Tradisi Unik Ketika Hakyoku Mendapat Akutagawa Prize Ke-163
Oleh Tono Haruka (Peraih Akutagawa Prize Ke-163)
Begitu Hakyoku
diumumkan masuk nominasi Akutagawa Prize, pihak penerbit berencana akan menggelar
semacam 'nubar' atau nunggu bareng pada hari pengumuman pemenang. Sesuai
namanya, pertemuan itu memang hanya berisi agenda menunggu panggilan masuk
terkait hasil akhir penghargaan. Manusia-manusia yang sibuk itu berkumpul dan
menunggu sampai ponsel saya berdering. Buku saya diterbitkan oleh penerbit Kawade
Shobo Shinsha, tetapi nubar ini meluas, tidak hanya terbatas bagi pihak
penerbit saja. Menurut saya itu adalah suatu tradisi yang absurd. Tentu baik
kalau saya menang, tapi kalau tidak menang, bukankah justru jadi canggung? Selain
itu, kalau saya tidak datang nubar, saya bisa memanfaatkan waktu itu untuk
menulis naskah saya. Kalau saya datang nubar, mustahil saya bisa menulis
naskah. Tidak sopan kalau saya justru menulis naskah ketika ada orang lain di
depan saya. Tidak mungkin saya melakukannya. Saya juga mempertimbangkan untuk
absen saja di gelaran nubar ini.
Saya
akhirnya hadir karena mendengar bahwa kue-kue telah dipersiapkan. Kue lemonnya
sangat lezat--saya diberitahu kedai kue mana yang membuat, tetapi saya lupa. Karena
menunggu panggilan masuk tanpa melakukan apa pun justru menambah rasa canggung,
saya mengusulkan agar menonton Ju-On di Netflix bersama-sama. Sudah lama saya
ingin menontonnya, setelah seorang penulis sci-fi mencuit di twitter bahwa film
itu menarik. Selain itu, saya paham bahwa tingkat adrenalin yang lebih tinggi
paling efektif untuk melenyapkan deg-degan.
Editor
buku saya pernah bercerita bahwa drama Korea berjudul It's Okay To Not Be Okay
sangat menarik, lalu saya menontonnya. Saya belum sampai pada taraf gila, masih
terhitung normal. Tapi kalau misal saya gila dan itu ternyata tidak masalah,
saya merasa tenang. Sebagaimana saya yang memutuskan menonton suatu drama atau
tidak dari judulnya, apakah orang lain juga memutuskan membaca suatu novel atau
tidak dari judulnya? Saya tersadar kembali akan pentingnya suatu judul,
meskipun sampai saat ini saya terus berhati-hati dalam menentukan judul.
**
Pihak
Komite Promosi Sastra Jepang menelepon saya dengan nada suara seperti sedang
menginformasikan sesuatu yang buruk, dan itu membuat saya berasumsi bahwa saya
kalah. Memang sejak awal saya merasa bahwa saya tidak favorit dan yang akan
menang adalah Takayama Hanako, jadi saya tidak terkejut. Namun setelah saya
dengar penjelasannya, ternyata saya menang. Apa nada suaramu bisa sedikit
lebih ceria, pikir saya. Tetapi kalaupun saya kalah, menurut saya tetap
lebih baik kalau ia berbicara dengan nada yang ceria.
Saya
menaiki taksi. Di dalam taksi saya menerima satu wawancara via telepon. Ada
konferensi pers setelah pemberitahuan pemenang yang diselenggarakan di sebuah
hotal--saya lupa hotel apa--. Pada acara tersebut saya harus menjawab berbagai
pertanyaan. Saya sebetulnya tidak punya apa pun untuk disampaikan saat itu;
juga sebelumnya, dan mungkin setelahnya. Namun konferensi pers lebih mirip
seperti suatu kewajiban bagi seorang penerima penghargaan. Para wartawan pun
seolah bukan bertanya karena ingin mengajukan pertanyaan, tetapi harus bertanya
karena memang itulah pekerjaan mereka.
Ada
pertanyaan, apakah saya sudah memberi tahu keluarga tentang penghargaan ini,
lalu saya jawab bahwa saya belum melakukannya. Kemudian entah mengapa
meledaklah tawa-tawa. Saya bahkan tidak terpikir untuk menceritakannya kepada
keluarga. Apakah normalnya adalah memberi tahu? Apakah mereka tertawa karena
saya tidak normal? Kalau benar begitu, menurut saya hal itu kurang sopan. Atau
apakah mereka berpikir bahwa saya sedang bergurau lalu mereka terpaksa tertawa? Kalau
benar begitu, menurut saya mereka sungguh baik hati. Sampai sekarang pun saya
tidak berpikir bahwa saya perlu memberi tahu keluarga saya. Kalaupun mereka tertarik,
mereka akan menonton televisi atau video lucu, dan setelah itu, mereka akan
segera tahu.
**
Diterjemahkan dari sini