Wednesday, January 18, 2012

Tentang Sebuah Tweet

Ohayo~~~~~

Beberapa menit lalu saya lagi main twitter, dan nampaknya admin @YoungOnTop lagi rajin nge-twit.

“Menurut kamu apa sih itu #Empati? Apa bedanya dengan simpati? #Berbagi” Ketika saya baca twit itu, saya cuma menjawab dalam hati. “Pokoknya mah empati tuh lebih ‘dalem’ daripada simpati,” kira-kira begitulah jawaban saya. Hehe

Kemudian @YoungOnTop nge-twit lagi sebanyak tiga kali, tapi saya jadikan satu disini, “Apa itu empati? Menurut admin, empati itu FEEL, IMAGINE, DO SOMETHING. Feel: mencoba untuk merasakan apa yang dialami oleh orang lain. Imagine: membayangkan apa akibat yang dirasakan oleh orang tersebut, dan membayangkan bagaimana jika itu terjadi pada kita. Do something: kita mencoba untuk membantu, menyelesaikan persoalan tersebut. Caranya macam2.”

Rangkaian tiga twit itulah yang membuat saya sedikit berpikir.

Pertama. Keren lah ini adminnya. Haha. Maksud saya, keren dalam arti bisa menganalisis apa kunci utama dari sebuah kata. Misalnya empati itu tadi, berhasil dianalisis dalam tiga kata kunci: feel, imagine, do something. Kalau ini sih murni pendapat pribadi, saya membandingkan dengan diri saya sendiri. Silakan lihat jawaban saya terhadap perbedaan empati dan simpati tadi. Saya cuma menjawab dengan sesuatu yang abstrak bin absurd: empati lebih ‘dalem’ daripada simpati. Sungguh jawaban yang tidak berbobot. Haha *menguak kebodohan diri sendiri >.<* Kedua. Saya jadi teringat sebuah kisah. Ini kisah tentang seorang relawan di sebuah rumah singgah, atau sebutlah taman belajar. Saya singkat TB saja ya *bukan toko buku, apalagi toko bangunan -.-*. TB tersebut mengadakan kegiatan 3 kali sepekan, berupa belajar dan bermain untuk anak usia 3-7 tahun. Lokasi TB tersebut berada di tengah-tengah pemukiman pemulung, yang bersebelahan dengan jalan tol dan hanya dibatasi sebuah tembok setinggi dua meter. Si relawan yang rumahnya juga berada di pemukiman tersebut, jika tidak ada halangan, selalu datang ke TB itu. Ia membantu mendiamkan anak-anak ketika mereka sibuk bercanda; ikut bernyanyi dan bertepuk tangan dengan mereka; mendampingi mereka ketika belajar menulis, menggambar, atau mewarnai; membantu membagikan susu dan biskuit di akhir waktu belajar; dan lain-lain. Rasanya jarang saya tak bertemu dengannya ketika saya kesana. Suatu kali ia bercerita. Ia merasa miris dengan kondisi anak-anak di tempat tinggalnya itu. Katanya, anak kelas 2 SD ada yang belum bisa membaca sehingga selalu memeroleh nilai terendah ketika ujian *gimana bisa jawab kalau baca soalnya saja tidak bisa?*. Ia juga menyayangkan sikap kebanyakan orang tua di tempat tinggalnya yang tidak menganggap pendidikan adalah sesuatu yang penting. “Makanya saya senang sekali waktu taman belajar ini akhirnya didirikan,” ujarnya. Lanjutnya, “saya cuma lulusan SMK. Nggak saya terusin kuliah karena memang nggak ada biaya. Padahal saya pengen banget terus ke kuliah. Saya sadar pendidikan itu penting, makanya saya pengen lanjut kuliah. Makanya saya heran sama orang disini, kok pendidikan anaknya nggak diperhatikan. Anak udah SD masih belum bisa baca. Sering akhirnya saya yang ajarin dia berhitung dan baca di rumah saya.” Suatu ketika saya tanya pada si empunya TB, “Bun, pekerjaan ‘si relawan’ apa sih?” Kata Bunda: joki 3 in 1. Saya syok. Terdiam. Agak merenung. Kata bunda lagi: dulu jualan keliling, sekarang jadi joki. *kemudian hening, saya nggak tau harus bilang apa* Ketiga, saya jadi mengambil sedikit kesimpulan. Bahwa berbagi tidak hanya tentang harta, tentang uang. Berbagi bisa tentang apapun. Waktu, tenaga, pikiran. Kalau ada orang yang beranggapan bahwa ia tak bisa berbagi karena belum berharta, ia SALAH BESAR. Justru karena belum berharta, maka harus berbagi. Dengan demikian hartanya insya Allah akan semakin banyak. Ini konsep sedekah. Kalau tak mau mengeluarkan harta ketika tak berharta padahal dengan mengeluarkannya hartanya bisa bertambah, ia bisa ikut menyumbang dengan waktu, tenaga, pikiran. Seperti si relawan yang saya ceritakan di atas. Kalau ia berharta, ia mungkin akan menyumbang apapun ke taman bermain. entah susu, biskuit, buku, pakaian, mainan, atau apapun. Tapi karena ia tak punya, ia membagi waktu, tenaga dan pikirannya. Dan itulah yang menunjukkan kekayaannya, ia tetap mau berbagi di tengah kondisinya yang juga bisa dibilang terbatas. Sederhana kan? Tentu. Berbagi itu sederhana. Berbagi membuat bahagia. Jadi bahagia itu sederhana. Berbagilah, maka kau akan bahagia. Mari berbagi, mari bahagia. Karena berbagi tak pernah rugi. *wasurenaiyo, Wahyu >.<* Jumat, 6 Januari 2012 pukul 11.22, ditemani segelas teh tawar yang nikmat *karena gak punya duit buat beli gula :p*

Salam,
Wahyu Widyaningrum

0 comments:

Post a Comment