Hari ini Liu berulang tahun. Tapi ia tak ingat dan memang
tidak pernah sengaja mengingatnya. Jadi
ia tidak mengharapkan ada suatu hal istimewa yang akan terjadi hari ini,
seperti ia tidak pernah mengharapkan jendelanya akan terbuka pada pagi hari. Ia
tak suka hawa dingin yang dibawa oleh angin pagi, jadi ia hanya membuka jendela
ketika malam hari dan menutupnya sebelum tidur.
Setelah membuka mata agak lama, Liu duduk di atas kasurnya. Mengumpulkan
jiwanya yang mungkin masih keluyuran di tempat-tempat yang disinggahinya dalam
mimpi semalam, sambil melipat selimut. Ia selalu begitu. Semenit kemudian, ia
selalu merasa telah merhasil menciptakan sebuah kesuksesan pertama pada hari itu:
mampu mengumpulkan jiwa sekaligus melipat selimut. Memperoleh dua target dalam
satu tembakan.
Sayup-sayup Liu mendengar suara ibunya. Liu beranjak,
kakinya menyentuh lantai. Ia berjingkat, agak terkejut. Lantai kamarnya terasa
lebih dingin. Dilihatnya jendela kamarnya yang terbuka. Bukan aku yang membuka,
mungkin ibu, pikirnya. Ia mengangguk-angguk kecil. Lantas ia berjalan cepat ke
dapur sambil bersedekap.
“Ibu, apa itu?”
Sebuah kotak ikut tertata di atas meja bersama dengan piring-piring berisi
rebusan beberapa macam sayur, ikan goreng, dan jeruk.
Ibunya menoleh, tangannya tetap mengaduk-aduk sesuatu di panci.
“Semalam ayahmu datang.”
Liu mengerti maksud ibunya. Ia mengambil kotak itu dan
kembali ke kamarnya. “Aku makan nanti saja, bu,” katanya setengah berteriak.
Liu menutup pintu kamar. Ia terus mendekap kotak dari
ayahnya sambil memunggungi pintu. Dadanya berdebar-debar. Tak ada yang lebih
membahagiakan daripada sebuah kejutan dari ayahnya. Semalam ia tidur lebih cepat. Pasti ayahnya
tak mau membangunkan Liu sehingga hanya menitipkan hadiah melalui ibunya.
Ayahnya datang sekali dalam beberapa bulan. Liu tak tahu pasti
jadwalnya. Terakhir ia bertemu ayahnya sekitar 5 bulan lalu. Saat itu, Liu
mendapat sebuah tas yang sampai sekarang masih disimpannya dengan rapi. Ia hanya
memakainya sesekali ketika pergi dengan teman-temannya.
Meskipun jarang bertemu ayahnya, tapi Liu tak pernah
khawatir. Setiap malam mereka berdua bertemu dalam mimpi. Dan Liu sangat
percaya bahwa ketika ia memimpikan ayahnya, maka ayahnya sedang merindukannya.
Dengan cekatan Liu membuka kotak dari ayaknya. “Ah, aku
bahkan tak ingat kalau hari ini aku berulang tahun. Tapi ayah ingat itu…”
gumamnya ketika membaca selembar kertas kecil di dalam kotak.
Liu terus menimang-nimang kotaknya sampai ibunya berteriak,
mengajaknya untuk makan bersama.
---
“Sepatumu baru, Liu?”
Liu tersenyum. Rupanya Gui, tetangga depan rumah yang juga
teman sekelasnya dan setiap hari berangkat ke sekolah bersamanya, menyadari
keberadaan sepatu barunya.
“Dari ayahku. Semalam ia datang ketika aku sudah tidur. Jadi
hadiah ini dititipkan pada ibuku.”
“Kau tidak bertemu ayahmu?”
Liu menggeleng.
“Padahal aku ingin bertanya dengan siapa ayahmu datang
semalam. Wanita itu cantik sekali, bahkan menurutku lebih cantik daripada Wang
Yihan. Apa kau kenal dengannya?”
Wajah Liu merah padam. Ia sungguh tidak ingin menampar wajah
Gui yang telah menanyakan hal yang dianggapnya tak layak untuk ditanyakan
secara langsung, tapi ia ingin menonjok muka ayahnya.
Liu mencintai ayahnya. Ia merasa cinta itu telah dikhianati
oleh ayahnya sendiri.
---
310113
Suddenly missing Wang Yihan, wanna see her expression when Saina Nehwal beat her :D