Bicaranya jarang-jarang. Sudah empat tahun dia tinggal di
sini, tapi Bahasa Indonesianya masih terpatah-patah. Padahal setahu saya ia
sangat bersemangat belajar Bahasa Indonesia, apalagi di tahun pertama dahulu. Memasuki
tahun keempat, ia yang seharusnya sudah mampu berbahasa Indonesia dengan
lancar, justru semakin pelit berkata-kata. Hitunglah sendiri berapa kali ia
berucap dalam sehari, kalau kau tak percaya.
Pekan lalu ia menghampiri saya, mengangsurkan selembar
kertas, sambil berkata, “wawancara televisi.” Dua kata itu tak membuat saya
mengerti apa maksud pembicaraannya, jadi saya langsung membaca kertas yang ia
berikan.
Ia diminta menjadi narasumber suatu acara televisi yang
membahas mengenai bagaimana Islam di berbagai negara.
Lima menit lagi acara dimulai. Sejak satu jam yang lalu
televisi di rumah sudah saya nyalakan, meskipun saya tidak melulu duduk di
depannya karena hal itu tak membuat acaranya dimulai lebih cepat.
Rupanya ada tiga orang narasumber yang dihadirkan. Masing-masing
dari Uzbekistan, Mesir, dan Suriah. Saat diperkenalkan oleh pembawa acara,
narasumber dari Uzbekistan dan Mesir memperlihatkan senyum di wajah mereka
sambil menghadap kamera, tapi tidak begitu dengannya. Padahal sebelum berangkat
tadi ia sudah saya ingatkan untuk mengendurkan wajah. Saat perkenalan itu,
wajahnya disorot dari dekat, di sampingnya ditayangkan foto keluarganya—ayah,
ibu, adik, dan ia sendiri—, di bawahnya dituliskan nama, asal negara, serta telah berapa lama ia tinggal di Indonesia.
Tak berapa lama setelah itu, ia mendapatkan pertanyaan
pertama mengenai apa yang membuat ia menyukai Indonesia, yang hanya dijawab
pendek saja. Pembawa acara kembali mengejar, tetapi lagi-lagi hanya jawaban
pendek yang keluar. Saya pikir ia menjawab pendek begitu sebab ia harus
berbicara dalam Bahasa Indonesia, tetapi saya tampik sendiri pikiran itu. Jawaban
semacam, “saya jatuh cinta pada rendang sejak gigitan pertama waktu saya
berkunjung ke sini dua belas tahun lalu, ketika itu saya menjadi relawan
tsunami Aceh. Seperti jatuh cinta pada seorang gadis, saya terus memikirkan
rendang itu sampai akhirnya empat tahun lalu saya mulai tinggal di sini,”
seharusnya dapat ia sampaikan dengan lancar seperti ceritanya dahulu, bukan
hanya “saya suka” yang ia katakan.
Barangkali sebab jawaban pendeknya di awal acara, ditambah
dengan wajah muramnya yang bisa menambah kemuraman pemirsa, pembawa acara dan juru kamera lebih banyak berbincang dengan gadis cantik asal Uzbekistan dan
pemuda dari Mesir.
“Terkait kondisi
dalam negeri di Suriah, Anda yang tinggal jauh dari negara Anda tentu khawatir
dengan hal tersebut.”
Lima menit lagi acara ini akan berakhir, dan akhirnya ia
mendapat perhatian dari pembawa acara.
“Anda berasal dari Aleppo?”
“Iya,” ia mengangguk.
“Aleppo adalah kota tempat terjadinya perang, bukan?”
Juru kamera menyorot wajahnya. Ia menarik nafas dalam-dalam.
“Benar. Baru-baru ini ada rumah sakit yang dibom. Dalam sehari
ada 250 nyawa yang hilang. Di Aleppo hanya ada satu orang dokter anak, dan
Rusia telah membunuhnya....” Kalimatnya patah-patah. Suaranya tercekat. Matanya
berkaca-kaca.
“... maka dari itu saya tak bisa memaafkan Rusia.”
Barangkali ini sebab ia jarang berkata-kata akhir-akhir ini.
190816
Setelah melihat wawancara yang ditayangkan dalam program News
Every, stasiun NTV di sini.
0 comments:
Post a Comment