Beberapa bulan terakhir, lini masa twitter saya dipenuhi
nama @IvanLanin, seorang pegiat bahasa Indonesia. Saya sudah mengikuti
cuitannya sejak beberapa tahun lalu, tapi saya pikir sekarang adalah masa-masa
puncaknya Uda Ivan ini. Dari hasil kepo, saya rasa ini karena tingkat keaktifan
Uda Ivan sendiri di twitter yang juga meningkat. Sekarang, semua pertanyaan
dijawab sampai tuntas, dan hampir seluruh komentar di-RT oleh Uda.
Keaktifan dan kebaikan Uda Ivan ini rupanya berpengaruh
positif—atau bisa jadi negatif—, yaitu dengan mulai banyaknya polisi-polisi bahasa
Indonesia yang muncul. Kalau ada akun berita, akun resmi pemerintah, atau
selebtwit yang salah berbahasa Indonesia, polisi-polisi ini ramai-ramai
membetulkan serta me’lapor’ pada Uda Ivan. Di taraf ‘ramai-ramai’ dan ‘sedikit-sedikit
lapor’ ini, polisi bahasa menurut saya bisa jadi menjengkelkan dan dipandang
negatif oleh warganet.
Yang terbaru, tentu saja tentang penulisan Iduladha. Ini
yang benar dan sesuai dengan Kamus Besar Bahasa Indonesia. Sayangnya, sudah
terlalu lama kita disuguhi oleh media mengenai Idul Adha sehingga kita pun ikut
latah mengekor dengan mengucapkan Selamat Hari Raya Idul Adha.
Menurut Uda Ivan, ada dua kesalahan ucapan yang telanjur
melegenda tersebut. Satu, yang benar adalah Iduladha. Saya sendiri kurang paham
apakah lema ini memang baru ada pada KBBI edisi V sehingga baru ramai dibahas
akhir-akhir ini; atau sudah ada sejak KBBI edisi sebelumnya, tetapi karena
kemalasan kita (termasuk saya) membaca KBBI sehingga hal tersebut luput dari
pengamatan. Dua, ucapan tersebut terlalu berlebihan. Frase Hari Raya dapat
dibuang, sebab Iduladha sendiri sudah mengandung arti hari raya. Tahun depan,
silakan mengucapkan Selamat Idulfitri dan Selamat Iduladha.
Kehadiran Uda Ivan di jagad twitter patut diapresiasi, sebab
membantu penggunaan bahasa Indonesia menjadi lebih baik. Apalagi tak sedikit di
antara pengikut akunnya adalah generasi muda. Generasi ini, bisa jadi sejak
lahir sudah jago bahasa Inggris (wow), bacaan sehari-hari pun berbahasa
Inggris, sehingga lebih mudah meniru kata-kata bahasa Inggris daripada mencari
padanannya dalam bahasa Indonesia.
Sayangnya, ada juga generasi yang banyak terpapar bahasa
Inggris tetapi barangkali tak punya waktu untuk main twitter, apalagi baca
cuitan Uda Ivan. Atau bisa jadi ada waktu untuk main twitter tapi luput
mengikuti akun Uda Ivan.
Contohnya, pejabat.
Lah sekelas Pak SBY, yang pernah diganjar penghargaan Tokoh
Berbahasa Indonesia Terbaik saja, ketika pidato atau wawancara saat menjadi atau
setelah menjadi presiden, toh terselip juga kata-kata asing yang sebenarnya
sudah memiliki padanan bahasa Indonesia.
Hiks.
Sepekan lalu, dalam sebuah rapat, saya hampir misuh-misuh (atau barangkali sudah, tapi
di dalam hati saja). Penyebabnya sederhana: satu orang pejabat yang sejak tadi
berbicara menggunakan terlalu banyak istilah asing yang sebenarnya sudah ada
padanannya dalam hahasa Indonesia. Sejak awal rapat, satu kata yang diucapkan
sebanyak 67 kali adalah ‘tagging’,
dengan pengucapan tejing. Lha ya mbok bilang ‘penandaan’ saja kan sudah.
Sudahlah pakai bahasa Inggris, pengucapannya salah pula.
Tak lama berselang dari keluarnya kata tejing, ibu pejabat
kemudian menyampaikan, “beberapa indicator
menjadi tidak tepat penetapannya.” Indicator
dilafalkan sebagaimana \ˈin-də-ˌkā-tər\. Barangkali beliau lupa bahwa ada kata indikator dalam
Bahasa Indonesia.
Sepuluh menit berselang, beliau mengungkapkan, “kalau
dibiarkan, hal ini akan menjadi sebuah matter.”
Ya Tuhan.
Lanjut beliau, “agar tak meluas, kita perlu meminimisir
risiko.”
Oh saya ingin salto saja di ruang rapat.
Beliau lalu menutup, “nah dulu bagaimana ceritanya dengan
kasus Pi Ai Pi?”
Sampai di sini, saya dan kawan-kawan benar-benar memutar
otak, hal apa yang kira-kira ingin disampaikan oleh si ibu. Beberapa detik
kemudian, kawan saya tertawa, dan menyampaikan bahwa yang dimaksud si ibu
adalah suatu lembaga bernama Pusat Investasi Pemerintah, yang biasa disingkat
PIP. Pe I Pe.
Kami semua lantas ingin memberi
hadiah satu jilid KBBI kepada Sang Ibu Pejabat.
**
Barangkali, tagging, indicator, matter, minimisir, dan Pi Ai Pi yang
meluncur dari ibu pejabat saat itu dapat lebih sedikit dimaklumi, mengingat itu
terjadi dalam suatu rapat. Bukankah kadang di otak ada kosakata tertentu yang
tertimbun, sementara yang dengan mudahnya meluncur adalah yang ada di
permukaan?
Lain halnya dengan bahasa tulisan. Naskah
dinas, misalnya. Sebab dibaca dan dikoreksi berulang kali oleh beberapa orang
sesuai dengan tingkatan jabatannya, secara teori seharusnya lebih sedikit
kesalahannya.
Sayangnya, faktanya tak begitu.
Saat saya iseng menumpang duduk di
kursi salah satu rekan kerja, di atas mejanya ada tiga lembar naskah dinas yang
sudah dibubuhi paraf oleh atasannya. Mata saya bergerak cepat membaca isi nota
dinas tersebut, dan segera saja dapat melihat satu kata yang dicetak miring
pada baris kesepuluh. Trend.
Lanjut lagi.
Prudent.
Exercise.
Scrutinize.
Oh.
**
Saya, sebagai umat pengikut junjungan
Uda Ivan Lanin, agak sebal kalau melihat kata-kata asing yang bertebaran,
terutama dalam naskah dinas. Saya ingin sujud syukur saat beberapa waktu lalu
melihat bahwa hardcopy dan softcopy dapat digantikan oleh salinan
cetak dan salinan lunak.
Pun demikian, saya masih kesulitan
mengucapkan sesuai pelafalan Bahasa Indonesia untuk dua kata ini: unit dan
klien.
Barangkali karena yunit sebagaimana
\ˈyü-nət\ dan klaeien sebagaimana \ˈklī-ənt\ terdengar lebih intelek.
Dan di akhir tulisan ini,
sayangnya, saya pun tak ayal berubah juga menjadi polisi bahasa.
Polisi bahasa, henshin!!!!!
Ditulis 2 September 2017
0 comments:
Post a Comment