(1)
Saat ini, kekasihku sedang menantiku di bandara. Aku hampir yakin ketika nanti kami bertemu, ia akan terus memelukku erat sampai waktu boarding tiba. Kemudian ia akan menggeret kopernya dengan setengah hati, seperti ketika dulu ia pergi ke Makassar selama seminggu untuk menemani ibunya.
Tapi yang membuatku berkata hampir yakin dan bukan yakin adalah, karena nanti ia akan berangkat ke Jepang untuk kuliah selama empat tahun. Empat tahun, bukan seminggu seperti waktu itu ia ke Makassar. Selama empat tahun, kami tak akan bertemu. Mungkin hanya akan ada percakapan yang singkat lewat telepon, atau tatap muka tak langsung lewat webcam.
Jadi sekarang aku agak berlama-lama di depan cermin, memastikan penampilanku sudah keren dan tak membuatnya kecewa di pertemuan-fisik terakhir kami untuk empat tahun ke depan.
Kunyalakan motor di halaman rumah. Kutinggal sebentar masuk rumah untuk mengambil helm dan pamit pada ibu. Tapi baru beberapa langkah dari ibu, kulihat tiba-tiba ibu ambruk. Wajahnya pucat.
---
Tuhan, jangan ambil ibuku sekarang.
Sejak tadi aku hanya mondar-mandir di depan ruang ICU. Aku tak tahu apa yang dilakukan beberapa dokter dan perawat di dalam, yang jelas aku yakin mereka akan mengupayakan yang terbaik demi ibuku.
Tapi selain perasaan gelisah karena ibu, ada satu lagi yang membuatku gelisah. Aku belum tahu apa. Kucoba mengingat sambil terus mondar-mandir di depan ICU.
Ah iya, kekasihku!
Kuraba seluruh saku celana dan jaket. Sial, ponselku tertinggal di rumah. Kulihat jam tanganku. Hahaha, setengah jam sudah berlalu dari waktu keberangkatannya. Mendadak aku jadi merasa sangat pusing, dan tiba-tiba gelisahku berlipat-lipat: jangan-jangan aku akan kehilangan ibuku, juga kekasihku.
Friday, March 25, 2011
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comments:
Post a Comment