Friday, August 19, 2016

Barangkali Ini Sebab Ia Jarang Berkata-kata Akhir-akhir Ini

Bicaranya jarang-jarang. Sudah empat tahun dia tinggal di sini, tapi Bahasa Indonesianya masih terpatah-patah. Padahal setahu saya ia sangat bersemangat belajar Bahasa Indonesia, apalagi di tahun pertama dahulu. Memasuki tahun keempat, ia yang seharusnya sudah mampu berbahasa Indonesia dengan lancar, justru semakin pelit berkata-kata. Hitunglah sendiri berapa kali ia berucap dalam sehari, kalau kau tak percaya.

Pekan lalu ia menghampiri saya, mengangsurkan selembar kertas, sambil berkata, “wawancara televisi.” Dua kata itu tak membuat saya mengerti apa maksud pembicaraannya, jadi saya langsung membaca kertas yang ia berikan.

Ia diminta menjadi narasumber suatu acara televisi yang membahas mengenai bagaimana Islam di berbagai negara.

Lima menit lagi acara dimulai. Sejak satu jam yang lalu televisi di rumah sudah saya nyalakan, meskipun saya tidak melulu duduk di depannya karena hal itu tak membuat acaranya dimulai lebih cepat.

Rupanya ada tiga orang narasumber yang dihadirkan. Masing-masing dari Uzbekistan, Mesir, dan Suriah. Saat diperkenalkan oleh pembawa acara, narasumber dari Uzbekistan dan Mesir memperlihatkan senyum di wajah mereka sambil menghadap kamera, tapi tidak begitu dengannya. Padahal sebelum berangkat tadi ia sudah saya ingatkan untuk mengendurkan wajah. Saat perkenalan itu, wajahnya disorot dari dekat, di sampingnya ditayangkan foto keluarganya—ayah, ibu, adik, dan ia sendiri—, di bawahnya dituliskan nama, asal negara, serta telah berapa lama ia tinggal di Indonesia.

Tak berapa lama setelah itu, ia mendapatkan pertanyaan pertama mengenai apa yang membuat ia menyukai Indonesia, yang hanya dijawab pendek saja. Pembawa acara kembali mengejar, tetapi lagi-lagi hanya jawaban pendek yang keluar. Saya pikir ia menjawab pendek begitu sebab ia harus berbicara dalam Bahasa Indonesia, tetapi saya tampik sendiri pikiran itu. Jawaban semacam, “saya jatuh cinta pada rendang sejak gigitan pertama waktu saya berkunjung ke sini dua belas tahun lalu, ketika itu saya menjadi relawan tsunami Aceh. Seperti jatuh cinta pada seorang gadis, saya terus memikirkan rendang itu sampai akhirnya empat tahun lalu saya mulai tinggal di sini,” seharusnya dapat ia sampaikan dengan lancar seperti ceritanya dahulu, bukan hanya “saya suka” yang ia katakan.

Barangkali sebab jawaban pendeknya di awal acara, ditambah dengan wajah muramnya yang bisa menambah kemuraman pemirsa, pembawa acara dan juru kamera lebih banyak berbincang dengan gadis cantik asal Uzbekistan dan pemuda dari Mesir.

 “Terkait kondisi dalam negeri di Suriah, Anda yang tinggal jauh dari negara Anda tentu khawatir dengan hal tersebut.”

Lima menit lagi acara ini akan berakhir, dan akhirnya ia mendapat perhatian dari pembawa acara.

“Anda berasal dari Aleppo?”

“Iya,” ia mengangguk.

“Aleppo adalah kota tempat terjadinya perang, bukan?”

Juru kamera menyorot wajahnya. Ia menarik nafas dalam-dalam.

“Benar. Baru-baru ini ada rumah sakit yang dibom. Dalam sehari ada 250 nyawa yang hilang. Di Aleppo hanya ada satu orang dokter anak, dan Rusia telah membunuhnya....” Kalimatnya patah-patah. Suaranya tercekat. Matanya berkaca-kaca.

“... maka dari itu saya tak bisa memaafkan Rusia.”

Barangkali ini sebab ia jarang berkata-kata akhir-akhir ini.


190816
Setelah melihat wawancara yang ditayangkan dalam program News Every, stasiun NTV di sini.

0 comments:

Post a Comment