Sunday, December 5, 2010

Selembar Undangan Pernikahan dari Temanku

Tiga ratus tiga puluh enam jam lagi, kudengar, seorang teman baikku akan menikah. Kabarnya akad nikahnya hanya dihadiri
kerabat dekat. Baru ketika resepsi, seluruh kenalannya akan diundang. Yang kudengar, resepsinya akan diselenggarakan dengan sangat mewah dan supermeriah. Rani menduga resepsinya akan digelar di hotel berbintang lima dengan tiga ribu tamu undangan. Angel menebak teman baikku itu akan mengenakan mahkota bertahtakan berlian asli seharga entah-berapa-ratus miliar rupiah. Asih menerka akan ada gelaran wayang kulit, orkes dangdut, dan pesta selama sebulan penuh tanpa henti dengan banyak pengisi acara. Aku sendiri, teman baiknya, tak berani menerka-nerka. Hingga sekarang, 336 jam menuju hari pernikahannya, ia belum juga mengabariku.
***
Bel pintu sejak dua puluh detik lalu sibuk berbunyi. Seseorang mungkin sedang mempunyai urusan yang sangat penting denganku dan sekarang tengah menanti di depan pintu, menungguku untuk membuka pintu, menampakkan wajah, dan meminta maaf padanya karena aku kurang menghargai tamu dengan tak segera menyambut orang yang sedari tadi memencet bel.
Daun pintu kubuka. Sesosok tubuh tampak di depanku, wajahnya tertutup oleh selembar kertas berbungkus plastik bening yang dipegang dengan tangan. Mungkin ia tengah ingin bermain-main denganku, menyuruhku menebak siapa dia.
“Ini undangan resepsiku.” Katanya.
Teman baikku yang akan menikah hanya ada satu orang, yang kabarnya akan menggelar resepsi supermewah dan meriah itu.
“Sudahlah, kau tak pandai melawak. Kita pun sudah tak lagi anak-anak. Janganlah kau suruh aku bermain tebak-tebakan. Sampai aku tua dan penglihatanku tak baik lagi, aku akan tetap tahu bahwa itu kau, Vina.”
Ia tertawa keras. Padahal menurutku tak ada yang lucu.
“Berdandanlah yang cantik saat menghadiri resepsiku nanti. Akan ada wartawan dari seluruh dunia yang datang meliput. Kau mungkin akan tersorot kamera beberapa wartawan dan wajahmu akan ditonton miliaran penduduk dunia.”
“Kau mengundang wartawan secara khusus?”
“Tidak. Mereka mengajukan permohonan meliput. Rupanya suamiku cukup terkenal.”
“Ahh… Kau bahkan belum memperkenalkan calon suamimu padaku, tiba-tiba saja kau memberiku undangan pernikahan. Tidak adil,” Kuambil undangannya, kubuka di depannya, kubaca tulisannya satu per satu.
“Bagaimana aku memanggil calon suami teman baikku ini?” Kubaca nama mempelai pria dengan sedikit belepotan. “Xzescvarnmigrwyyn Kslebghoonmirg.”
Teman baikku, yang akan menikah 240 jam lagi, hanya tersenyum.
“Orang mana dia? Rusia?” tanyaku ngawur.
“Bukan. Kami bertemu ketika Konferensi UFO. Dia datang sebagai perwakilan dari planet Gliese 581g.”
Oh Tuhan, aku sungguh tak paham apa yang sedang ia bicarakan.
“Panggil saja Mirg, nama terakhirnya.”
“Oh, begitu….”
“Ini fotonya, barangkali kau bisa menyapanya ketika tiba-tiba kebetulan bertemu.”
Di tanganku sekarang ada selembar kertas foto dengan objek yang tampaknya memiliki bentuk tak wajar. Rasanya manusia manapun tak ada yang sekerdil objek ini, memiliki kepala dan mata sebesar objek ini, juga jari tangan yang sepanjang objek ini. Mungkinkah Vina salah memberikan foto?
“Dia alien.”
-----
Sebuah flash fiction *bahasa Indonesianya apa ya? >_<* karya saya. Masih sangat sederhana, soalnya masih belajar :)



Salam,
Wahyu Widyaningrum

0 comments:

Post a Comment