Beberapa
waktu lalu, seorang wanita di Jepang menyita perhatian masyarakat. Media-media
besar Jepang seperti Mainichi Shimbun, Yomiuri Shimbun, Asahi Shimbun, dan NHK
tak mau ketinggalan menaikkan berita tentang Yuuka Ogata, nama wanita tersebut.
Perkaranya adalah, Yuuka yang merupakan anggota dewan kota Kumamoto, Perfektur Kumamoto,
Jepang, tersebut hadir di ruang rapat dewan kota sembari menggendong bayinya
yang baru berusia tujuh bulan. Aktivitas yang dianggap tak lazim tersebut
diprotes dan dikritik oleh anggota dewan lain, yang kemudian berujung dengan
‘mengalahnya’ Yuuka. Ia akhirnya menitipkan bayinya pada kawannya di luar ruang
rapat. Rapat lantas dimulai, molor 40 menit dari jadwal semula.
Motivasi
Yuuka membawa bayinya sederhana saja. Ia ingin membuka mata masyarakat bahwa
mengasuh anak dan bekerja adalah dua hal yang tidak mudah. Ia pun ingin
menyuarakan perasaan para ibu bekerja yang tiap pagi bergulat dengan suara hatinya
sebelum pergi bekerja dan meninggalkan anaknya bersama pengasuh atau di tempat
penitipan.
Kalau zaman sekarang sebutan wonder woman langsung diidentikkan
dengan Gal Gadot yang ayu, seksi, dan kuat,
barangkali kita perlu diingatkan lagi dengan wonder woman yang—meskipun mungkin tidak seayu dan seseksi Gal
Gadot tadi, tapi kekuatan dan kehebatannya bisa-bisa memindahkan sebuah gunung.
Wonder woman inilah yang semoga tidak
pernah dilupakan: istri di rumah. Atau jika hal terdekat lain dalam hidup
adalah kantor, maka silakan tengok ibu-ibu di kubikel atau ruangan sebelah; yang
sudah memiliki anak, apalagi. Merekalah sewonder-wondernya
woman.
Menjaga
Emosi, Jurus yang Jelas Dikuasai Ibu-Ibu Kubikel Sebelah
Jika
suatu hari ada seorang ibu yang ditinggal mudik ART-nya kemudian membawa
anaknya ke kantor, lantas ternyata rekan-rekan kerjanya tidak menerima hal
tersebut dan malah justru memprotes tindakan si ibu, apa yang harus ia
pertahankan?
Emosinya.
Dalam
kondisi demikian, melawan atau memberikan penjelasan dengan emosi meletup-letup
barangkali bukan tindakan yang elegan, mengaburkan permasalahan dan poin
diskusi, serta justru menghilangkan simpati dari pihak luar.
Disadari
atau tidak, wanita merupakan kelompok nondominan dalam lingkungan komunitas
kantor; sementara laki-laki adalah kelompok dominan. Wanita sebagai kelompok
nondominan ini seringkali dianggap tidak ada: tidak dipandang atau didengar
sebagaimana laki-laki. Laura Liswood, penasehat senior Goldman Sachs, pernah
mewawancarai Margaret Thatcher. Dalam wawancara tersebut Thatcher bercerita ia
pernah berguru pada seorang pelatih bicara untuk belajar berbicara seperti
laki-laki, mulai dari gaya bicara hingga intonasi. Hal tersebut ia lakukan agar
suaranya didengar, terutama oleh laki-laki. Laura Liswood juga berpendapat
bahwa kelompok nondominan hanya memiliki dua pilihan: berubah—seperti yang
Thatcher lakukan—atau gagal, tumbang oleh kuatnya pengaruh kelompok dominan.
Dalam
konteks pekerjaan, berubah dapat berarti banyak hal: menyesuaikan ritme kerja
dengan kelompok dominan—dalam hal ini laki-laki, melakukan suatu terobosan agar
keberadaannya diakui, atau mengubah jenis (tone)
suara agar suaranya didengar.
Keputusan
bagi seseorang untuk melakukan perubahan tersebut tentu berdampak pada
emosinya. Ia harus menyiapkan diri untuk berubah, serta dalam perjalanan
perubahan tersebut tidak menutup kemungkinan ia tak mampu mengejar
lingkungannya sehingga harus ada cadangan emosi yang lebih besar lagi yang
harus dipersiapkan.
Rasanya
bukan rahasia jika wanita perlu mengeluarkan sedikitnya 13.000 kata dalam sehari.
Masalahnya adalah, untuk dapat ‘melalui rintangan’ dari kelompok dominan, salah
satu metode paling ampuh adalah dengan mendengar. Mendengar merupakan salah
satu strategi yang dipakai demi didengar dan dipahami.
Rick
Brinkman dan Rick Kirschner, tandem dalam dunia praktisi naturopati, pembicara
profesional, dan trainer handal,
dalam bukunya Dealing with People You
Can’t Stand, menekankan bahwa mendengar ini bukan sembarang mendengar. Ada
ego pribadi yang harus disingkirkan untuk sementara dan ada komentar tak
penting yang harus ditahan agar tak keluar untuk beberapa waktu. Trik sederhana
yang dapat diterapkan adalah dengan mendengar secara aktif, yang memiliki dua
tujuan, yaitu tujuan emosional—orang lain merasa bahwa kita memahami bagaimana
perasaan mereka—, serta tujuan intelektual—orang lain percaya bahwa kita
memahami apa yang mereka sampaikan.
Mari
kita enyahkan terlebih dahulu fakta mengenai berapa kata yang mustinya
dikeluarkan dalam satu hari, baik oleh laki-laki maupun perempuan. Proses
mendengar aktif saja, bagi kedua pihak, sudah merupakan suatu tantangan
tersendiri. Ini sebab hal tersebut tidak semudah apa yang dibayangkan. Ada
empati di sana. Ada gestur tubuh. Raut wajah. Volume suara. Pemilihan komentar.
Pun konfirmasi cerita, agar tidak salah menilai apa poin yang menjadi fokus
lawan bicara. Ini tentu tak mudah.
Bagi
ibu bekerja, tantangan ini menjadi berlipat. Bukan hanya di kantor, ia pun
diharapkan dapat melakukan proses mendengar aktif di rumah bersama keluarganya.
Padahal di saat yang sama, ada 13.000 kata yang menanti untuk dikeluarkan agar
ia tetap terjaga emosinya.
Menomorsatukan
Kesehatan
Bagi
tiap orang, wajib hukumnya menjaga kesehatann tubuhnya. Tak terkecuali ibu
bekerja. Dengan logika sederhana, dapat dipahami bahwa ibu bekerja memiliki
tanggung jawab lebih. Ada kepala-kepala yang juga harus ia pastikan
kesehatannya melalui beragam cara, misalnya memastikan asupan gizi dan
kebutuhan kalori cukup serta menjaga pola makan keluarga.
Namun
tak jarang seorang ibu lebih mengutamakan keluarganya dibandingkan dirinya
sendiri.
Sebuah
penelitian oleh Klinik Marunouchi, Jepang, baru-baru ini menunjukkan bahwa
wanita-bekerja makan lebih sedikit daripada kebutuhan kalori hariannya. Asupan
harian ada di kisaran angka 1.479 kilokalori, jauh dari kebutuhan harian
sebesar 2.000 kilokalori. Angka 1.479 kilokalori tersebut bahkan lebih rendah
dari asupan kalori per hari pada masa setelah Jepang kalah dalam Perang Dunia
II.
Penyebab
rendahnya asupan tersebut adalah lantaran tingginya kesibukan di kantor. Rapat
seringkali berlangsung hingga memotong waktu makan siang, sementara pegawai
harus kembali di mejanya tepat waktu setelah jam istirahat. Roti atau biskuit
menjadi pilihan yang dirasa tepat untuk mengisi perut. Bahkan pada situasi
lain, seseorang terlalu tenggelam dalam pekerjaannya dan baru menyadari sore
telah membayang. Sementara saat pagi, orang lebih suka menambah waktu tidur
sehingga tak punya cukup waktu untuk sarapan.
Kondisi
tersebut menimbulkan kekhawatiran terhadap masa depan bayi dan anak-anak di
Jepang. Hasil penelitian OECD di bidang kesehatan menunjukkan bahwa pada tahun
2011, 10% bayi yang lahir di Jepang memiliki berat badan di bawah 2,5 kilogram.
Ditengarai, salah satu penyebabnya adalah kurangnya asupan harian para ibu
bekerja.
Potret
di Jepang tersebut bukan tidak mungkin dapat juga terjadi di Indonesia. Beban kerja yang cukup tinggi dengan tenggat
waktu yang ketat dan ritme yang cepat tentu dapat membuat seseorang tak
menyadari bahwa belum ada apapun yang masuk ke perutnya hingga jam pulang
menjelang. Maka bagi ibu bekerja, selain kesehatan keluarga, tak bolehlah ia lalai
terhadap kesehatannya sendiri.
Keputusan
yang diambil oleh para ibu bekerja tentunya sudah bukan pada level untuk
dipertanyakan kembali. Dengan mengambil pilihan tersebut, ibu bekerja telah
menyadari tiap konsekuensi yang akan muncul. Tugas kita sebagai orang-orang
yang ada di sekelilingnyalah untuk mendukung mereka agar dapat melangkah dengan
selaras sebagai pekerja dan ibu yang telah memiliki anak serta menjalankan
peran dengan sebaik-baiknya.
Referensi:
Brinkman, Rick, dan Rick Kirschner. 2002. Dealing with People You Can’t Stand: How to
Bring Out the Best in People at Their Worst. McGraw-Hill.
Liswood, Laura.
2009. The Loudest Duck: Moving Beyond
Diversity While Embracing Differences to Achieve Success at Work. Wiley.
https://www3.nhk.or.jp/news/html/20171211/k10011254281000.html
Gambar dari pexels.com