Monday, November 11, 2013

Kota Santri Abad 19: Kota Perdagangan Regional dan Internasional


Judul Buku: Kota Gresik 1896-1916: Sejarah Sosial Budaya dan Ekonomi
Penulis: Oemar Zainuddin
Penerbit: Ruas
Tahun Terbit: April 2010
Tebal Buku: viii + 160 halaman


Ketika disebut kata “Gresik”, sebuah kabupaten di sebelah utara Jawa Timur, mungkin yang langsung muncul dalam pikiran adalah nasi krawu, Sunan Giri, dan Maulana Malik Ibrahim. Saya pun, yang menghirup udara selama delapan belas tahun di sana, mungkin juga akan menyebutkan hal yang sama ketika Gresik disebut. Atau kalau pun bisa menambah sedikit, hanya deretan nama makanan dan kerajinan khas—pudak, otak-otak, jubung, nasi romo, masin, damar kurung, kopiah—yang mampu saya sebutkan.

Namun siapa sangka, pada abad 19-an, Gresik ternyata terkenal akan industri penyamakan kulitnya. Dengan pusat-kisah industri penyamakan kulit, penulis buku ini, Oemar Zainuddin, mengisahkan juga bagaimana kehidupan sosial budaya dan ekonomi masyarakat Gresik pada tahun 1896-1916.

Sebagian wilayah Gresik yang terdiri dari tanah tandus, gersang, dan bukit kapur membuat sektor pertanian tidak dapat berkembang dengan baik. Mayoritas masyarakat Gresik hidup sebagai pengrajin dan pedagang. Profesi ini diuntungkan oleh posisi geografis Gresik yang terletak di pantai utara Jawa sehingga memungkinkan dibangunnya pelabuhan Gresik—yang kemudian menjadi pelabuhan internasional saat itu—atas jasa Sunan Giri, salah satu wali penyebar agama Islam yang bermukim di daerah Giri, Gresik.  

Dalam buku ini digambarkan bagaimana Industri penyamakan kulit yang terletak di Desa Kebungson, Gresik, mulai berkembang pada akhir abad 19 dan mencapai puncaknya pada awal abad 20. Dalam rentang waktu 1896-1916, industri ini telah mampu menyuplai kulit ke 24 daerah di pulau Jawa, di antaranya Batavia, Semarang, Surakarta, dan Malang. Bukti kejayaan para pemilik industri penyamakan kulit di Gresik dapat dilihat di Kampung Kemasan, di mana masih berdiri sebelas rumah megah yang sudah berusia lebih dari seabad.

Hal lain yang juga menarik untuk disimak adalah bagaimana tokoh-tokoh industri penyamakan kulit Kampung Kemasan ikut berperan dalam pelestarian kebudayaan Gresik. Oemar Zainuddin, yang juga merupakan keturunan ketiga keluarga H. Oemar, saudagar pelopor industri kulit di Kampung Kemasan, menuliskan beberapa kesenian dan budaya yang sering digelar keluarga H. Oemar, yaitu Pencak Macan, Tradisi Jomblang, Tradisi Bedug Teter, Tradisi Tayung Raci Sidayu, dan Tradisi Mulutan. Keunikan tiap tradisi digambarkan dengan cukup jelas dalam buku ini.

Dilengkapi dengan foto surat, iklan, nota dagang, dan dokumen lawas yang disimpan dengan baik oleh keluarga H. Oemar, penulis cukup dapat menceritakan peran dan perkembangan industri penyamakan kulit di Gresik. Hal yang disayangkan adalah tidak adanya subbab dalam buku ini, sehingga pembahasan tiap bab, meskipun masih dalam kerangka judul bab, agak kurang tertata penceritaannya dan terasa melebar.

Di tengah sulitnya mencari referensi tentang sejarah kota Gresik, buku ini mampu mengisahkan apa yang terjadi di kota tersebut pada tahun 1896-1916. Termasuk memberi pengetahuan bahwa pusat kota Gresik pada saat itu ada di wilayah Kelurahan Bedilan, Pekelingan, Pulau Pancikan, Gapura Sukolilo, Karangpoh, dan Kroman—beberapa di antaranya bahkan baru saya ketahui saat membaca buku ini. 

Dengan buku ini, selamat datang di Gresik Kota Santri!


11 11 13
Wanna go home right now. And happy birthday, Tegoshi Yuya!

0 comments:

Post a Comment