Di selembar kertas angket sebuah
perusahaan asuransi, tertulis, ‘menurut Anda, sampai usia berapa Anda
akan hidup?’. Mineo Ojiro, 79 tahun, mengisi ’90 tahun’. Alasannya, ibunya
hidup hingga usia 96 tahun.
Apakah Anda berpikir bahwa Anda mampu
hidup sampai usia seperti ibu Anda?
“Bagaimana, ya….” Kata Mineo sambil
memiringkan kepalanya, “aku menulis 90 tahun, tapi orang-orang lanjut usia di
lingkungan sekitarku meninggal pada usia lebih kurang 80-an tahun. Aku jadi berpikir,
apa aku juga akan meninggal usia 80, ya?”
Istri Mineo, Yoshiko, 70 tahun, mengisi
angka ’85 tahun’. Ia beralasan, jika suaminya hidup sampai usia 90 tahun, ialah
yang berkewajiban merawat suaminya. Tetapi Yoshiko memiliki kekhawatiran
terhadap penyakitnya.
“Kata dokter, sudah bagus kalau pasien
sirosis hati bisa hidup lima tahun lagi,” kata Yoshiko, “katanya, setelah lima
tahun, kalau tidak jadi kanker hati, ya aneurisma. Itu delapan tahun lalu.
Waktu pemeriksaan kemarin, dokter bilang aku menjaga kesehatanku dengan baik,
jadi penyakitnya sama sekali tidak berkembang. Tapi kalau aku terkena kanker,
kupikir aku juga mungkin saja meninggal.”
Bagi sepasang suami istri berusia 79 dan
70 tahun, kematian bukanlah sesuatu yang berada jauh di depan.
8 Desember, Selasa, Pukul 07.00
Sepasang suami istri ini terbangun.
Yoshiko, begitu bangun tidur, langsung mulai menyiapkan sarapan. Ia membuat sup
miso, membakar ikan aji kering, merebus bayam, dan mengeluarkan natto—kedelai terfermentasi—dari
lemari pendingin. Mineo menggosok gigi, berganti pakaian, lalu senam.
“Pak, ini nattonya beli di mana?” tanya
Yoshiko sembari meletakkan natto di atas meja.
“Di toko A. Entah enak atau tidak,” jawab
Mineo sambil membayangkan sarapannya.
Kemarin Mineo berbelanja di toko. Setelah
pensiun, ia jadi lebih aktif melakukan pekerjaan domestik.
Rumah mereka terletak di pinggiran kota Yokohama. Ruang tamu kediaman keluarga
Ojiro. Sejak putra (49) dan putri (48) mereka meninggalkan rumah, lebih dari dua puluh tahun mereka hanya
tinggal berdua. Mereka sama sekali tak merepotkan anak-anak. Untuk keperluan
sehari-hari, mereka mengandalkan uang pensiun.
Pukul 08.00
Mineo pergi ke taman hutan Negishi yang
berjarak dua stasiun dari rumah dengan menggunakan bus. Dua kali sepekan ia
bekerja paruh waktu membersihkan taman. Ada tujuh orang pekerja, baik laki-laki
maupun perempuan, yang berusia tujuh puluhan tahun. Berdua dengan rekannya, ia
berjalan mendorong gerobak, mengumpulkan sampah dari tempat sampah di dalam
taman. Jam kerjanya adalah selama empat jam, sejak pukul 08.30 sampai pukul
12.30. Upah sehari untuk pekerjaan paruh waktu tersebut adalah 2.640 yen.
“Tak peduli berapa usiamu, selama masih
bisa bekerja, maka lebih baik bekerja,” kata Mineo, “tidak baik juga kalau
tidak punya sesuatu yang bisa dilakukan. Paling-paling setelah bangun pagi
hanya melamun. Itu tidak baik untuk tubuh. Tak ada salahnya terikat dengan
waktu, misalnya besok ada acara ini, jadi harus pergi sebelum pukul sekian.”
Di saat bersamaan, Yoshiko sedang di rumah; membersihkan rumah dan
mencuci pakaian. Setelah memasukkan pakaian ke adalam mesin cuci otomatis, ia
merapikan ruang tidur dan ruang tamu serta membersihkannya dengan mesin
penyedot debu. Setelah itu ia merapikan dapur.
Sembari mencuci, mulut Yoshiko
menggumamkan sebuah lagu,
“Wasurenaino (aku tak bisa melupakannya)
Ano hito ga suki yo (aku mencintainya)
Aoi shatsu kite sa (pakaiannya berwarna biru)
Umi wo miteta wa (aku seolah memandang laut)” (Judul: Koi no Kisetsu; Lirik: Tokiko Iwatani; Penyanyi: Pinky
& Killers).
Ketika muda, Yoshiko pernah tampil di
acara “Penyanyi Kebanggaan NHK”. Banyak yang memberikan dukungan suara untuknya.
Baginya, itulah kebanggaannya.
Ia menikah saat berusia 19 tahun,
sedangkan usia Mineo saat itu 28 tahun.
Mineo merupakan seorang awak kapal; ia
sendiri adalah putri dari sebuah keluarga yang menjalankan bisnis penginapan
bagi awak kapal. Saat itu, bagi Yoshiko yang berusia 19 tahun, Mineo yang lebih
tua sembilan tahun lebih tampak sebagai seorang om-om. Mereka berdua sama-sama
tidak memiliki saudara. Menurut Yoshiko, barangkali itulah yang membuat mereka
saling terikat. Ia adalah anak angkat, bukan anak kandung dari kedua orang
tuanya saat itu. Mineo, yang berasal dari suatu tempat yang jauh—pulau Miyako,
Perfektur Okinawa, merupakan anak ketiga dari tujuh bersaudara. Kalaupun ia
kembali ke kampung halaman, tak ada cukup makanan untuknya di rumah.
“Seorang senior di perusahaan kapal pernah
datang kepadaku, dengan semangat ia menawarkan seseorang bernama Totsuka yang
satu penginapan dengannya, untuk menjadi calonku. Ayah angkatku juga bilang bahwa
Totsuka adalah orang baik, tetapi aku lebih menyukai Mineo. Menurutku, ia orang
yang baik kepribadiannya. Hehe…” Yoshiko tersenyum tersipu.
Pukul 13.00
Mineo sudah pulang ke rumah. Ia dan
Yoshiko lalu makan siang bersama. Menunya telur dan daging asap, salad kentang,
serta roti dan susu. Setelah makan siang, mereka menghangatkan diri di bawah
selimut penghangat di ruang tamu dan tertidur bersebelahan begitu saja.
Siang yang sunyi terus bergulir. Hanya ada
suara nafas mereka berdua dan detak jarum jam dinding.
Pukul 14.30
“Pak, sudah minum obat?” Yoshiko yang baru
bangun tidur langsung bertanya pada Mineo.
“Sekarang pukul berapa?” tanya Mineo sambil
memutar lehernya.
“Aduh, sudah setengah dua. Kita tidur lelap rupanya,”
Yoshiko lalu bangkit.
“Minta air…” kata Mineo, ia mengeluarkan
obat dari dalam tas.
Mereka berdua minum obat tiap kali habis
makan.
“Kemarin aku pergi ke dokter karena lututku
sakit,” kata Yoshiko, ia datang membawa air, “kata dokter, tulang rawanku
berkurang. ‘Bu Yoshiko, tulang rawan ini sudah bekerja selama 70 tahun, jadi
wajar kalau berkurang. Mau diobati?’ begitu. Sebenarnya sudah diterapi dengan
aliran listrik, tapi karena sudah berumur begini, kalau cuma terapi tidak akan sembuh.”
“Dokter pasti bilang begitu ke semua orang
lanjut usia,” jawab Mineo, “mau bagaimana lagi, sudah 70 tahun lebih. Dia ingin
kita cepat menyerah. Meskipun dia juga berpura-pura membuat kita berpikir bahwa pengobatan A atau B mungkin bisa
menyembuhkan, tetapi tetap saja lebih baik dia tidak
bilang begitu.”
Pukul 15.00
Mineo pergi ke kantor simpatisan Partai
Komunis di Kota Ogiwa dengan menumpangi bus. Ia turun di depan sebuah rumah
dengan papan reklame di jalan utama. Tertempel poster berisi daftar anggota
Partai Komunis dan poster bertuliskan
tuntutan atas kebijakan pemerintah. Pintu tak terkunci, ia masuk ke
dalamnya.
Mineo masuk Partai Komunis pada tahun
1960, saat terjadi konflik perjanjian keamanan antara Jepang dan Amerika
Serikat. Sejak saat itu ia terus menjadi pengurus serikat pekerja. Sebagai
pengurus Partai Komunis tingkat perfektur, ia telah tiga kali gagal menjadi
kandidat. Selama itu, seluruh hidupnya ia curahkan untuk kegiatan serikat dan partai; sama sekali
tidak menggubris kehidupan rumah tangga atau lainnya. Ia mendapat protes tidak
puas dari Yoshiko. Ia tidak pulang di hari syukuran renovasi rumah; ia tidak
menepati janji pergi berkemah bersama Yoshiko; ia juga lupa mengambil gajinya pada hari gajian dan
pulang ke rumah tanpa membawa apapun. Yoshiko sampai berpiikir bahwa mereka
lebih baik berpisah.
“Karena aku bekerja, aku jadi punya
penghasilan sendiri. Aku bahkan bilang, selama urusan anak dan rumah kau
penuhi, tak masalah kau pergi ke manapun. Tapi dia tidak menggubrisnya. Lalu
seperti biasa, ia pergi pagi, pulang larut malam dan berkata
bahwa ia ingin makan,” Yoshiko berkisah.
Saat Mineo pensiun, Yoshiko baru memahami
mengapa suaminya begitu bersemangat berjuang. Tepat di hari pensiun itu, mereka
berdua diundang oleh pihak kantor. Selain mereka, ada tiga lagi pasangan suami
istri yang juga pensiun. “Terima kasih atas kerja kerasnya,” kata pimpinan
perusahaan. Begitu mereka keluar dari ruangan, telah banyak pegawai muda yang menunggu di
luar. Mereka mengelilingi Mineo dan mengucap, “Pak Mineo, terima kasih atas kerja kerasnya,”
sambil menjabat tangan Mineo.
“Melihat begitu banyaknya orang yang
berterima kasih, untuk pertama kalinya aku berpikir, itu merupakan suatu
penghargaan tersendiri. Meskipun keluarga di rumah yang jadi korban,” kata Yoshiko mengenang,
air matanya berlinang.
Pukul 15.30
Yoshiko menaiki bus menuju pusat kesejahteraan manula. Ia naik ke lantai
dua kantor tersebut. Di sana ada sebuah aula berukuran sekitar dua kali ruang
kelas SD. Ada dua puluh perempuan bergaun yang duduk di kursi sebelah kanan. Di
seberang mereka, di sebelah kiri aula, dua puluh laki-laki yang mengenakan jas
juga duduk di kursi. Itu adalah kelas dansa. Mereka semua berusia lebih dari 60
tahun.
Seorang perempuan dengan gaun merah menuju ke tengah aula.
“Nah, untuk pemanasan, mari kita mulai
dengan gerakan mambo. Silakan, Bu Yoshiko.”
Setelah diaba-aba, Yoshiko menyalakan tape
recorder. Ia mengenakan gaun warna hitam dan memakai sepatu dansa yang juga berwarna hitam. Ia adalah
asisten di kelas dansa tersebut.
Melodi penuh semangat mengalun lewat lagu Mambo No. 5 yang diputar. Laki-laki
dan perempuan, masing-masing melangkahkan kaki mengikuti irama.
Selanjutnya adalah rumba. Setelah satu lagu selesai,
instruktur yang bergaun merah bertanya, “Apa ada yang tidak bisa?”
Tatsuko Ikeda, seorang pemilik kedai sake,
mengangkat tangan.
“Nah, bu Yoshiko, tolong berpasangan
dengan Pak Tatsuko,” kata instruktur.
Yoshiko meraih tangan Tatsuko. Musik mengalun, tarian
dimulai.
“Slow, slow, quick, quick…” Yoshiko
bergumam.
“Ah, maaf….” Tatsuko meminta maaf, rupanya
ia menginjak kaki Yoshiko.
“Tidak apa-apa. Pelan-pelan saja,” kata
Yoshiko sambil menunjukkan ekspresi semangat.
Yoshiko berkata bahwa ia senang mengajar
karena ia bisa membahagiakan orang lain.
“Beberapa waktu lalu, ketika sedang berjalan di kawasan pertokoan
sekitar sini,” kata Yoshiko, “aku bertemu istri Pak Tatsuko. Katanya, ‘Bu
Yoshiko, maaf suami saya merepotkan. Dia senang sekali, berkat Bu Yoshiko dia jadi lebih mahir,’
lalu dia membungkukkan badannya padaku. Pak Tatsuko itu daya ingatnya buruk
lho. Aku jadi aneh sendiri kalau memikirkan apa yang dia katakan kalau ia
pulang ke rumahnya. Hahaha…”
Pukul 16.00
Setelah menyelesaikan keperluannya di pertemuan simpatisan partai, Mineo naik bus, turun di pusat perbelanjaan Isezakicho, lalu masuk ke sebuah
toko bernama BYD France.
“Ini kedai kue, tapi di luar dugaan, kalau
mampir ke sini jadi lebih rileks. Ini tak bisa dilakukan di tempat yang
dipenuhi anak muda seperti di Mekdi atau Mos Burger,” kata Mineo. Orang-orang tua menyebut
Mekdi, singkatan dari Mc Donald. Ia tersenyum dan menghirup nafas dalam-dalam;
perasaan bahwa ia ‘hidup’ dapat tersampaikan dengan jelas dari ekspresi
wajahnya.
Ia berkisah bahwa ia senang duduk sendirian di kedai teh dan memikirkan sesuatu.
Hal-hal seperti apa yang Anda pikirkan?
“Tidak penting, sih, tapi banyak hal yang
bagaimana pun tak kumengerti dengan baik. Misalnya, mengapa di musim dingin,
daun bisa jatuh dari pohonnya. Kemudian kenapa jika terkena sinar matahari,
benda-benda di bawah pohon itu menjadi hangat. Di musim panas, daun-daun akan
tumbuh lagi, pohon jadi rindang, benda-benda di bawahnya jadi sejuk. Semuanya
berlangsung
sempurna. Tapi mengapa semuanya bisa sesempurna itu? Itu yang kupikirkan.
Pikiran-pikiranku semakin aneh, setelah membaca buku pun aku tidak juga
menemukan jawabannya. Atau lagi, mengapa tiga sudut dalam dari segitiga
berjumlah 180 derajat? Kenapa lingkaran itu 360 derajat? Kenapa bukan
angka-angka yang mudah seperti 100 atau 200; malah angka yang aneh, 360
derajat? Banyak hal yang tidak kumengerti. Tapi, memikirkan hal-hal seperti itu semakin hari
semakin menarik.”
Pukul 20.00
Setelah makan malam, Mineo dan Yoshiko
menonton televisi,
acara konser
NHK. Takashi Hosokawa sedang menyanyikan lagu Yagiri no Watashi—sebuah nama kapal feri yang digunakan
pada zaman Edo.
“Eh, eh, itu lagu kesukaan Bapak,” kata
Yoshiko.
Mineo lalu mulai bernyanyi mengikuti suara dari televisi.
“Tsurenigeteyo... (pergi menjauh)
Tsuiteoideyo... (patang mendekat)
Yuugure no ame ga
furu (hujan
turun saat senja)
Yagiri no Watashi…” (Judul: Yagiri no Watashi; Lirik: Miyuki Ishimoto; Penyanyi:
Takashi Hosokawa)
Musik mengalun begitu saja. Sebelumnya Mineo tak
pernah menyanyikan lagu atau apapun. Tetapi dua bulan lalu, Yoshiko mengajaknya ke kelas karaoke
sebuah klub manula. Orang-orang memuji nyanyiannya, lalu mereka berdua jadi
sering pergi ke tempat karaoke.
“Aku,” kata Yoshiko, “diajak oleh tetangga
sekitar, lalu pernah dua kali ikut kelas karaoke. Tapi aku tidak tega kalau meninggalkan
Bapak sendirian, jadi aku mengajaknya. Awalnya ia acuh saja. Lalu kubilang
bahwa Pak
Noda, yang rumahnya di seberang sana, pandai menyanyi lagu yang ia suka, dan Pak Noda tidak keberatan
untuk mengajarinya menyanyi. Kemudian ia bilang, ‘oke, ayo kita pergi,’. Aku berpikir,
sebisa mungkin kami melakukan hal-hal yang menyenangkan bersama-sama.”
Pukul 20.30
Yoshiko, yang sudah selesai mandi dan
berganti pakaian piama, duduk di depan Mineo. “Punggungku sebelah sini sakit,”
katanya. Ia meyerahkan koyo tempel pada Mineo, lalu membuka piamanya di bagian pundak.
“Ini?” tanya Mineo, jarinya menekan
punggung Yoshiko.
“Agak ke kiri.”
“Ini? Apa tidak lebih baik kalau ke dokter saja?”
“Tidak separah itu. Kalau sudah ditempel koyo juga nanti bisa
sembuh.”
Mineo menempel koyo di punggung Yoshiko,
lalu menekannya dengan kedua tangan.
“Terima kasih,” kata Yoshiko. Ia
mengenakan kembali piamanya dan mengancingkannya.
“Kalau begitu, aku tidur duluan ya,” kata
Yoshiko.
“Iya. Selamat tidur,” jawab Mineo.
Yoshiko naik ke lantai dua, tempat
tidurnya. Sejak pensiun, mereka memutuskan untuk tidur di ruangan terpisah.
Yoshiko tidur di lantai dua, Mineo tidur di lantai satu.
Mineo duduk, membaca buku. Buku karya
Tsuyoshi Mori berjudul Sejarah Matematika.
Dengan hubungan suami istri yang sedemikian baik, apakah akan semakin berat saat
terpisah oleh maut?
“Mmm… Saat-saat itu pasti datang,” kata
Mineo.
“Kalau aku bilang bahwa orang yang lebih
tua akan meninggal lebih dulu, dia jadi senang. Tawanya lebar. Jadi kalau aku sedang ingin
membuatnya senang, aku bilang, ‘karena aku akan mati duluan, kau lakukan
semuanya dengan benar ya,’. Hahaha…”
Pukul 22.00
Mineo menggapai meja dengan tangannya,
pelan-pelan berdiri, mematikan lampu ruang keluarga, lalu masuk ke kamar tidurnya.
Rumah menjadi sunyi. Hanya suara detak
jarum jam dinding yang terdengar.
***
Tulisan diterjemahkan dari 黄昏時 dalam buku 喜びは悲しみのあとに (Bitter with the Sweet) karya Takashi Uehara yang diterbitkan tahun 2004 oleh Penerbit Gentosha Outlaw Bunko.
Foto oleh GEORGE DESIPRIS dari Pexels