Melanjutkan post sebelumnya di sini, ini adalah bagian terakhir dari rangkaian tulisan mengenai perjalanan ke wilayah Kansai, Jepang, setahun lalu.
3.
Tentang Rusa di Nara
Heijo Palace
Jangan mempercayai jarak
yang disampaikan oleh orang Jepang dalam ukuran menit, misalnya jalan kaki 15
menit, karena itu tidak berlaku bagi orang Indonesia—atau setidaknya bagi kami.
Menurut keterangan di situs penginapan, Heijo Palace dapat ditempuh dengan
berjalan kaki dari penginapan selama 15 menit. Nyatanya, kami memerlukan waktu
sekitar 50 menit berjalan kaki di pagi hari menuju Heijo Palace, itu pun belum
benar-benar dekat dengan istananya. Kami hanya melihat dari jauh, dan menyerah
pada terik matahari yang jelas akan membakar kami di area lapang terbuka di
sekitar Heijo Palace.
Nara Park
Tidak sampai satu kilometer
dari stasiun Kintetsu Nara, rusa-rusa sudah tampak berjalan-jalan di trotoar,
rambu bergambar rusa yang kira-kira memiliki arti “awas rusa lewat” tampak
terpasang di sisi jalan raya, beberapa orang mengenakan celemek dan topi putih
menjaga lapak mereka yang berjualan senbei—bukan wortel seperti di KRB— untuk pakan
rusa, dan beberapa anak terlihat menangis sambil berlari ketakutan menjauhi
rusa. Rusa-rusa di Nara Park, selain memiliki penciuman yang sangat tajam—
dibuktikan dengan tetap mendekati orang yang telah memberikan senbei namun
sebenarnya sudah tidak memegang senbei lagi, juga cukup rakus—beberapa dari mereka
terlihat memakan kertas pamflet yang dipegang oleh pengunjung. Peta Nara yang
dipegang salah satu teman saya juga menjadi korban dimakan rusa hingga tinggal
separuh.
Koufukuji
Koufukuji benar-benar
berada persis di belakang Nara Park. Ada dua pagoda, yaitu lima tingkat dan
tiga tingkat. Pagoda lima tingkat bisa dinikmati pengunjung secara gratis, sedangkan
untuk dapat menyaksikan pagoda tiga tingkat pengunjung harus membayar tiket masuk karena ia berada di kompleks dalam.
Dan kami, lebih memilih untuk berada di luarnya saja.
Yoshikien
|
Rumah dan taman gaya Jepang di dalam Yoshikien |
Berbekal peta, kami menuju
Taman Yoshikien. Taman Yoshikien adalah taman yang berbatasan dengan Taman
Isuien. Bedanya, wisatawan mancanegara bisa masuk dengan cuma-cuma di Yoshikien,
sedangkan untuk ke Isuien tetap harus membayar. Kami memasuki Yoshikien, dan
langsung duduk-duduk menguasai beranda rumah tradisional yang langsung
menghadap taman gaya Jepang yang indah—hanya ada satu orang wisatawan selain
kami. Selain taman gaya Jepang, terdapat juga taman lumut, rumah teh untuk
istirahat, serta taman bunga yang sayangnya tidak sedang berbunga.
Di gazebo dekat taman
bunga, kami memutuskan untuk beristirahat sejenak dan salat, setelah meminta izin
kepada seorang petugas yang sedang memangkas ranting. Sejak kami datang sampai
kami pergi meninggalkan gazebo, bapak pemangkas ranting itu tak beranjak dari
satu pohon: setelah satu dahan dipangkas, beliau mengamati pokok pohon,
memotong beberapa daun, memangkas ranting-ranting kecil, mengamati pokok pohon
kembali, memangkas ranting, dan begitu seterusnya. Kami hanya heran, butuh
berapa lama sampai semua pohon selesai dipangkas?
Todaiji
|
Rusa tak hanya ada di Nara Park, tetapi juga di sekitar Todaiji |
Dari Taman Yoshikien, kami
melalui jalan yang agak menanjak menuju Todaiji. Karena kami tidak masuk dari
gerbang utama, maka pemandangan yang terhampar begitu kami datang adalah sebuah
kolam berukuran cukup besar dengan satu buah torii berwarna merah menyala di
seberang kolam. Kami pun tidak masuk ke Todaiji, hanya berkeliling di seputaran
Todaiji saja, yaitu di Kaidan-in.
4.
Cenderamata Gratis dari Mie
Iga Ryu Ninja Museum
Jika melihat foto-foto
yang bertebaran di internet mengenai ninja di kereta dan stasiun, maka hal itu benar
adanya. Saya menemukan ninja di rak atas di kereta, serta beberapa ninja, baik di stasiun
Igakambe maupun stasiun Uenoshi. Jalur kereta dari Igakambe ke Uenoshi ini
hanya dilewati oleh kereta ninja, dengan stasiun-stasiun kecil dan persawahan
di sepanjang jalur.
Kami sampai di museum
Ninja sekitar pukul 9 lewat sedikit, dan masuk dalam rombongan kedua pengunjung
museum. Awalnya, pengunjung diajak memasuki rumah ninja, di mana petugas
museum yang berpakaian ala ninja menjelaskan beberapa trik yang ada di rumah
ninja, misalnya rak yang berfungsi sebagai tangga, tempat mengawasi yang ada di
lantai atas, tempat menyimpan barang berharga di dalam lantai, serta pintu
berputar. Selama penjelasan, pengunjung diperbolehkan mengambil gambar, namun
dilarang merekam video. Setelah sekitar lima belas menit, barulah pengunjung
memasuki museum Ninja.
|
Mbak pemandu dari pihak museum ninja menunjukkan tempat penyimpanan rahasia ala ninja |
Museum ini memiliki berbagai macam pajangan yang
menarik, misalnya rahasia bagaimana ninja berjalan di atas air (yang ternyata
menggunakan sandal khusus) dan replika sandalnya, bentuk-bentuk penyamaran
ninja menjadi petani atau rakyat biasa, pakaian ninja, bentuk-bentuk shuriken,
bagaimana cara ninja memprediksi cuaca dengan melihat tanda-tanda di langit,
dan lain sebagainya. Di ujung rute museum, terdapat sebuah tempat penjualan
cenderamata, misalnya shuriken dan kartu pos.
Di dalam museum kami
bertemu sepasang bocah laki-laki dan perempuan yang memakai kostum ninja, yang
tampak lucu dan menggemaskan sehingga kami ajak berfoto bersama. Di luar
museum, kami bertemu serombongan turis asing berambut pirang—mungkin siswa SMA atau
mahasiswa tingkat awal—yang memakai kostum ninja, tetapi tampak sangat aneh dan … entahlah.
Ueno Castle
Dekat saja dari museum
Ninja, kami menaiki anak tangga yang jumlahnya cukup banyak, dan Ueno Castle
sudah ada di depan mata. Ukurannya tidak begitu besar, namun saya baru ingat
kalau ia terlihat dari stasiun Uenoshi—mungkin karena ia dibangun di atas bukit. Kami
hanya duduk-duduk di kursi luar istana. Ada satu lapak yang menjual es serut
sebagai pelepas dahaga bagi pengunjung. Setelah duduk-duduk cukup lama, kami
kemudian memutari istana. Dari balik istana, kami bisa melihat wilayah sekitar
dari ketinggian. Kemudian selepas itu kami kembali ke stasiun.
Ise Grand Shrine – Geku
Sebenarnya ada dua Ise Grand Shrine,
yaitu Geku (luar) dan Naiku (dalam). Geku terletak cukup dekat dari stasiun
Iseshi, sedangkan Naiku cukup jauh,
tetapi tersedia bus kota yang menuju ke sana. Dari stasiun menuju
Geku, kami melewati sebuah kawasan pertokoan dengan jalan yang cukup lebar.
Geku tidak terlalu luas, kami mengelilinginya dalam waktu sekitar 20 menit,
selebihnya kami beristirahat di tempat istirahat yang dibangun menghadap kolam
bergaya Jepang. Terdapat museum di samping tempat istirahat tersebut, namun
untuk memasukinya pengunjung harus membeli tiket yang saya lupa berapa
harganya.
Di ujung jalan tepat di
depan Geku, terdapat pusat informasi wisata—yang juga ada di stasiun Iseshi,
padahal jarak keduanya tidak begitu jauh. Kami masuk untuk bertanya barangkali
ada tempat yang bisa digunakan untuk salat. Kami tidak mendapatkan jawaban yang
memuaskan, tetapi kami diberi bros bertuliskan Mie dengan gambar mutiara, kerajinan
khas daerah Toba, Mie.
5.
Akhirnya Tidak Terlewat di Osaka:
Tsutenkaku dan Glico Man
Johnny’s Shop
Kalau saya sudah jauh-jauh
ke Osaka tapi tidak mampir ke tempat ini, maka saya termasuk golongan orang
yang merugi. Terletak di lantai 1 dan 2 gedung Shiroguchi, Johnny’s Shop tidak seperti yang saya
bayangkan. Di bayangan saya, selain menjual foto-foto artis yang tergabung
dalam manajemen Johnny & Associates, toko ini juga menyediakan cenderamata konser, album, dan CD.
Ternyata saya tidak menemukan album dan CD sama sekali. Mengenai cenderamata
konser, sepertinya hanya cenderamata dari konser yang sedang berlangsung saja
yang tersedia. Karena konser NEWS sudah berakhir pada 6 Agustus, sementara saya
baru ke toko ini pada 11 Agustus, maka saya tidak menemukan satupun cenderamata
konser NEWS. Akhirnya saya hanya menghabiskan waktu dengan memelototi satu-satu
foto NEWS yang dipajang, beberapa foto Hey! Say! JUMP, dan membeli
beberapa—entah untuk apa.
Ketika saya datang,
keadaan toko cukup sepi. Kabarnya, kalau sedang ramai, pengunjung bahkan bisa
memperoleh nomor antrean untuk nanti masuk pada waktu yang telah ditentukan.
Selain satu-dua orang bapak-bapak yang menunggu di luar area pajangan foto,
yang tampak di area pajangan foto hanya perempuan yang membawa kertas pesanan
foto hingga berlembar-lembar, dan telah memilih lebih dari 20 foto untuk
dibeli. Dan seperti biasa, tidak boleh mengambil gambar, baik di dalam maupun
di luar. Bahkan ketika saya berfoto di luar, saya diperingatkan oleh petugas
keamanan untuk tidak mengambil gambar.
Nakanoshima Park
Nakanoshima Park tampaknya
bukan tempat yang terlalu terkenal di kalangan masyarakat sekitar. Setelah
keluar dari stasiun dan berjalan melewati beberapa blok namun tidak kunjung
menemukan taman ini, saya melihat peta area sekitar yang sayangnya ditulis
dalam huruf kanji, dan memutuskan untuk bertanya pada seorang kakek yang sedang
lewat. Ia bilang tidak tahu taman yang saya maksud. Kemudian lewat dua orang
anak seusia SMP, yang ditanyai oleh si kakek. Dua anak perempuan ini juga
menggeleng, kemudian mereka melihat peta, dan akhirnya menunjuk suatu
titik—yang kemudian saya sadari bertuliskan Nakanoshima Kouen, sambil bertanya
kepada saya, “apakah ini yang Anda maksud?”.
Setelah saya sadar bahwa titik itu bertuliskan Nakanoshima Kouen, saya
mengangguk dan berterima kasih pada mereka.
Nakanoshima Park adalah
sebuah taman berukuran luas yang cukup indah, apalagi jika dikunjungi pada sore
hari . Di dalam kompleks taman terdapat
satu blok berisi bunga mawar berbagai varietas dengan penataan taman yang
simetris, air mancur di pojok, serta tepat bersebelahan dengan sungai. Kami datang saat matahari sedang bersinar sangat terik, dan
keindahan taman jadi berkurang karena tidak ada pohon besar di taman, terutama
taman bunga mawar, kecuali di bagian tepi.
Sumiyoshi Taisha
|
Jembatan yang menjadi ciri khas Sumiyoshi Taisha |
Untuk menuju Sumiyoshi
Taisha, informasi yang saya dapatkan adalah saya cukup turun di stasiun Sumino Kouen dan disambung
berjalan kaki sampai lokasi. Di stasiun Sumino Kouen, saya menanyakan arah menuju kuil kepada petugas stasiun. Ia berkata
bahwa saya harus naik bus lagi dari terminal, dan untuk menuju terminal kami bisa berjalan kaki. Ia
memberikan selembar peta wilayah yang dilengkapi nomor bus beserta rute dan
halte pemberhentian, dan mewanti-wanti saya nomor bus yang bisa saya naiki
menuju kuil. Berbekal peta tersebut, kami menuju ke terminal—dan harus tersesat juga. Sesampai di
terminal, ada satu unit bus yang hampir berangkat—pintunya sudah tertutup. Saya melihat
nomor bus dan menyadari bahwa itu adalah bus yang harus kami naiki. Kami
berlari-lari, lalu berhenti di belakang bus. Sopir tampaknya melihat kami, lalu membukakan
pintu. Penumpang tak begitu penuh, kami semua masih dapat tempat duduk. Di
dalam bus inilah saya bertemu dengan Kakek Berbahasa Inggris.
Setelah turun dari bus,
kami menyeberang jalan, dan melewati sebuah taman cantik penuh bunga
warna-warni bermekaran: putih, merah, kuning, ungu. Banyak anak-anak kecil
bermain di area bermain. Kami berfoto sejenak di taman, lalu bergegas menuju kuil
mengingat waktu sudah hampir pukul lima sore. Kami menaiki jembatan besar yang tersusun dari kayu yang
menjadi daya tarik Sumiyoshi Taisha, kemudian berjalan menyusuri sungai kecil lalu
masuk ke dalam kuil. Tak ada karcis yang harus ditebus untuk memasuki Sumiyoshi
Taisha. Baru semenit di dalam, benar saja, petugas kuil sudah mengingatkan
pengunjung karena kuil akan tutup pukul lima. Kami mempercepat langkah
melewatkan jajaran bangunan-bangunan kecil berwarna merah di dalam kuil,
kemudian keluar kuil. Di pintu keluar, kami menemui serombongan wisatawan asing
yang tak bisa lagi masuk sebab waktunya sudah habis. Mereka akhirnya hanya
berfoto-foto di sekitar jembatan.
HEP
Sebenarnya HEP sudah kami
kunjungi sebelum kami mampir ke Johnny’s Shop, tetapi karena kami merasa saat
itu masih terlalu siang, jadi kami menukar urutan lokasi kunjungan. Tak ada tujuan
lain di HEP selain menaiki bianglala raksasanya berwarna merah terang. Setelah
naik lift sampai ke lantai teratas, kami membeli tiket seharga 500 yen di mesin
penjual. Setelah itu, sebelum naik bianglala, kami dipersilakan berfoto bersama
di sebuah area foto dengan latar tulisan HEP. Tiap kereta berisi empat orang;
karena kami berlima, kami terpisah dalam dua kereta berisi dua dan tiga orang.
Durasi naik bianglala ini adalah sekitar lima belas menit. Dari puncak
ketinggian, tampak gedung-gedung di sekitar area HEP.
Begitu waktu habis dan kami
turun dari bianglala, di depan pintu keluar terdapat sebuah stan yang
menawarkan hasil cetak foto kami sebelum naik bianglala tadi. Foto tersebut
dijual bersama dengan pigura kertas, mirip cenderamata foto ala resepsi
pernikahan. Per lembar foto dan pigura dijual seharga 1.200 yen.
Tsutenkaku Tower
Bicara mengenai Osaka,
tentu tak bisa lepas dari Tsutenkaku. Menara yang juga dapat menunjukkan
prakiraan cuaca esok hari melalui warna lampunya ini jelas tak akan kami
lewatkan dalam daftar kunjungan.
Kami sampai di Tsutenkaku
sekitar pukul tujuh malam lewat, setelah melintasi deretan kios-kios yang
menjajakan dan memajang banyak hal. Karena sudah cukup malam dan kami memang
tidak berniat naik ke atas menara, jadi kami hanya berfoto beberapa ratus meter di depan
Tsutenkaku saja, lantas kembali ke penginapan. Kami bahkan tak sempat mampir ke
Shinsekai, kawasan pertokoan yang terkenal di dekat Tsutenkaku.
Minoo Park
Air terjun Minoo, dari menara pandang
Alasan saya memasukkan
Minoo Park dalam daftar kunjungan adalah karena ingin melihat wisata alam,
bukan melulu bangunan buatan manusia. Kami berangkat cukup pagi dari
penginapan, dan sampai di stasiun Minoo, stasiun terdekat dengan Minoo Park,
sekitar pukul 8.30. Keluar dari stasiun, kami langsung berjalan mengikuti arus
orang-orang. Tak jauh dari stasiun, segera dapat dilihat sebuah papan berisi
informasi Minoo Park dalam Bahasa Jepang, Inggris, Mandarin, dan Korea yang
menyebutkan bahwa taman ini sudah ada sejak 1.300 tahun lalu.
Pemandangan pun sudah
mulai berubah: banyak pohon dan aliran sungai, dengan suara gemericik air. Makin masuk ke dalam,
suasana menjadi semakin sunyi, karena tak banyak kendaraan bermotor yang lewat.
Kebanyakan orang berjalan kaki. Tak jarang saya melihat orang berusia lanjut
berjalan dengan menggendong tas ransel kecil berisi botol minum di saku bagian
samping, mengenakan topi, pakaian olahraga, serta sepatu kets. Nampaknya banyak
yang memanfaatkan jalur tersebut untuk berolahraga. Hal itu tidak mengherankan,
sebab dari papan informasi sampai air terjun berjarak sekitar 7 km, dengan
papan kecil terpasang di sepanjang perjalanan yang menginformasikan jarak
tersisa menuju lokasi air terjun. Teman saya bahkan tak melanjutkan perjalanan
dan memutuskan untuk menunggu di dekat stasiun sebab jarak tersebut.
Di ujung jalan, terhampar
air terjun setinggi sekitar 20 meter dengan airnya yang jernih. Sekitar sepuluh
meter di depannya, dibangun tempat yang lebih tinggi dengan beberapa tempat
duduk panjang yang terbuat dari kayu. Beberapa orang meregangkan otot, beberapa
duduk di kursi. Ada juga semacam menara pandang yang sebenarnya hanya berupa sebuah bangunan dua
lantai.
Setelah beberapa lama
duduk di kursi di depan air terjun dan mengambil beberapa gambar melalui menara pandang, saya
kembali dengan mengambil jalan yang berbeda dari jalan berangkat—tiga kawan
saya baru sampai di air terjun setelah saya pulang. Saya mengikuti seorang
kakek yang melewati jalan setapak di bukit yang memang tersedia dengan pagar
rendah dari kayu. Jalan ini lebih menantang daripada jalan utama, karena
medannya naik turun. Di tengah jalan, saya menyerah karena mulai lelah dan
memutuskan kembali ke jalan utama;
sementara kakek di depan saya tadi masih setia dengan
jalan naik turun itu.
Osaka Castle
Setelah melewati Taman
Morinomiya dan salat di bawah pepohonan di sana, kami menuju ke Osaka Castle.
Tampaknya objek wisata ini tak pernah sepi; sepanjang jalan dari taman sampai
ke gerbang istana, arus pengunjung tak juga menyurut.
Di depan istana,
pengunjung cukup padat. Lokasi terbaik untuk berfoto juga tak pernah sepi.
Antrean masuk ke dalam istana pun begitu, sudah mengular. Kami tak punya cukup
waktu untuk masuk, jadi kami hanya berkeliling di depan istana. Seorang kawan
saya bercerita, ia bertemu dengan tiga pemuda asal Jawa Barat yang bekerja di
Jepang setelah lulus SMA; mereka datang ke Osaka Castle untuk berlibur, dan tak
henti mengagumi kami yang bisa mengunjungi Jepang dengan stastus mahasiswa.
Saya cuma bisa tertawa.
Kyocera Dome
Kyocera Dome adalah objek
wisata yang menuruti ego pribadi saya. Saya pun berangkat sendiri ke tempat
ini, empat kawan saya lainnya pergi ke Daiso terdekat dari Osaka Castle untuk berbelanja.
Keluar dari stasiun Dome-mae Chiyozaki, saya
bertemu dengan banyak sekali orang yang mengarah ke Kyocera Dome. Setelah
bangunan tersebut terlihat, keheranan saya terjawab: sedang ada pertandingan
baseball di sana. Pantas saja banyak juga yang memakai pernak-pernik terkait
baseball. Saya berjalan mengitari Kyocera Dome; melihat antrean pengunjung di depan pintu masuk,
jejeran stan yang menjual pernak-pernih berupa kaos, corong pengeras suara, dan
lain-lain. Sampai saya beranjak meninggalkan lokasi ini, aliran orang yang
muncul dari pintu keluar stasiun ke arah Kyocera Dome masih belum berhenti.
Dotonbori
|
THE Glico Man!!! |
Ada satu tempat yang
menjadi penanda khas Osaka: papan reklame raksasa bergambar Glico Man. Letaknya
di kawasan pertokoan Dotonbori yang sangat ramai, sehingga sayang untuk
dilewatkan. Ketika sampai di sana, sulit rasanya untuk mengambil gambar dengan
leluasa karena jembatan dan sepanjang jalan penuh dengan orang. Keramaiannya tak jauh berbeda dengan hari terakhir
pasar malam dengan diskon gila-gilaan. Apalagi, keramaian itu rupanya tak hanya
berlangsung di jembatan dekat Glico Man, tetapi juga berlanjut di sepanjang
jalan kawasan pertokoan. Saat itu rasanya persediaan oksigen di udara hanya
tipis sekali sehingga sulit bernapas. Memang tak mengherankan, sebab kawasan
ini menjadi lokasi favorit wisatawan untuk berfoto, makan, dan berbelanja.
Menyelesaikan
tulisan ini membuat saya sedikit tersadar bahwa berkunjung ke tempat baru
selalu memberikan dua perasaan pada saat bersamaan: cemas dan gembira. Keduanya
menjadi energi tambahan yang cukup ampuh untuk menambah semangat. Ajaibnya,
perasaan itu seakan masih berbekas dengan baik meskipun kunjungan tersebut
sudah terlewat sekian lama. Sebab perasaan yang masih berbekas itulah, saya
tidak tahu bagaimana harus memberikan akhir pada apa yang saya sebut epilog
ini.
040816