Thursday, June 4, 2015

Kisah Ganjil Bertemu Malaikat


Kisah ganjil—baik yang benar-benar ganjil maupun yang sepertinya ganjil—selalu ada dalam setiap buku cerita. Selalu ada. Setidaknya satu. Sebanyak-banyaknya dapatlah dikatakan ada tiga kisah. Kalau lebih dari tiga, maka buku itulah yang ganjil—atau sepertinya ganjil.

Seorang anak kecil bertemu dengan malaikat. Bocah yang sangat menyayangi ayahnya itu pergi mengendap-endap dari rumah menuju sebuah tempat di ujung kota demi bertemu malaikat. Berdasarkan cerita yang sering diulang-ulang oleh ayahnya, di tempat itu ia dapat bertemu malaikat dan meminta apapun yang ia ingin, namun tentu saja bukan hal remeh macam mainan atau permen. Ketika ayahnya sedang tertidur—mungkin akibat obat yang baru saja diminum, ia menemui malaikat dan menyampaikan permohonannya: angkatlah penyakit ayahnya, sembuhkanlah, dan timpakanlah penyakit itu pada ibunya yang entah berada di mana sebab pergi bersama laki-laki lain, meninggalkan ia dan ayahnya—yang entah sakit apa sejak dua tahun lalu, bahkan dokter mana pun tak ada yang tahu penyakit apa yang menjangkiti ayahnya.

Kisah ganjil mengenai pertemuan dengan malaikat itu  saya baca beberapa waktu lalu, di sebuah sobekan kertas bekas rujak yang saya beli di tukang rujak di pinggir komplek. Ketika itu saya sedang kekenyangan setelah melahap rujak—rujak yang saya bicarakan di sini adalah rujak cingur, makanan kegemaran saya nomor dua setelah gado-gado—, dan iseng saya ambil kertas alasnya—yang saya tebak pasti berasal dari sebuah buku karena ada nomor halaman di ujung bawah—, saya buang kertas nasinya. Di situlah sebuah kisah berjudul Bertemu Malaikat pertama kali saya baca.

Kisah Bertemu Malaikat itu ganjil, tentu saja menurut saya. Menurut orang lain, bisa saja tidak. Mungkin saja bagi orang lain, yang disebut kisah ganjil adalah kisah mengenai sepasang sepatu di etalase sebuah toko bermerek yang sedang bercakap-cakap mengenai nasib mereka: hanya dipandangi dari luar dengan tatapan mata yang seringkali susah ditebak apa artinya oleh sebagian besar orang—karena mereka terlalu saying jika harus membeli sepatu yang senilai dengan gaji sebulan—yang kemudian beberapa hari atau minggu kemudian posisi mereka akan tergeser, tergantikan oleh sepatu-sepatu lain yang juga tak kalah menawan namun tetap hanya dipandangi saja oleh sebagian besar orang-orang yang lewat di depan toko. Sepasang sepatu itu, dan teman-temannya, meskipun merasa bahwa mereka adalah yang paling indah dan menarik, ternyata tak lebih hanya berperan sebagai penghias etalase.

Menurut saya yang hobi membacanya pas-pasan ini—omong-omong, bolehkah saya menyebut sesuatu yang saya sukai dengan kadar pas-pasan sebagai hobi?—, kisah Bertemu Malaikat menjadi ganjil lantaran saya baru pertama kali membaca kisah seperti itu. Itu sebab pertama. Sebab kedua adalah, karena saya sendiri belum pernah bertemu dengan malaikat.

Saya percaya bahwa malaikat itu ada. Mungkin lantaran sejak kecil saya sudah pergi langgar dan belajar mengaji pada ustad setiap sore. Di langgar, saya diajari banyak hal, termasuk tentang malaikat itu. Bahwa saya harus mempercayainya. Dan entah mengapa, meskipun ada beberapa hal yang begitu saya percayai ketika kecil namun ketika saya dewasa saya tak lagi meyakininya, tetapi masalah malaikat ini lain. Sampai sekarang, saya percaya bahwa malaikat itu ada.

Namun sama seperti saya percaya bahwa udara itu ada meskipun saya tak bisa melihat wujudnya, saya pun percaya akan keberadaan malaikat meskipun saya belum pernah bertemu dengan malaikat. Sebab saya belum pernah bertemu, maka saya menganggap ganjil kisah Bertemu Malaikat itu.

***

Siang ini, meskipun matahari bersinar dengan sangat terang—pakaian yang saya jemur bahkan bisa kering hanya dalam waktu dua jam, dan ini adalah rekor bagi saya—namun udara tidak terlalu panas. Biasanya di bulan Juni begini, kipas angin tidak pernah mati di siang hari. Namun beberapa hari terakhir, saya sampai merasa bahwa kipas angin itu hanya sebuah benda pajangan di atas meja. Saya tak pernah lagi menghidupkannya.

Namun bagi saya, udara yang tidak panas ini terasa ganjil. Sama ganjilnya dengan kisah Bertemu Malaikat. Namun kali ini, saya tak tahu apa alasan konkretnya. Saya hanya merasa bahwa ada yang ganjil dengan udara beberapa hari terakhir.

Rasa-rasanya ini pertama kalinya dalam hidup saya, udara menjadi seperti ini di musin kemarau. Rasa-rasanya juga, ini terjadi setelah saya membaca kisah Bertemu Malaikat. Bisa saja toh, karena saya merasa kisah itu ganjil, kemudian ada malaikat yang tidak terima lantas ingin semacam mengerjai saya.

***

Adik saya berteriak dari depan, katanya ada seseorang mencari saya. Selepas berkata demikian, ia langsung kabur entah kemana. Mungkin sudah ditunggu kawan-kawannya untuk ngopi di warung pojok jalan seperti biasa.

Tamu saya kali ini adalah seorang laki-laki. Tubuhnya tinggi, tidak begitu besar, namun kokoh. Mungkin ia rajin berolahraga. Pipinya agak tirus, ada jambang tipis yang sepertinya lantaran baru dicukur, serta rambut pendek yang hitam lebat.  Saya tidak mengenal wajahnya, dan ketika ia menyebutkan namanya, saya juga rasanya tidak pernah memiliki ingatan sedikitpun mengenai nama tersebut. Namun saya persilahkan juga ia masuk, karena katanya ia mengenal saya. Selain itu, ia bilang ada yang perlu dibicarakan, dan itu akan memakan banyak waktu sehingga saya akan kasihan jika lututnya nanti gemetar sebab terlalu lama berdiri.

Toh kalaupun di tengah percakapannya nanti saya menemukan ada yang ganjil, atau ia orang yang ganjil, saya bisa pura-pura masuk untuk mengambilkan penganan dan kembali ke ruang tamu dengan membawa senapan angin yang saya gantung di ruang tengah dekat dapur.

Ia mulai bercerita dengan mimik serius. “Saya adalah malaikat.” Katanya.

Ya Tuhan, saya sedang berhadapan dengan orang ganjil. Jika dalam satu menit dia masih begini, saya akan mengusirnya secara halus. Kalau cara itu tidak mempan, maka saya akan menggunakan cara tadi, yaitu pura-pura masuk mengambilkan penganan.

“Jangan mengusir saya ataupun pura-pura masuk untuk mengambilkan penganan.” Lanjutnya cepat, yang membuat saya kaget dan sejenak tidak bisa berpikir bagaimana dia bisa tahu apa yang akan saya lakukan.

“Saya malaikat,” ulangnya, “dan ini tidak ganjil. Banyak yang sebenarnya sudah bertemu dengan malaikat, hanya saja mereka tidak pernah menceritakannya kepada orang lain.”

Saya tidak tahu apakah harus mempercayai omongan dia atau tidak. Saya bahkan tidak tahu harus bereaksi seperti apa atas tiap kata yang ia keluarkan dari mulutnya. Saya percaya bahwa malaikat itu ada, namun saya tidak percaya bahwa orang di depan saya adalah malaikat.

“Silakan jika Anda tidak percaya apa yang saya katakan.”

Saya memilih untuk mengangguk saja sebagai respon atas perkataannya.

“Begini saja,” akhirnya saya bersuara juga. Saya sendiri kaget bahwa saya akhirnya berkata-kata juga, namun sepertinya mulut saya bekerja lebih cepat daripada otak saya—meskipun saya ragu apakah hal tersebut bisa terjadi.

“Bagaimana saya bisa percaya bahwa Anda adalah malaikat?” Tanya saya.

Orang di depan saya tidak mengubah posisi duduknya. Ia hanya memutar-mutar pergelangan tangannya sebentar.

“Nanti ketika adik Anda pulang ke rumah, ia akan mendapati bahwa luka di kakinya yang terkena pecahan kaca beberapa waktu lalu telah sembuh.”

Saya hanya diam. Kejadian itu menimpa adik saya beberapa waktu lalu, semestinya memang sekarang sudah cukup membaik kondisinya. Lagipula luka itu seingat saya tidak terlalu parah, kalaupun sembuh mungkin hanya menimbulkan bekas.

Ketika saya tersadar, di depan pintu sudah ada adik saya. Saya bahkan tidak menyadari sejak kapan ia ada di situ.

“Luka saya tiba-tiba sembuh kak. Bahkan tak ada bekas sama sekali.” Katanya datar. Saya bingung dengan ekspresinya, ia memang tipe orang yang tidak terlalu baik dalam menampilkan ekspresi wajahnya.

Saya melihat kakinya. Tak ada bekas apapun di situ. Seakan-akan insiden ia terkena pecahan kaca karena ia lengah saat mengelap kaca jendela bongkar pasang dan kaca itu meluncur dengan suksesnya ke kakinya adalah hal yang tidak pernah terjadi.

Saya menyuruh adik saya masuk.

“Jadi untuk apa Anda kesini?” Saya bertanya pada orang di depan saya, yang mengaku malaikat.

“Saya hanya ingin mengabarkan bahwa jatah waktu anda di dunia tidak akan lama. Nanti sore anda akan meninggalkan keluarga dan dunia ini.” Tidak ada intonasi dalam suaranya.

Saya mencoba tetap tenang. “Bagaimana cara saya akan mati nanti sore?”

“Terpeleset lalu terjatuh.” Singkat.

Sepertinya saya akan mati konyol karena keteledoran saya.

Setelah orang yang mengaku malaikat tadi pamit, saya sebenarnya masih tidak tahu harus bagaimana. Saya tidak percaya perkataannya, tapi fakta bahwa luka adik saya sembuh sama sekali juga cukup mengganggu pikiran saya.

Baiklah, pikir saya. Saya hanya cukup membuktikan apakah perkatannya benar atau tidak. Kalau saya akan mati karena terpeleset lalu terjatuh, saya cukup berhati-hati melangkah agar tidak terpeleset. Dengan begitu, saya bisa tahu apakah ucapannya benar atau tidak, termasuk mengenai apakah ia benar-benar malaikat atau bukan.

***

Baru saja saya tidak menyadari bahwa ada sesuatu di sekitar pagar depan rumah. Ketika saya mendorong pagar, kaki saya menginjak sesuatu yang ternyata tumpahan minyak—entah minyak apa—tersebut, saya oleng, dan terpeleset. Terjatuh. Lalu gelap.

Bertemu Malaikat bukan lagi sebuah kisah ganjil bagi saya.



290515

Monday, May 25, 2015

Setangkup Roti Cokelat yang Tak Dipesan



Kemarin malam, saat aku sudah mematikan lampu dan menata selimutku, sebuah pesan masuk. Darimu. Bagaimana kalau besok kita makan es krim di kedai di Jl. Tangkuban Perahu? Begitu pesanmu. Aku tak terlalu banyak berpikir. Sudah lama aku tak makan es krim, dan kupikir aku juga merindukan sensasi dingin-lembut-manis hadir di mulutku. Kubalas, baiklah, kita pergi besok siang.

**

Aku tak tahu kenapa kamu mengajakku pergi ke kedai ini. Menurutku, kalau aku ingin makan es krim, dan aku bertanya kepada seluruh penduduk kota ini ke kedai mana aku harus pergi, aku yakin mereka pasti menyebutkan kedai di Jl. Merdeka—sebuah kedai yang sudah berdiri bahkan sejak ayahku belum lahir. Dan aku pun berpikiran begitu: kita tidak seharusnya pergi ke sini.

“Ini tempat rahasia yang hanya diketahui oleh orang-orang tertentu,” katamu, yang kausambung dengan sebuah tawa lepas. “Nanti kamu akan selalu ingin ke sini kalau sedang ingin makan es krim.”

Tawa lepasmu itu beberapa menit kemudian berganti menjadi sebuah kemurungan. Menu yang kau inginkan—roti irisan tebal dengan es krim serta campuran potongan pisang dan almon—sedang kosong. “Padahal menu itu yang ingin aku pamerkan padamu,” nadamu terdengar sedih waktu itu, yang entah mengapa membuatku ingin tertawa—namun aku setengah mati menahan tawaku.

Setelah beberapa kali membolak-balik halaman buku menu, akhirnya kau memesan roti dengan taburan keju, dan aku meminta roti cokelat.

Kau diam. Tanganmu sibuk memainkan gawai, kakimu bergerak-gerak kecil.

Tidak biasanya kau begini. Apakah kau sedang gugup?

Tapi aku tak mau memikirkan hal itu. Semalam kau yang mengajakku kesini. Pastilah kau ingin bercerita mengenai sesuatu yang menyenangkan. Mungkin tentang sulamanmu yang sudah selesai, kucingmu yang semakin menggemaskan, sketsa gambarmu yang akhirnya beres, atau proyek terjemahan freelance-mu yang sudah kaukirim pada klien.

“Maaf,” katamu. Singkat saja.

Aku tak tahu harus bereaksi apa. Terlebih, aku tak tahu arti ucapanmu barusan. Meminta maaf bisa memiliki sejuta kemungkinan, bahkan lebih. Atau mungkin juga kurang. Tapi tetap saja ada banyak kemungkinan di balik kata maaf tersebut.

Kau meminta maaf untuk apa? Karena tadi kau berdandan terlampau lama sehingga aku harus menunggu lebih lama? Kupikir itu bukan masalah besar, dan aku memang tak pernah mempermasalahkannya. Atau karena kau tak kunjung menjawab pertanyaanku waktu itu? Kalau benar begitu, aku harus bersiap-siap untuk tetap tersenyum dan terlihat biasa saja, seolah tak ada apapun yang terjadi.

“Maaf.” Dua maaf. Aku benci ini.

Pelayan datang membawa dua piring. Masing-masing berisi roti cokelat.

“Kupikir aku tadi memesan roti keju,” kau menggumam, namun tetap mengambil pisau dan garpu, lantas mulai mengiris roti.

“Begitukah? Akan kubilang kepada pelayan biar rotimu diganti.” Kataku.

“Biarlah. Roti cokelat bukan menu yang buruk. Kurasa aku memang memerlukan sesuatu yang manis.”

“Kenapa?”

“Akhir-akhir ini hidupku hambar sekali. Beberapa hari lalu kucingku mati, kakakku menemukannya di pinggir jalan, katanya mungkin ia tertabrak. Kemarin klien marah-marah padaku karena terjemahanku tidak memenuhi standar mereka. Kemarin lusa adikku menumpahkan susu cokelat di atas bantal kesayanganku dan nodanya tidak bisa hilang.” Kau mengiris-iris rotimu menjadi beberapa bagian, mengiris tiap bagian menjadi potongan yang lebih kecil, dan begitu seterusnya
.
“Kurasa hari ini kamu lebih baik menyantap roti cokelat daripada roti keju.”

Kau hanya mengangguk.

“Lalu, untuk apa kau tadi meminta maaf?”

Kau meletakkan pisau, mulai menusuk roti yang potongannya menjadi sangat kecil tadi dengan garpu, dan memakannya.

Kau diam saja.

Kedai tidak begitu ramai. Hanya ada dua pengunjung di pojok ruangan dan dua lagi di meja tengah. Terdengar lagu Happy milik Pharrel Williams dari pengeras suara kedai. Aku merasa ia tidak seharusnya diperdengarkan sekarang.

Lantas kita sama sekali tidak berbicara sampai piring kita tandas.



asdfghjkl, 250515

Thursday, April 9, 2015

Secangkir Teh Tawar Hangat


Hari saya terbilang sempurna jika sudah ditemani secangkir teh tawar hangat.

Tawar saja. Tanpa gula, tanpa pemanis. Toh hidup juga tidak selalu manis.
Airnya hangat saja, tidak panas, tidak juga dingin. Senyum yang hangat lebih berkesan daripada tawa yang dingin, bukan?
Satu lagi. Tehnya biasa saja, tidak terlalu encer, tidak terlalu pekat. Percaya atau tidak, hidup dalam kepekatan bisa membunuh otak dan tubuhmu perlahan-lahan.
Oh, ternyata ada lagi. Teh celup yang dicelupkan maksimal 30 detik lebih nikmat daripada teh seduh. Kata orang, mencelupkan kepala dalam air maksimal 30 detik juga membuat pikiranmu lebih segar.

Secangkir teh tawar hangat setiap hari tidak akan membuat hidupmu semakin repot. Apa yang repot kalau kamu masih bisa menyeruput teh sambil menghirup aromanya yang—terdengar klise, namun memang inilah faktanya—wangi dan menyegarkan? Apa yang repot kalau kamu masih bisa menikmati indahnya hidup dengan segala pernak-perniknya di depan mata dengan secangkir teh?

Kalau kata ‘tawar’ sudah membuatmu ogah, sebaiknya simak kalimat berikut terlebih dahulu: kamu bisa saja sangat mencari orang yang dahulu sangat kamu hindari.

Teh tawar hangat tidak pernah ada dalam daftar minuman kesukaan saya, sampai sekitar tiga tahun lalu. Ketika itu, saya akhirnya menyadari bahwa bubur ayam adalah menu yang paling pas untuk sarapan: porsinya pas, cukup mengenyangkan untuk mengganjal perut sampai tiba waktu makan siang, namun tidak terlalu berat sehingga tidak membuat mata mengantuk di pagi hari. Dan terima kasih yang paling dalam dan tulus dari saya teruntuk abang-abang penjual bubur ayam di Jakarta yang memberikan teh tawar hangat sebagai pendamping bubur ayam. Gratis pula.

Karena seringnya bubur ayam dan teh tawar hangat mengawali hari saya, saya jadi berubah pikiran. Awalnya, saya selalu beranggapan bahwa teh manis, apalagi ditambah es batu, adalah cara paling jenius untuk minum teh. Perlahan, bagi saya teh tawar hangat adalah teman yang paling menyenangkan, melebihi hadirnya es teh manis saat matahari sedang bersinar terik.

Berpaling dari es teh manis ke teh tawar hangat bukanlah sebuah dosa. Demikian pula, berubah pikiran bukanlah sesuatu yang konyol. Wong yang darinya cinta kemudian berubah menjadi nggak cinta saja lumrah, apalah lagi hanya sekedar masalah teh.

Teh, kabarnya, mengandung antiosidan yang baik untuk kesehatan. Kabarnya juga, teh mengandung tanin alami yang mengurangi penyerapan zat besi sehingga dapat menyebabkan anemia. Mengenai  seabrek manfaat ataupun segunung bahaya teh, saya tidak begitu peduli, apalagi ambil pusing. Buat saya, keberadaan secangkir teh tawar hangat di hari saya sudah sangat cukup.

Secangkir teh tawar hangat. Sesekali, cobalah minum. Memang sedikit pahit di awal, namun segar. Seperti kerikil yang membuat tersandung di tengah jalan, namun justru membuat kita awas.

Lupakan kerikil.

Ini hanya sekedar masalah teh.

















https://id.pinterest.com/pin/327848047848919824/




明日金だ!

Friday, March 6, 2015

Dek, Lagunya Bisa Diganti Ndak?


Pagi ini, dalam rangka mewujudkan tubuh sehat dan bugar, saya memutuskan untuk lari pagi di kampus. Ketika bersiap-siap, saya ditemani oleh lagu mbak Rihanna - Take a Bow, yang disetel oleh salah satu teman kos. Karena kamar saya yang paling dekat dan memang dia memutar dengan volume kencang, saya sangat bisa mendengar lagu tersebut.

Don’t tell me you’re sorry cause you’re not…

Saya keluar kos sekitar pukul 6. Setelah selesai lari sekalian sarapan, saya kembali sekira pukul 7.30. 

Mbak Rihanna masih menyanyi, lagu yang sama.

Saya pergi mandi, cukup lama, bahkan sampai sempat nyanyi-nyanyi juga di kamar mandi.

Ketika saya kembali ke kamar, masih saja mbak Rihanna menyanyi Take a Bow seolah tidak mengenal bosan.

Satu jam berlalu, namun tidak ada lagu lain yang terdengar selain “Don’t tell me a sorry cause you’re not.”

Duh Gusti, mesakne kupingku….

Kenapa seseorang bisa memutar lagu yang sama selama sekian jam? Karena menyenangi liriknya (atau menghayati liriknya, dalam kasus teman kos ini mungkin dia habis putus cinta lantaran dibohongin oleh pacarnya sehingga sangat klik dengan lagu ini), atau lainnya?

Sebuah teori yang disebut sebagai mere exposure effect yang pertama kali diungkapkan oleh Robert Zajonc menyatakan bahwa seseorang semakin menyukai sesuatu setelah berulang kali melihat atau mendengarnya. Dan prinsip inilah yang digunakan dalam industri musik untuk membuat pendengar menyukai sebuah lagu, seperti lagu All About That Bass-nya Tante Meghan Trainor. Lagu dibuat dengan lirik yang repetitif dan sering diputar di manapun: radio, pusat perbelanjaan, atau di Seven Eleven dan Indomaret, sehingga menjadi earworm dan secara tidak sadar jadi bergaung terus di kepala kita.

Repetisi adalah kunci menuju aspek partisipatif dalam musik. Repetisi inilah yang mampu mengubah sebuah frase yang pada awalnya terdengar aneh menjadi terdengar lebih indah dan komunikatif setelah didengarkan kembali. Dalam sebuah karya musik, repetisi pada akhirnya membuat pendengar cenderung tidak tahan untuk tidak ikut menyanyi. 

Jadi, semakin sering mendengar suatu karya musik akan semakin suka, dan karena suka, maka semakin ingin sering mendengarnya. Cukup masuk akal untuk sebuah fakta “memutar satu lagu yang sama selama sekian jam”.

Kembali ke repetisi. Kalau kata Profesor Elizabeth Margulis, penulis buku On Repeat: How Music Plays the Mind, repetisi musikal membuat pikiran kita membayangkan atau menyanyikan bagian yang kita harapkan akan muncul selanjutnya. Inilah yang disebut sebagai partisipasi virtual oleh Profesor Elizabeth. Seiring dengan perkembangan teknologi dalam musik, repetisi menjadi tidak mungkin untuk diacuhkan. Itulah mengapa musik menjadi sangat berarti bagi kita.

Saya ingin menutup tulisan ini (yang merupakan rangkuman artikel dari internet yang dibumbui curhatan gara-gara lagu mbak Rihanna) dengan kalimat dari salah satu artikel di situs aeon.co, “…and the 347 times that iTunes says you have listened to your favourite album isn’t evidence of some pathological compulsion—it’s just a crucial part of how music works its magic.”

Jadi, sampai di sini, tidak ada bukti bahwa teman kos saya memiliki pathological compulsion

Nah, kalau sampai saya tuntas meramban artikel dan menyelesaikan tulisan ini sementara dia tetap memutar lagu Take a Bow, saya jadi cenderung tidak mengindahkan teori-teori di atas dan berpikiran bahwa dia memang habis putus cinta lantaran dibohongin pacarnya. 











Sumber:
Pic http://www.deviantart.com/art/Muusic-160724635

Thursday, January 1, 2015

2015: Untuk Perhatian



Malam pergantian tahun kali ini berlalu dengan sangat biasa, sangat
datar, dan ya benar-benar biasa saja, tidak ada yang istimewa—kalau tidak mau dibilang menyedihkan.

Saya bukan termasuk dalam jajaran kaum bermadzhab
jangan-ikutan-hura-hura-di-
jakarta-night-festival-karena-banyak-mudharatnya—wong pas pergantian tahun 2012-2013 yang lalu, saya adalah satu di antara sekian ribu orang yang memadati bundaran HI dan heboh berfoto ria di sela gerimis waktu itu. Saya juga bukan salah satu pengecam aksi kembang api dengan alasan membakar uang sia-sia, toh saya selalu berhasil jatuh cinta pada nyala kembang api di malam hari—apalagi jika warna dan bentuknya tidak biasa, yang bisa membuat saya selalu tengadah ke langit sembari tersenyum sampai kembang api terakhir diletupkan.

Tadi sepulang kerja, saya membeli majalah Mombi edisi 24 Desember 2014 sebagai bekal di malam pergantian tahun. Sekedar informasi, majalah Mombi adalah majalah kreativitas untuk anak-anak usia 3 sampai 5 tahun. Mungkin ini terdengar sangat tidak elegan: saking kesepiannya di malam tahun baru kau sampai membeli majalah anak-anak! Tapi saya punya krayon di lemari yang jarang saya pakai, gunting yang lebih sering digunakan untuk membuka kemasan plastik makanan, dan double tip yang tak kunjung berkurang panjangnya. Biarlah saya menyapa mereka sejenak, sebelum tiba waktu mereka kembali terlupakan. Lepas maghrib saya mulai mewarnai gambar keluarga Mombi di halaman 10, namun baru mengeluarkan tiga batang krayon, saya berhenti: gambarnya besar, krayon saya bisa cepat habis.
Kemudian saya beralih ke aktivitas gunting-lipat-tempel, yang ternyata menghabiskan waktu dua jam untuk dua karya—faktanya saya hanya menyelesaikan dengan sempurna satu karya yaitu sebentuk buket bunga bertuliskan ‘Happy Mother’s Day’ yang saya berikan untuk teman saya Novi; karya satunya yang berbentuk kuda-kudaan tidak berhasil saya tegakkan sehingga akhirnya saya taruh ia begitu saja di sela-sela halaman Mombi.

Sebenarnya saya punya satu bekal lagi selain majalah Mombi. Tadi saya ingat bahwa saya pernah membeli majalah Intisari edisi Desember 2014 yang sedianya saya habiskan di kereta dalam perjalanan pulang pekan lalu, tapi justru saya tumpuk di antara kertas-kertas tugas bahasa Jepang. Saat saya akhirnya ingat itu, sebenarnya saya berniat akan membacanya seusai mengerjakan aktivitas di majalah Mombi. Namun toh ngobrol ngalor ngidul bersama arek kosan sanggup mengingkarkan saya dari keinginan mengkhatamkan majalah tersebut. Sambil mengunyah Cokoten--merek keripik singkong dengan rasa enak dan kerenyahan pas namun dibungkus dalam kemasan yang kurang ciamik—, kami benar-benar ngobrol ngetan  ngulon. Mulai dari tema mengapa saya membeli Mombi, pernikahan si anu, persiapan pernikahan si itu, kantor baru si ini, humor-tragis antara si situ dengan kecoa, sampai kisah si gini dengan motor bututnya yang berat di sebelah kiri lantaran sering jatuh. Obrolan yang diselingi tawa ini akhirnya hanya bertahan sampai lama-sebelum kembang api ramai dinyalakan.

Dan ketika suara kembang api mulai bersahut-sahutan, saya keluar kamar
dan berdiri di balkon: hei, kembang api itu sesuatu yang cantik. Meskipun bentuknya ya begitu-begitu saja dan tak ada yang meledakkan tulisan 'Happy New Year' atau bentuk hati dan yang lainnya seperti yang sering kita saksikan pada tayangan berita di televisi tentang perayaan tahun baru di berbagai negara keesokan paginya, mereka tetap cantik.

Secantik poster dan MyOneWord yang saya dapat dari getoneword.com ini.
 
Kata UP tersebut, buat saya, banyak artinya. Tapi sederhananya, karena saya suka film Up, film animasi produksi Pixar Animation Studio, dengan tokoh kesayangan tokoh Russel, anak kecil gembul imut ngegemesin berseragam Pramuka dengan selempang penuh badge(saya sampai bingung antara dua pernyataan ini: saya suka Up karena suka Russel, atau saya suka Russel karena suka Up). Yang lebih sederhana lagi, itu sama saja dengan yang sering ditulis di tujuan surat: u.p.. Untuk Perhatian.


Selamat menjalani tahun 2015 dengan sukacita!