanku pada liliput-liliput yang muncul di film Willy Wonka si
pemilik pabrik cokelat, namun bedanya orang-orang berkaos merah ini wajahnya
tidak mirip satu sama lain, tidak menari, dan tidak mengenakan topi runcing
seperti liliput Willy Wonka. Pendeknya, aku semakin yakin orang-orang berkaos
merah ini adalah manusia biasa. Bukan liliput.
Dua pembawa acara di
panggung—yang wanitanya berwajah segar—masih saling ngobrol tanpa sedikitpun
terganggu oleh kehadiran orang-orang berkaos merah. Si lelaki bercerita bahwa
ia ingin sekali belajar bahasa Perancis dan berguru pada si wanita yang memang
lulusan Sastra Perancis. Si wanita menimpali dengan berkata bahwa ia bisa saja
berbuat demikian dengan imbalan, yaitu si lelaki yang seorang anggota paduan
suara harus mengajarinya bernyanyi. Mereka berdua sepakat, kemudian saling
bersalaman, tertawa, dan melanjutkan obrolannya tentang hal lain.
Dua orang laki-laki yang
juga mengenakan kaos merah tiba-tiba naik ke panggung. Ada sebentuk benda di
tangan mereka. Aku tidak memerhatikan apakah mereka dipanggil untuk naik atau
atas inisiatif sendiri naik panggung untuk mengkudeta pembawa acara. Tapi tidak
ada ekspresi terkejut sama sekali dari dua pembawa acara tadi, jadi kupikir
mereka pasti sudah bekerja sama sebelumnya.
Dan kurasa aku
melewatkan sesuatu. Aku terlalu memusatkan perhatian pada panggung, yang
sekarang diisi empat orang. Ketika aku menoleh pada ratusan orang yang beberapa
di antara mereka masih sibuk menulis-nulis di atas kertas kuning dengan spidol,
orang-orang berkaos merah sudah membawa sesuatu yang lain di tangan mereka. Sebentuk
benda, sama persis dengan yang dibawa dua orang laki-laki yang barusan naik ke
panggung.
Tidak butuh banyak
waktu, orang-orang di depan panggung memegang sebentuk benda tadi. Pandangan
mereka mengarah ke panggung, menirukan apa yang diperagakan oleh dua laki-laki
berkaos merah. Mula-mula mereka meletakkan kertas-kertas kuning di permukaan
benda tersebut. Kertas-kertas itu kemudian ditekan-tekan. Hei, mereka menempel!. Samar kulihat, ada tulisan—atau coretan—di
kertas kuning itu. Setelah itu, mereka memegang sebentuk benda tadi. Bahannya
tipis, kurasa mirip kertas. Diangin-anginkan, ke kiri dan ke kanan. Ia menjadi
bervolume dan berbentuk mirip balon.
Lantas beberapa orang,
masih menirukan dua laki-laki berkaos merah di panggung, mulai mengeluarkan
korek api dan membakar sesuatu di bagian bawah benda berbentuk mirip balon
tersebut. Ujung balon kertas diarahkan ke atas. Orang-orang mulai tersenyum,
lalu tertawa. Masing-masing memegang kerangka bagian bawah di balon kertas.
Sambil tetap tertawa, mereka mengobrol dengan keras atau mengambil kamera dan
memotret.
Balon kertas-balon
kertas mulai penuh oleh asap. Satu balon kertas dilepaskan dan perlahan-lahan membumbung.
Tinggi, terbang ke atas. Bercahaya merah indah di langit hitam pekat. Diiringi
tepuk tangan riuh rendah banyak orang.
“Terbanglah
puisi-puisiku,” aku bisa mendengar dengan jelas kata-kata dua pembawa acara di
panggung. “Terbanglah lampionku,” sambung si pembawa acara wanita berwajah
segar—maaf, aku mengulang-ulang frase ini. Wajah pembawa acara itu begitu
segar, aku senang sekali melihatnya. Ini pujianku untuknya—.
Satu per satu balon
kertas—apa tadi namanya? Lampion?—melayang di udara. Langit dipenuhi
titik-titik merah beragam ukuran—tentu karena lampion-lampion itu tidak terbang
bersamaan. Orang-orang semakin banyak yang bertepuk tangan dan tertawa, dan
titik-titik merah di langit semakin banyak.
“Cantik sekali,”
seorang anak perempuan kecil berbaju dan berbando merah muda berteriak sambil
menunjuk titik-titik merah tadi.
Kemana lampion dan puisi itu pergi ya?
Aku mendekat ke arah
kerumunan orang. Kuambil kertas yang terjatuh, spidol yang tergeletak, lampion
yang belum digunakan, dan korek yang terlupakan. Aku mengikuti apa yang tadi
mereka lakukan: menulis di kertas kuning dengan spidol, menempelkennya di
permukaan lampion, menyalakan sesuatu di bagian bawah lampion, menunggu sampai
lampion terisi penuh oleh asap, dan melepaskannya. Aku menerbangkan lampionku.
Kulihat lampionku
perlahan mengangkasa, bergabung dengan lampion lain. Menciptakan titik-titik yang
semakin cantik.
Malam yang merah,
indah, meriah.
Mataku lekat menatap
lampionku. Kemana lampion dan puisiku
pergi?
Ah, tapi aku tidak
bisa berpuisi. Tadi aku hanya menulis ini: あいしてる。 分かる?
Yeah! Latar lagunya cocok sekali: 内容の無い手紙
27 Maret 2014
0 comments:
Post a Comment