Judul Buku: Kota
Gresik 1896-1916: Sejarah Sosial Budaya dan Ekonomi
Penulis: Oemar
Zainuddin
Penerbit: Ruas
Tahun Terbit: April
2010
Ketika disebut kata
“Gresik”, sebuah kabupaten di sebelah utara Jawa Timur, mungkin yang langsung
muncul dalam pikiran adalah nasi krawu, Sunan Giri, dan Maulana Malik Ibrahim.
Saya pun, yang menghirup udara selama delapan belas tahun di sana, mungkin juga
akan menyebutkan hal yang sama ketika Gresik disebut. Atau kalau pun bisa
menambah sedikit, hanya deretan nama makanan dan kerajinan khas—pudak,
otak-otak, jubung, nasi romo, masin, damar kurung, kopiah—yang mampu saya
sebutkan.
Namun siapa sangka,
pada abad 19-an, Gresik ternyata terkenal akan industri penyamakan kulitnya.
Dengan pusat-kisah industri penyamakan kulit, penulis buku ini, Oemar
Zainuddin, mengisahkan juga bagaimana kehidupan sosial budaya dan ekonomi
masyarakat Gresik pada tahun 1896-1916.
Sebagian wilayah
Gresik yang terdiri dari tanah tandus, gersang, dan bukit kapur membuat sektor
pertanian tidak dapat berkembang dengan baik. Mayoritas masyarakat Gresik hidup
sebagai pengrajin dan pedagang. Profesi ini diuntungkan oleh posisi geografis
Gresik yang terletak di pantai utara Jawa sehingga memungkinkan dibangunnya
pelabuhan Gresik—yang kemudian menjadi pelabuhan internasional saat itu—atas
jasa Sunan Giri, salah satu wali penyebar agama Islam yang bermukim di daerah
Giri, Gresik.
Dalam buku ini
digambarkan bagaimana Industri penyamakan kulit yang terletak di Desa
Kebungson, Gresik, mulai berkembang pada akhir abad 19 dan mencapai puncaknya
pada awal abad 20. Dalam rentang waktu 1896-1916, industri ini telah mampu
menyuplai kulit ke 24 daerah di pulau Jawa, di antaranya Batavia, Semarang,
Surakarta, dan Malang. Bukti kejayaan para pemilik industri penyamakan kulit di
Gresik dapat dilihat di Kampung Kemasan, di mana masih berdiri sebelas rumah megah
yang sudah berusia lebih dari seabad.
Hal lain yang juga
menarik untuk disimak adalah bagaimana tokoh-tokoh industri penyamakan kulit
Kampung Kemasan ikut berperan dalam pelestarian kebudayaan Gresik. Oemar
Zainuddin, yang juga merupakan keturunan ketiga keluarga H. Oemar, saudagar
pelopor industri kulit di Kampung Kemasan, menuliskan beberapa kesenian dan
budaya yang sering digelar keluarga H. Oemar, yaitu Pencak Macan, Tradisi
Jomblang, Tradisi Bedug Teter, Tradisi Tayung Raci Sidayu, dan Tradisi Mulutan.
Keunikan tiap tradisi digambarkan dengan cukup jelas dalam buku ini.
Dilengkapi dengan foto
surat, iklan, nota dagang, dan dokumen lawas yang disimpan dengan baik oleh
keluarga H. Oemar, penulis cukup dapat menceritakan peran dan perkembangan industri
penyamakan kulit di Gresik. Hal yang disayangkan adalah tidak adanya subbab
dalam buku ini, sehingga pembahasan tiap bab, meskipun masih dalam kerangka
judul bab, agak kurang tertata penceritaannya dan terasa melebar.
Di tengah sulitnya
mencari referensi tentang sejarah kota Gresik, buku ini mampu mengisahkan apa
yang terjadi di kota tersebut pada tahun 1896-1916. Termasuk memberi pengetahuan
bahwa pusat kota Gresik pada saat itu ada di wilayah Kelurahan Bedilan,
Pekelingan, Pulau Pancikan, Gapura Sukolilo, Karangpoh, dan Kroman—beberapa di
antaranya bahkan baru saya ketahui saat membaca buku ini.
Dengan buku ini,
selamat datang di Gresik Kota Santri!
11 11 13
Wanna go home right
now. And happy birthday, Tegoshi Yuya!
0 comments:
Post a Comment