Wednesday, May 11, 2011

Al Zaytun, Kemegahan yang Pernah Saya Cita-Citakan

Sembilan tahun lalu, apa yang ada di depan mata saya adalah sebuah kemegahan. Kemegahan itu lantas menghipnosis saya untuk mati-matian belajar demi sebuah cita-cita: bersekolah di Al Zaytun.

Saya tak pernah menyangka bahwa saat ini (sebenarnya kasus ini sudah sejak dahulu bergulir), nama Pondok Pesantren Al Zaytun, atau yang juga biasa disebut Ma'had Al Zaytun, sangat lekat dengan Negara Islam Indonesia (NII) Komandemen Wilayah 9 (KW 9). Saya tak pernah menyangka bahwa Panji Gumilang, yang dulu namanya tak pernah saya dengar karena saya hanya tahu nama pesantrennya, saat ini tengah menjadi pusat perhatian karena kemampuannya memeroleh dan mengelola uang sekian triliun demi pesantren dan NII-nya.

Saya mengenal Al Zaytun sejak kelas 5 SD. Saat itu, murid ibu-saya adalah seorang santri di Al Zaytun. Ibu saya kemudian memeroleh cerita tentang pesantren tersebut dari ibu muridnya. Cerita itu lantas diturunkan kepada saya, bahwa Al Zaytun adalah pesantren yang sangat bagus: menjamin setiap santrinya hafal Al Quran begitu lulus dari sana, mengembalikan seluruh ‘uang pangkal’ yang telah dibayar di awal pendidikan ketika sudah lulus, dan bla bla bla lain.

Yang menjadi sedikit masalah adalah, untuk bisa menjadi santri Al Zaytun, ada beberapa tes. Salah satu tesnya adalah hafalan Juz Amma atau juz 30 dalam Al Quran.

Terdorong oleh keinginan untuk menjadi bagian dari ribuan santri Al Zaytun, saya akhirnya mulai hafalan surat-surat dalam juz 30. Ketika itu, kota saya juga sepertinya sedang demam Al Zaytun. Banyak anak yang juga ingin bersekolah di Al Zaytun, dan fakta ini membuat saya semakin tertekan. Dibantu ibu saya, saya jadi semakin rajin menghafal ayat-ayat Allah juz 30. Kadang patah arang karena tidak kunjung hafal, tapi ibu tetap memberi semangat.

Nah, beberapa ratus meter dari rumah saya, tapi masih dalam satu komplek, ada sebuah rumah yang menjadi semacam pusat penggemblengan hafalan juz 30 khusus untuk anak yang ingin masuk Al Zaytun. Semacam asrama begitu. Di sana kegiatannya hanya menghafal dan menghafal. Sempat terpikir untuk mengikuti penggemblengan tersebut, namun akhirnya urung. Saya takut tak kuat dan takut juga membayangkan betapa membosankannya hidup tanpa televisi (di ‘asrama’ tak boleh nonton teve).

Selain dari cerita ibu, ada juga cerita-cerita dari majalah yang mampir ke rumah. Al Zaytun memiliki majalah sendiri, seingat saya nama majalahnya juga Al Zaytun. Salah satu kaver belakang majalah yang saya ingat adalah gambar burung Rangkong. Kabarnya, Al Zaytun memiliki penangkaran burung Rangkong yang terancam punah.

Suatu kali, ayah saya mengajak saya berkunjung ke rumah salah seorang kawannya. Kawan ayah ini memiliki putra yang usianya setahun lebih tua dari saya, dan ia adalah santri Al Zaytun. Saat itu, ia sedang liburan dan berada di rumah. Saya bertemu dengannya. Kawan ayah bercerita banyak tentang betapa enaknya bersekolah di Al Zaytun, sambil sesekali bertanya kepada putranya tersebut.

Sepulang dari tempat kawan ayah, keinginan saya untuk masuk Al Zaytun makin besar. Sayangnya, saya tak juga berhasil menghafalkan juz 30. Hafalan saya masih patah-patah. Kadang lupa, terbolak-balik, atau macet. Padahal, kabarnya, tes hafalan untuk masuk Al Zaytun ini dilakukan secara acak. Tak ada yang tahu surat apa yang akan diujikan, kemungkinannya 1 dari 37 karena ada 37 surat dalam juz 30. Kalau misalnya dapat surat Asy Syams sih masih mending. Kalau dapat Al Fajr, An Nazi’ah, atau surat agak panjang lainnya? Tentu saya puyeng, karena hafalan dengan ibu saja masih kacau, apalagi hafalan di depan penguji.

Sekitar bulan Desember ketika saya kelas 6 SD, kalau saya tak salah ingat, ada rombongan santri dan wali santri yang akan kembali ke Al Zaytun selepas liburan. Wali santri hanya bertugas mengantar, jadi jumlahnya tak begitu banyak. Yang lebih banyak adalah santrinya (ya iyalah). Seingat saya tidak hanya satu bus yang memberangkatkan para santri ini.

Saya tidak tahu dari siapa ide ini muncul—entah ayah entah ibu—, tiba-tiba ayah mengajak saya ikut rombongan ini. Kami berdua akan melihat sendiri bagaimana Al Zaytun. Kami membawa perlengkapan seperlunya. Saya tidak ingat apa saja yang ayah masukkan ke dalam tas besar kami.

Saya dan ayah tidak mungkin ikut dalam rombongan santri, jadi kami ikut rombongan wali santri. Wali santri tidak ikut naik bus, tapi naik mobil. Entah ada berapa mobil yang ikut berkonvoi dalam perjalanan Gresik-Indramayu ini, yang jelas saya dan ayah ada dalam salah satu mobil di antara rangkaian konvoi itu. Selain kami berdua, di dalam mobil tersebut empat orang wali murid. Jadi ketika itu, sayalah yang paling imut dan unyu :p.

Perjalanan panjang antara Gresik dan Indramayu ini kami tempuh dalam waktu entah berapa jam entah berapa hari. Saya sudah lupa. Yang jelas, kami sering mampir di SPBU. Bukan untuk isi bahan bakar, tapi sekedar untuk buang air atau menegakkan salat.

Singkat cerita, sampailah kami pada sebuah pondok pesantren bernama Al Zaytun. Oiya. Jalan menuju ke pesantren adalah jalan raya yang tidak terlalu lebar. Di samping jalan raya masih banyak sawah yang membentang. Pokoknya ndeso banget lah.

Tapi jangan tanya apakah Al Zaytun ndeso. Sama sekali tidak. Gedungnya justru keren-keren.

Saya menginap di salah satu kamar santri perempuan, ayah saya bersama wali santri lain. Ah, saya lupa siapa nama santri yang memberi saya tumpangan tidur. Nama gedung asramanya pun saya lupa. Yang saya ingat, gedung-gedung Al Zaytun dinamai seperti sahabat Rasulullah. Jadi ada gedung Umar bin Khattab, Abu Bakar Ash Ahiddiq, Ali bin Abi Thalib, Usman bin Affan, Aisyah, Fatimah Az Zahra, dan Khadijah.

Di Al Zaytun, kegiatan saya dan ayah tak lain adalah jalan-jalan. Kami berkunjung ke masjid utama Al Zaytun. Di sinilah saya terpesona untuk pertama kalinya. Masjid ini memiliki kolam ikan di bawahnya! Jadi kalau mengantuk, jangan duduk di pinggir masjid. Bisa-bisa nanti tercebur ke kolam. Saya tidak tahu ikan apa yang dipelihara, tapi yang jelas ikan itu berukuran besar. Panjang ikan-ikan itu sekitar dua jengkal orang dewasa. Menurut santri di sana, ikan itu untuk keperluan konsumsi sehari-hari. Selain di bawah masjid, ada lagi beberapa kolam ikan lainnya.

Kemudian, kami mengitari kompleks pesantren Al Zaytun dengan menggunakan bus. Saking besarnya sampai butuh bus untuk mengelilinginya.

Berturut-turut, pemandangan berikut hadir di hadapan saya:
Peternakan sapi. Sapi-sapi ini selain diambil dagingnya, juga diperah susunya. Jadi, santri dan guru minum susu perah asli, hasil peternakan sendiri.
Peternakan ayam. Tentu Anda sekalian sudah tahu hasil apa yang ingin diperoleh dari sebuah peternakan ayam. Yang super, kandang ayamnya dilengkapi dengan AC alias pendingin ruangan. Katanya sih, biar steril.
Perkebunan mangga. Kebun mangga ini luas sekali. Entah berapa ton mangga yang dihasilkan ketika musim panen. Mungkin mangganya adalah mangga indramayu, tapi saya tidak tahu juga.
Sawah. Ini yang super. Mereka punya sawah sendiri untuk memenuhi kebutuhan beras bagi ribuan mulut di pesantren Al Zaytun.
Deretan pohon kurma. Saya melihat beberapa pohon kurma yang berjejer. Saya tidak tahu kenapa pohon-pohon kurma itu ditanam karena setahu saya pohon kurma tidak bisa berbuah di Indonesia. Tapi menurut beberapa kabar, di Al Zaytun pohon kurma itu berhasil berbuah.
Pohon zaytun. Mungkin dari sinilah nama itu diambil, jadi pihak pesantren menanam pohonnya. Saya tidak begitu ingat bagaimana bentuk pohonnya, karena mereka terhampar di lahan yang luas.
Lapangan olahraga. Ada lapangan sepakbola yang seingat saya berjumlah enam buah, lapangan basket, dan voli. Super sekali pokoknya.
Koperasi. Gedung koperasinya besar sekali, tidak seperti Alfa Mart. Yang dijual pun beragam, bahkan hingga pakaian seragam santri.

Sepertinya masih banyak yang saya lihat, tapi hanya itu yang bisa saya ingat.

Begitulah. Sepulang dari Al Zaytun, keinginan saya untuk bisa bersekolah disana semakin besar. Saya semakin bersemangat menghafal, dan sepertinya orang tua saya juga makin bersemangat untuk mengumpulkan uang pangkal yang seingat saya sebesar 20 juta rupiah ketika itu.

Lantas, bagaimana kelanjutan kisahnya?

Kisah selanjutnya adalah, saya justru meneruskan sekolah di SMP Negeri 1 Gresik, bukan di Pondok Pesantren Al Zaytun. Saya tak ingat mengapa akhirnya saya tidak jadi mendaftar untuk bersekolah disana. Mungkin salah satu sebabnya adalah saya tidak berhasil menghafal keseluruhan surat dalam juz 30 Al Quran. Hehe

Sampai sekarang, ketika mendengar nama Al Zaytun, yang ada di benak saya adalah sebuah pondok pesantren yang hebat karena fasilitasnya yang sedemikian lengkap. Terkadang bahkan saya tak percaya pada berita-berita tentang NII-Panji Gumilang-Al Zaytun itu.

Bagaimanapun, beginilah jalan hidup saya. Allah swt telah memilihkan jalan terbaik untuk saya. Kalau dulu saya diterima di Al Zaytun, mungkin saya sekarang tidak kuliah di STAN. Kalau dulu saya diterima di Al Zaytun, mungkin saya bisa menguasai bahasa Sunda (nggak nyambung). Juga kalau dan mungkin lainnya.

Sampai sekarang, saya masih ingat dengan jelas kolam ikan di bawah masjid itu…


Salam,
Wahyu Widyaningrum

1 comment:

  1. Salam Wahyu,

    Terima kasih atas sharing ini. :)

    Faz, Kuala Lumpur.

    ReplyDelete