Wednesday, April 22, 2020

Saat Senja


Di selembar kertas angket sebuah perusahaan asuransi, tertulis, ‘menurut Anda, sampai usia berapa Anda akan hidup?’. Mineo Ojiro, 79 tahun, mengisi ’90 tahun’. Alasannya, ibunya hidup hingga usia 96 tahun.
Apakah Anda berpikir bahwa Anda mampu hidup sampai usia seperti ibu Anda?
“Bagaimana, ya….” Kata Mineo sambil memiringkan kepalanya, “aku menulis 90 tahun, tapi orang-orang lanjut usia di lingkungan sekitarku meninggal pada usia lebih kurang 80-an tahun. Aku jadi berpikir, apa aku juga akan meninggal usia 80, ya?”
Istri Mineo, Yoshiko, 70 tahun, mengisi angka ’85 tahun’. Ia beralasan, jika suaminya hidup sampai usia 90 tahun, ialah yang berkewajiban merawat suaminya. Tetapi Yoshiko memiliki kekhawatiran terhadap penyakitnya.
“Kata dokter, sudah bagus kalau pasien sirosis hati bisa hidup lima tahun lagi,” kata Yoshiko, “katanya, setelah lima tahun, kalau tidak jadi kanker hati, ya aneurisma. Itu delapan tahun lalu. Waktu pemeriksaan kemarin, dokter bilang aku menjaga kesehatanku dengan baik, jadi penyakitnya sama sekali tidak berkembang. Tapi kalau aku terkena kanker, kupikir aku juga mungkin saja meninggal.”
Bagi sepasang suami istri berusia 79 dan 70 tahun, kematian bukanlah sesuatu yang berada jauh di depan.

8 Desember, Selasa, Pukul 07.00
Sepasang suami istri ini terbangun. Yoshiko, begitu bangun tidur, langsung mulai menyiapkan sarapan. Ia membuat sup miso, membakar ikan aji kering, merebus bayam, dan mengeluarkan natto—kedelai terfermentasi—dari lemari pendingin. Mineo menggosok gigi, berganti pakaian, lalu senam.
“Pak, ini nattonya beli di mana?” tanya Yoshiko sembari meletakkan natto di atas meja.
“Di toko A. Entah enak atau tidak,” jawab Mineo sambil membayangkan sarapannya.
Kemarin Mineo berbelanja di toko. Setelah pensiun, ia jadi lebih aktif melakukan pekerjaan domestik.
Rumah mereka terletak di pinggiran kota Yokohama. Ruang tamu kediaman keluarga Ojiro. Sejak putra (49) dan putri (48) mereka meninggalkan rumah, lebih dari dua puluh tahun mereka hanya tinggal berdua. Mereka sama sekali tak merepotkan anak-anak. Untuk keperluan sehari-hari, mereka mengandalkan uang pensiun.

Pukul 08.00
Mineo pergi ke taman hutan Negishi yang berjarak dua stasiun dari rumah dengan menggunakan bus. Dua kali sepekan ia bekerja paruh waktu membersihkan taman. Ada tujuh orang pekerja, baik laki-laki maupun perempuan, yang berusia tujuh puluhan tahun. Berdua dengan rekannya, ia berjalan mendorong gerobak, mengumpulkan sampah dari tempat sampah di dalam taman. Jam kerjanya adalah selama empat jam, sejak pukul 08.30 sampai pukul 12.30. Upah sehari untuk pekerjaan paruh waktu tersebut adalah 2.640 yen.
“Tak peduli berapa usiamu, selama masih bisa bekerja, maka lebih baik bekerja,” kata Mineo, “tidak baik juga kalau tidak punya sesuatu yang bisa dilakukan. Paling-paling setelah bangun pagi hanya melamun. Itu tidak baik untuk tubuh. Tak ada salahnya terikat dengan waktu, misalnya besok ada acara ini, jadi harus pergi sebelum pukul sekian.”
Di saat bersamaan, Yoshiko sedang di rumah; membersihkan rumah dan mencuci pakaian. Setelah memasukkan pakaian ke adalam mesin cuci otomatis, ia merapikan ruang tidur dan ruang tamu serta membersihkannya dengan mesin penyedot debu. Setelah itu ia merapikan dapur.
Sembari mencuci, mulut Yoshiko menggumamkan sebuah lagu,
Wasurenaino (aku tak bisa melupakannya)
Ano hito ga suki yo (aku mencintainya)
Aoi shatsu kite sa (pakaiannya berwarna biru)
Umi wo miteta wa (aku seolah memandang laut)” (Judul: Koi no Kisetsu; Lirik: Tokiko Iwatani; Penyanyi: Pinky & Killers).
Ketika muda, Yoshiko pernah tampil di acara “Penyanyi Kebanggaan NHK”. Banyak yang memberikan dukungan suara untuknya. Baginya, itulah kebanggaannya.
Ia menikah saat berusia 19 tahun, sedangkan usia Mineo saat itu 28 tahun.
Mineo merupakan seorang awak kapal; ia sendiri adalah putri dari sebuah keluarga yang menjalankan bisnis penginapan bagi awak kapal. Saat itu, bagi Yoshiko yang berusia 19 tahun, Mineo yang lebih tua sembilan tahun lebih tampak sebagai seorang om-om. Mereka berdua sama-sama tidak memiliki saudara. Menurut Yoshiko, barangkali itulah yang membuat mereka saling terikat. Ia adalah anak angkat, bukan anak kandung dari kedua orang tuanya saat itu. Mineo, yang berasal dari suatu tempat yang jauh—pulau Miyako, Perfektur Okinawa, merupakan anak ketiga dari tujuh bersaudara. Kalaupun ia kembali ke kampung halaman, tak ada cukup makanan untuknya di rumah.
“Seorang senior di perusahaan kapal pernah datang kepadaku, dengan semangat ia menawarkan seseorang bernama Totsuka yang satu penginapan dengannya, untuk menjadi calonku. Ayah angkatku juga bilang bahwa Totsuka adalah orang baik, tetapi aku lebih menyukai Mineo. Menurutku, ia orang yang baik kepribadiannya. Hehe…” Yoshiko tersenyum tersipu.

Pukul 13.00
Mineo sudah pulang ke rumah. Ia dan Yoshiko lalu makan siang bersama. Menunya telur dan daging asap, salad kentang, serta roti dan susu. Setelah makan siang, mereka menghangatkan diri di bawah selimut penghangat di ruang tamu dan tertidur bersebelahan begitu saja.
Siang yang sunyi terus bergulir. Hanya ada suara nafas mereka berdua dan detak jarum jam dinding.
               
Pukul 14.30
“Pak, sudah minum obat?” Yoshiko yang baru bangun tidur langsung bertanya pada Mineo.
“Sekarang pukul berapa?” tanya Mineo sambil memutar lehernya.
“Aduh, sudah setengah dua. Kita tidur lelap rupanya,” Yoshiko lalu bangkit.
“Minta air…” kata Mineo, ia mengeluarkan obat dari dalam tas.
Mereka berdua minum obat tiap kali habis makan.
“Kemarin aku pergi ke dokter karena lututku sakit,” kata Yoshiko, ia datang membawa air, “kata dokter, tulang rawanku berkurang. ‘Bu Yoshiko, tulang rawan ini sudah bekerja selama 70 tahun, jadi wajar kalau berkurang. Mau diobati?’ begitu. Sebenarnya sudah diterapi dengan aliran listrik, tapi karena sudah berumur begini, kalau cuma terapi tidak akan sembuh.”
“Dokter pasti bilang begitu ke semua orang lanjut usia,” jawab Mineo, “mau bagaimana lagi, sudah 70 tahun lebih. Dia ingin kita cepat menyerah. Meskipun dia juga berpura-pura membuat kita berpikir bahwa pengobatan A atau B mungkin bisa menyembuhkan, tetapi tetap saja lebih baik dia tidak bilang begitu.”

Pukul 15.00
Mineo pergi ke kantor simpatisan Partai Komunis di Kota Ogiwa dengan menumpangi bus. Ia turun di depan sebuah rumah dengan papan reklame di jalan utama. Tertempel poster berisi daftar anggota Partai Komunis dan poster bertuliskan tuntutan atas kebijakan pemerintah. Pintu tak terkunci, ia masuk ke dalamnya.
Mineo masuk Partai Komunis pada tahun 1960, saat terjadi konflik perjanjian keamanan antara Jepang dan Amerika Serikat. Sejak saat itu ia terus menjadi pengurus serikat pekerja. Sebagai pengurus Partai Komunis tingkat perfektur, ia telah tiga kali gagal menjadi kandidat. Selama itu, seluruh hidupnya ia curahkan untuk kegiatan serikat dan partai; sama sekali tidak menggubris kehidupan rumah tangga atau lainnya. Ia mendapat protes tidak puas dari Yoshiko. Ia tidak pulang di hari syukuran renovasi rumah; ia tidak menepati janji pergi berkemah bersama Yoshiko; ia juga lupa mengambil gajinya pada hari gajian dan pulang ke rumah tanpa membawa apapun. Yoshiko sampai berpiikir bahwa mereka lebih baik berpisah.
“Karena aku bekerja, aku jadi punya penghasilan sendiri. Aku bahkan bilang, selama urusan anak dan rumah kau penuhi, tak masalah kau pergi ke manapun. Tapi dia tidak menggubrisnya. Lalu seperti biasa, ia pergi pagi, pulang larut malam dan berkata bahwa ia ingin makan,” Yoshiko berkisah.
Saat Mineo pensiun, Yoshiko baru memahami mengapa suaminya begitu bersemangat berjuang. Tepat di hari pensiun itu, mereka berdua diundang oleh pihak kantor. Selain mereka, ada tiga lagi pasangan suami istri yang juga pensiun. “Terima kasih atas kerja kerasnya,” kata pimpinan perusahaan. Begitu mereka keluar dari ruangan, telah banyak pegawai muda yang menunggu di luar. Mereka mengelilingi Mineo dan mengucap, “Pak Mineo, terima kasih atas kerja kerasnya,” sambil menjabat tangan Mineo.
“Melihat begitu banyaknya orang yang berterima kasih, untuk pertama kalinya aku berpikir, itu merupakan suatu penghargaan tersendiri. Meskipun keluarga di rumah yang jadi korban,kata Yoshiko mengenang, air matanya berlinang.

Pukul 15.30
Yoshiko menaiki bus menuju pusat kesejahteraan manula. Ia naik ke lantai dua kantor tersebut. Di sana ada sebuah aula berukuran sekitar dua kali ruang kelas SD. Ada dua puluh perempuan bergaun yang duduk di kursi sebelah kanan. Di seberang mereka, di sebelah kiri aula, dua puluh laki-laki yang mengenakan jas juga duduk di kursi. Itu adalah kelas dansa. Mereka semua berusia lebih dari 60 tahun.
Seorang perempuan dengan gaun merah menuju ke tengah aula.
“Nah, untuk pemanasan, mari kita mulai dengan gerakan mambo. Silakan, Bu Yoshiko.”
Setelah diaba-aba, Yoshiko menyalakan tape recorder. Ia mengenakan gaun warna hitam dan memakai sepatu dansa yang juga berwarna hitam. Ia adalah asisten di kelas dansa tersebut.
Melodi penuh semangat mengalun lewat lagu Mambo No. 5 yang diputar. Laki-laki dan perempuan, masing-masing melangkahkan kaki mengikuti irama.
Selanjutnya adalah rumba. Setelah satu lagu selesai, instruktur yang bergaun merah bertanya, “Apa ada yang tidak bisa?”
Tatsuko Ikeda, seorang pemilik kedai sake, mengangkat tangan.
“Nah, bu Yoshiko, tolong berpasangan dengan Pak Tatsuko,” kata instruktur.
Yoshiko meraih tangan Tatsuko. Musik mengalun, tarian dimulai.
Slow, slow, quick, quick…” Yoshiko bergumam.
“Ah, maaf….” Tatsuko meminta maaf, rupanya ia menginjak kaki Yoshiko.
“Tidak apa-apa. Pelan-pelan saja,” kata Yoshiko sambil menunjukkan ekspresi semangat.
Yoshiko berkata bahwa ia senang mengajar karena ia bisa membahagiakan orang lain.
“Beberapa waktu lalu, ketika sedang berjalan di kawasan pertokoan sekitar sini,” kata Yoshiko, “aku bertemu istri Pak Tatsuko. Katanya, ‘Bu Yoshiko, maaf suami saya merepotkan. Dia senang sekali, berkat Bu Yoshiko dia jadi lebih mahir,’ lalu dia membungkukkan badannya padaku. Pak Tatsuko itu daya ingatnya buruk lho. Aku jadi aneh sendiri kalau memikirkan apa yang dia katakan kalau ia pulang ke rumahnya. Hahaha…”

Pukul 16.00
Setelah menyelesaikan keperluannya di pertemuan simpatisan partai, Mineo naik bus, turun di pusat perbelanjaan Isezakicho, lalu masuk ke sebuah toko bernama BYD France.
“Ini kedai kue, tapi di luar dugaan, kalau mampir ke sini jadi lebih rileks. Ini tak bisa dilakukan di tempat yang dipenuhi anak muda seperti di Mekdi atau Mos Burger,” kata Mineo. Orang-orang tua menyebut Mekdi, singkatan dari Mc Donald. Ia tersenyum dan menghirup nafas dalam-dalam; perasaan bahwa ia ‘hidup’ dapat tersampaikan dengan jelas dari ekspresi wajahnya.
Ia berkisah bahwa ia senang duduk sendirian di kedai teh dan memikirkan sesuatu.          
Hal-hal seperti apa yang Anda pikirkan?
“Tidak penting, sih, tapi banyak hal yang bagaimana pun tak kumengerti dengan baik. Misalnya, mengapa di musim dingin, daun bisa jatuh dari pohonnya. Kemudian kenapa jika terkena sinar matahari, benda-benda di bawah pohon itu menjadi hangat. Di musim panas, daun-daun akan tumbuh lagi, pohon jadi rindang, benda-benda di bawahnya jadi sejuk. Semuanya berlangsung sempurna. Tapi mengapa semuanya bisa sesempurna itu? Itu yang kupikirkan. Pikiran-pikiranku semakin aneh, setelah membaca buku pun aku tidak juga menemukan jawabannya. Atau lagi, mengapa tiga sudut dalam dari segitiga berjumlah 180 derajat? Kenapa lingkaran itu 360 derajat? Kenapa bukan angka-angka yang mudah seperti 100 atau 200; malah angka yang aneh, 360 derajat? Banyak hal yang tidak kumengerti. Tapi, memikirkan hal-hal seperti itu semakin hari semakin menarik.”

Pukul 20.00
Setelah makan malam, Mineo dan Yoshiko menonton televisi, acara konser NHK. Takashi Hosokawa sedang menyanyikan lagu Yagiri no Watashi—sebuah nama kapal feri yang digunakan pada zaman Edo.
“Eh, eh, itu lagu kesukaan Bapak,” kata Yoshiko.
Mineo lalu mulai bernyanyi mengikuti suara dari televisi.              
          “Tsurenigeteyo... (pergi menjauh)
Tsuiteoideyo... (patang mendekat)
Yuugure no ame ga furu (hujan turun saat senja)
Yagiri no Watashi…” (Judul: Yagiri no Watashi; Lirik: Miyuki Ishimoto; Penyanyi: Takashi Hosokawa)
Musik mengalun begitu saja. Sebelumnya Mineo tak pernah menyanyikan lagu atau apapun. Tetapi dua bulan lalu, Yoshiko mengajaknya ke kelas karaoke sebuah klub manula. Orang-orang memuji nyanyiannya, lalu mereka berdua jadi sering pergi ke tempat karaoke.
“Aku,” kata Yoshiko, “diajak oleh tetangga sekitar, lalu pernah dua kali ikut kelas karaoke. Tapi aku tidak tega kalau meninggalkan Bapak sendirian, jadi aku mengajaknya. Awalnya ia acuh saja. Lalu kubilang bahwa Pak Noda, yang rumahnya di seberang sana, pandai menyanyi lagu yang ia suka, dan Pak Noda tidak keberatan untuk mengajarinya menyanyi. Kemudian ia bilang, ‘oke, ayo kita pergi,’. Aku berpikir, sebisa mungkin kami melakukan hal-hal yang menyenangkan bersama-sama.”

Pukul 20.30
Yoshiko, yang sudah selesai mandi dan berganti pakaian piama, duduk di depan Mineo. “Punggungku sebelah sini sakit,” katanya. Ia meyerahkan koyo tempel pada Mineo, lalu membuka piamanya di bagian pundak.
“Ini?” tanya Mineo, jarinya menekan punggung Yoshiko.
“Agak ke kiri.”
“Ini? Apa tidak lebih baik kalau ke dokter saja?”
“Tidak separah itu. Kalau sudah ditempel koyo juga nanti bisa sembuh.”
Mineo menempel koyo di punggung Yoshiko, lalu menekannya dengan kedua tangan.    
“Terima kasih,” kata Yoshiko. Ia mengenakan kembali piamanya dan mengancingkannya.
“Kalau begitu, aku tidur duluan ya,” kata Yoshiko.
“Iya. Selamat tidur,” jawab Mineo.
Yoshiko naik ke lantai dua, tempat tidurnya. Sejak pensiun, mereka memutuskan untuk tidur di ruangan terpisah. Yoshiko tidur di lantai dua, Mineo tidur di lantai satu.
Mineo duduk, membaca buku. Buku karya Tsuyoshi Mori berjudul Sejarah Matematika.
Dengan hubungan suami istri yang sedemikian baik, apakah akan semakin berat saat terpisah oleh maut?
“Mmm… Saat-saat itu pasti datang,” kata Mineo.
“Kalau aku bilang bahwa orang yang lebih tua akan meninggal lebih dulu, dia jadi senang. Tawanya lebar. Jadi kalau aku sedang ingin membuatnya senang, aku bilang, ‘karena aku akan mati duluan, kau lakukan semuanya dengan benar ya,’. Hahaha…”

Pukul 22.00
Mineo menggapai meja dengan tangannya, pelan-pelan berdiri, mematikan lampu ruang keluarga, lalu masuk ke kamar tidurnya.
Rumah menjadi sunyi. Hanya suara detak jarum jam dinding yang terdengar.



***
Tulisan diterjemahkan dari 黄昏時 dalam buku 喜びは悲しみのあとに (Bitter with the Sweet) karya Takashi Uehara yang diterbitkan tahun 2004 oleh Penerbit Gentosha Outlaw Bunko.  
Foto oleh GEORGE DESIPRIS dari Pexels              

0 comments:

Post a Comment