Tuesday, April 12, 2011

Au Neko

Seorang wanita tua duduk di emperan sebuah toko. Ia mengenakan daster panjang bergambar bunga-bunga. Bunga-bunga di dasternya seharusnya berwarna merah, kuning, dan oranye. Kenyataannya, bunga-bunga itu sudah berubah warna, menjadi serupa abu-abu. Mungkin bunga-bunga itu ada di sebuah taman yang letaknya dekat dengan tempat orang-orang membakar sampah sehingga mereka tertutup abu yang beterbangan dan akhirnya warna asli mereka tak lagi tampak.

Wanita itu seharusnya mengenakan daster dengan jahitan rapi. Kenyatannya,di dasternya banyak sekali lubang-lubang, baik besar maupun kecil. Lebih banyak dari lubang-lubang itu adalah sebentuk garis berjajar yang dibuat dengan benang untuk menyambungkan dua sisi kain yang terbelah. Entah siapa yang menjahit-tangan dasternya.


Tidak ada yang tahu persis berapa usia wanita itu. Beberapa orang menerka-nerka, namun sebagian besar dari mereka setuju bahwa wanita itu berusia antara 55 sampai 60 tahun. Jika ditanya bagaimana orang-orang itu menerka angka sekian, mereka akan menjawab bahwa memang wanita itu berpenampilan seperti seorang berusia 55 sampai 60 tahun. Mungkin maksud mereka adalah kekencangan kulit dan roman muka wanita itu yang menyatakan demikian. Mereka hanya menerka, tidak ada yang bertanya langsung kepada wanita itu sehingga mendapatkan jawaban langsung yang tentu lebih akurat dan melegakan dibanding hanya menerka-nerka tanpa dasar yang jelas.

Wanita itu sedang menggendong seorang anak perempuan. Seperti bagaimana orang-orang tak tahu berapa persisnya usia si wanita, mereka pun tak tahu berapa usia anak perempuan yang digendong si wanita. Namun, dari perawakan anak itu, mereka menebak ia berusia sekitar 3 sampai 4 tahun. Perawakannya kecil, kulitnya putih, dan senyumnya indah.

Tapi kali ini tak ada yang mampu melihat seindah apa senyum anak perempuan itu. Sejak tadi ia tidak tersenyum. Sejak tadi ia hanya meringkuk di gendongan seorang wanita tua. Ia merasa ingin sekali menangis dan mengeluarkan air mata, tapi tak ada setetes pun air matanya yang keluar. Ia tak tahu kenapa. Mungkin sudah surut dan kelenjar air matanya tak lagi berproduksi lantaran sudah terlampau lama ia menangis. Pipinya sudah tak lagi basah oleh air mata, tapi masih tampak bekas-bekas air mata disana.

Seorang pun tak ada yang tahu kenapa sejak tadi anak perempuan itu menangis. Gengsi mereka terlalu tinggi untuk sekedar bertanya mengapa ia menangis. Mereka terlalu acuh untuk mendekat. Aktivitas mereka masing-masing lebih menarik perhatian daripada melangkah mendekati sepasang wanita tua dan anak perempuan kemudian mencoba membantu mereka berdua.

Sejak tadi, wanita itu hanya menepuk-nepuk punggung anak di gendongannya sambil menggoyang-goyangkan badannya. Ia mengatakan sesuatu, tapi juga tak ada yang tahu. Orang-orang hanya menerka apa yang ia katakan. Mereka menerka dari gerak bibirnya, berapa kali ia membuka-tutup mulutnya dan berapa jumlah suku kata yang sepertinya ia ucapkan. Mereka kemudian sepakat, bahwa ia tak mengucapkan “jangan menangis” atau “cup cup cup”.

Suara tangis anak perempuan dalam gendongan wanita tua makin kencang, meskipun tetap saja tak ada air mata yang keluar. Sejak dua hari lalu ia tak makan apapun. Hanya air putih yang diambilkan wanita itu dari kran air di depan sebuah rumah. Perutnya sudah tak tahan lagi. Ia butuh makan, tak lagi butuh air. Perutnya menolak dan protes, menyuruh pikirannya untuk menangis. Jadi menangislah ia sejak tadi. Wanita yang menggendongnya hanya menepuk-nepuknya, sambil mengatakan sesuatu. Orang-orang di sekitarnya tak ada yang mendekat barang sejenak bahkan untuk berbasa-basi. Mereka hanya memandang dari jauh sambil membicarakannya.

Wanita itu tak punya apa-apa, dan tak bisa apa-apa. Yang bisa ia lakukan saat itu adalah terus saja menepuk-nepuk punggung anak perempuan di gendongannya sambil mengatakan sesuatu. Lama kelamaan, tangis anak itu reda. Mungkin lelah menangis, atau mungkin juga lelah meminta tapi tak ada yang menuruti. Atau lelah meminta tapi tak ada yang mengerti.

Suasana sepi, tak ada lagi tangis yang pecah. Orang-orang tetap memandang si wanita yang masih saja menepuk punggung anak itu dan mengatakan sesuatu meskipun ia sudah tak lagi menangis. Mereka mempertajam pendengarannya. Beberapa orang mampu mendengar apa yang dikatakan oleh wanita itu, dan mereka sedikit berdiksusi sambil menerka-nerka. Akhirnya mereka sepakat, wanita itu sejak tadi berkata, “Au neko.”

Ia berkata au neko, aku sayang kamu.


Salam,
Wahyu Widyaningrum

N.B.: Au neko adalah bahasa Timor, artinya kurang lebih aku sayang kamu. Kisah ini terinspirasi oleh tulisan ini.

0 comments:

Post a Comment