Selama kuliah hampir tiga tahun, tas tetap saya hanya satu. Warnanya cokelat khaki, modelnya selempang. Saya masih ingat, tas itu saya beli di BG Junction Surabaya. Bapak yang mengantar saya ke sana. Waktu itu saya masih berstatus mahasiswa ITS Surabaya. Rupanya ketika masuk STAN, saya tetap membawa serta tas tersebut.
Sebenarnya ada satu tas lagi. Tas ransel untuk laptop, warnanya hitam. Saya beli di Ramayana Gresik, lagi-lagi bapak yang mengantar. Tapi tasnya besar, saya kurang suka. Makanya saya jarang pakai. Paling-paling saya cuma pakai tas itu kalau bawa laptop atau kalau bepergian yang butuh membawa barang agak banyak.
Nah, tas saya yang warna cokelat khaki ini, karena sudah saya pakai hampir tiga tahun, warnanya sudah mulai pudar. Dia memakai pengait berupa magnet. Kalau saya tidak sabar, saya sering menariknya dengan lumayan keras. Makanya, sekarang pengait magnetnya sudah tak karuan bentuknya. Bahkan sudah berlubang. Kadang-kadang malu juga saya kalau pakai tas itu.
Di tengah malunya saya terhadap sebuah tas, saya bertemu dengan Risma. Bukan pertemuan pertama, sih. Pertama kali saya bertemu dengan dia sekitar sepekan lalu. Saat itu, informasi yang saya ketahui tentang Risma hanya sebatas dia adalah kakak dari Halimah, salah seorang murid PAUD Komunitas Menara.
Kemarin, saya bertemu lagi dengan Risma. Dia akan mengikuti tes masuk SMP Terbuka Ibnu Sina di kawasan Jombang, Tangerang Selatan. Kebetulan saya diajak berkunjung ke SMP itu.
Kami sudah berada di SMP Ibnu Sina sekitar pukul 11.30, padahal tes baru dimulai pukul 13.00. Masih ada sekitar 1,5 jam lagi. Saya isi dengan membaca buku Andy’s Corner yang terpampang di salah satu rak di aula SMP Ibnu Sina dan mengobrol dengan Risma.
Tahun lalu, Risma masih tercatat sebagai seorang siswa di salah satu MTs di daerah Peladen (seingat saya sih begitu). Ketika hampir ujian semester genap kelas 8, orang tua Risma tidak sanggup lagi membayar biaya sekolah Risma. Hasilnya, Risma terpaksa putus sekolah.
Risma adalah anak pertama dari 5 bersaudara. Anak kedua adalah Jihan, sekarang kelas 6 SD. Kata Risma, orang tuanya akan menyekolahkan Jihan di sebuah pesantren yang dimiliki oleh Pertamina. Saya kurang jelas juga, apakah pesantren tersebut dimiliki atau dibiayai atau dinaungi oleh Pertamina. Risma sendiri juga bingung. Anak ketiga bernama Arif, duduk di kelas 1 SD. Halimah, murid PAUD KM yang saya kenal, rupanya adalah anak keempat. Seorang lagi, anak kelima, masih bayi. Entah berapa usianya dan siapa namanya. Yang jelas, saya sering melihat ibu Halimah mengantar-jemput Halimah dengan menggendong anak kelima tersebut.
Ayah Risma adalah seorang tukang las keliling. Saya tidak tahu berapa penghasilannya. Dan saya lebih tidak tahu lagi bagaimana pengelolaan uang di keluarga tersebut sehingga sanggup menghidupi tujuh nyawa dengan penghasilan dari las keliling.
Keberadaan SMP Terbuka Ibnu Sina yang tidak memungut biaya apapun dari siswanya selama masa pendidikan membuat Risma ingin masuk ke SMP tersebut. Jadi ia bisa melanjutkan sekolahnya yang sempat terputus. Kalau lolos tes dan diterima di SMP Ibnu Sina, maka Risma akan duduk di kelas 8 (lagi).
“Nggak malu, Ris?” Tanya saya.
“Teman-teman juga menanyakan hal yang sama, kak. Kata mereka, ‘ih, lo nggak malu apa ngulang kelas 8? Kalo gue mah ogah.’ Saya cuma bilang, ‘ngapain malu?’ Nih ya kak, bahkan kalo saya harus ngulang dari kelas 1 SD pun bakal saya jalanin. Saya nggak malu, tuh. Yang penting saya bisa tetep sekolah.”
Saya tersenyum. Lantas kembali menghadap buku Andy’s Corner di tangan saya, pura-pura membaca. Padahal saya tengah termenung. Di samping saya, Risma bahkan rela mengulang sekolahnya tanpa rasa malu sedikitpun. Sedangkan saya, malu hanya karena sebuah tas.
Saya lihat tas saya yang tergeletak di atas meja di depan saya. Hei, kamu kan yang sudah menemani saya selama hampir tiga tahun, ya? Kasihan sekali kamu, bahkan tuanmu pun malu atas keberadaanmu.
Saya ambil tas saya, dan saya melihat Risma. Baiklah, rasa malu saya terhadap sebuah tas rasanya bukan pada tempatnya. Saya jadi malu pada diri sendiri yang kalah pada seorang remaja berusia 16 tahun bernama Risma.
Salam,
Wahyu Widyaningrum
Thursday, June 2, 2011
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
Touching.. :')
ReplyDeleteAaaah.. kenapa saya ngga berhati semulia anak itu..
terkadang kita malu karena lupa bersyukur, karena itu syukuri yang kita miliki
ReplyDelete@ wanspeak:
ReplyDeleteBetul. Karena sekecil apapun yang kita miliki, ada orang lain yang tidak memiliki hal tersebut, padahal dia menginginkannya. Makasih sudah mampir :)
@ radhdindun:
Omongan Risma agak 'nampar', ya? Saya merasa tertampar, loh. Hehe. Makasih sudah mampir :)