Gaiking, Voltus 5, God Sigma, Gordian, Golion, Daidenjin, Godmars ….
Chogokin. Begitulah nama yang diberikan pada robot mainan ini.
Tubuhnya memiliki 10 kepala. Di kepalanya ada tanduk yang bisa
digunakan sebagai senjata, sedangkan tangan dan kakinya disatukan masing-masing
dengan engsel. Jika engselnya dilepas, bagian-bagiannya bisa dibengkokkan atau dilipat dan menjadi
mobil, senjata, atau pesawat. Robot kombinasi.
Agar mencolok, robot ini
diwarnai merah, biru, kuning, atau perak. Bobotnya cukup berat. Yang besar berukuran 30 cm,
jika dikecilkan menjadi 10 cm.
Robot-robot ini berjejer di rak berpintu kaca, berdempet-dempetan
seperti foto album kelulusan sekolah. Raknya bertingkat lima, tiap rak dipenuhi
oleh robot.
Ini bukan kamar mainan. Bukan juga museum. Hanya kamar seorang
pemuda.
Pemilik kamar ini bernama Mitsuru Kobayashi, 26 tahun.
Pekerjaan Mitsuru tidak ada hubungannya dengan mainan. Ia hanya seorang
pekerja kantoran di sebuah perusahaan konsultan yang berfokus pada komunikasi publik pemerintah. Tubuhnya
setinggi 180 cm, badannya besar, tetapi wajahnya kekanak-kanakan.
Ia sekarang sedang duduk di ranjang, sedang membongkar robot Goggle.
“Kalau kakinya dipasang begini jadinya truk tronton, badan bagian tengahnya
dipisah jadi depan dan belakang.” Mitsuru menjelaskan pada saya sambil melepas
dan melipat bagian-bagian robot mainannya dengan lihai. “Lihat, bagian depan jadi
pesawat jet, lalu yang belakang jadi mobil, kan?”
Kamar berukuran 4,5 tatami ini hanya disesaki oleh ranjang dan rak. Di ujung ranjang bagian
kepala pun terdapat rak. Setiap hari, Mitsuru hidup dengan merawat robot-robotnya.
Di ujung ranjang bagian kaki, diletakkan robot yang terbuat dari plastik, berukuran tinggi 80 cm.
“Kalau ini Combattler 5. Dibelikan waktu TK. Kalau dibeginikan ….” Mitsuru
melipat ujung kaki robot ke depan, mengambil roda dari bagian dada, dan
menelungkupkan robotnya, “bagian atasnya jadi bisa dinaiki. Saya pernah bermain-main
dengan naik ini.”
Meskipun 20 tahun lebih
telah berlalu, mainan yang dimiliki saat TK tetap dirawat dengan baik.
Saya bertanya-tanya mengapa Mitsuru bisa sampai tergila-gila begini
pada robot.
Ketika Mitsuru baru masuk kelas 1 SD, ibunya berkata, “kita akan
pergi ke rumah kakek di Yokohama.” Berdua bersama ibunya, Mitsuru keluar dari
rumah.
Hari Minggu sore, ayahnya tidak ada di rumah. ‘Pasti tidak lama lagi
pulang’, pikir
Mitsuru. Sedikitpun tidak terlintas bahwa, “setelah itu, kami terus hidup terpisah dari ayah,” kata Mitsuru.
Ternyata kedua orangtuanya bercerai.
Mitsuru tidak pernah sekalipun bertanya kepada ibunya, “mengapa kita
tidak kembali ke rumah di Tokyo?” atau “mengapa Ayah tidak datang ke sini?”
“Mungkin orangtua memang tidak bisa mengatakan
alasannya, tapi toh anak-anak juga akhirnya tahu.” kata Mitsuru.
Ibunya mengelola sebuah butik, ia bekerja sampai larut malam. Yang
merawat Mitsuru adalah neneknya.
Jika hari Minggu tiba, Mitsuru pergi diajak ibunya ke kawasan pertokoan bernama
Isezakicho. Mereka masuk ke pusat perbelanjaan dan melihat-lihat pakaian.
Kemudian turun ke lantai bawah tanah, membeli bahan makanan. Setelah itu pergi
ke toko mainan. Pada akhirnya, itu menjadi rute tetap mereka.
Di toko mainan, Mitsuru selalu langsung menuju ke lokasi yang sama.
Yang diinginkannya bukanlah sarung tangan baseball, bukan bola sepak, bukan
mainan plastik rakitan, bukan permainan perangkat lunak; tapi robot. Tiap pekan ia dibelikan robot.
Ibunya tidak pernah berkata, “Beli robot lagi?” atau “bagaimana kalau beli yang lain?”.
Robot sering muncul di program kartun di televisi. Bukan sebagai pemeran utama, robot adalah benda yang menjadi
pemeran pendukung bahkan kendaraan. Meskipun tiap pekan Mitsuru membeli robot,
robot-robot baru tetap saja berjejer silih berganti di etalase toko.
Bagi ibunya, mungkin ada perasaan bersalah karena tidak bisa
mendampingi Mitsuru seperti biasa; tetapi bagi Mitsuru, mungkin itu dilakukan
untuk mengisi kekosongan karena tak adanya sosok ayah.
“Di antara semua mainan, robot yang paing mirip dengan manusia,
kan?” kata Mitsuru, “ maka dari itu, robot mudah dibuatkan cerita. Mana yang paling kuat, atau mana yang paling baik. Dia menggambarkan manusia. Saya sering bermain dengan menggunakan
karakter robot yang berbeda-beda.”
***
Ketika kelas 6 SD, Mitsuru diajak ibunya pergi ke swalayan di depan pintu barat
stasiun Yokohama. Ada ayahnya berdiri di sana. Mereka bertemu kembali setelah
lima tahun.
Ibunya bilang bahwa ia ada urusan sehingga harus pergi, meninggalkan Mitsuru dan ayahnya
berdua saja. Suasananya segera berubah menjadi seperti dahulu.
“Kalau ada benda yang kamu inginkan, bilang saja.” Kata ayahnya.
“Mainan.” Jawab Mitsuru.
Mereka pergi ke tempat penjualan mainan di swalayan. Mitsuru mencari robot Goggle,
setelah ketemu ia menyerahknnya pada ayahnya.
Mitsuru ingin berkata, ‘di rumah ada banyak sekali robot seperti
ini. Ayo
lihat ke rumah’, tetapi sebelum ia mengungkapkannya, ayahnya berbisik, “kamu
suka benda-benda
seperti ini?” Ekspresinya terdengar sedikit kecewa. Mitsuru menjadi sedih.
Bahkan setelah berusia 26 tahun pun Mitsuru masih ingat ekspresi wajah
ayahnya saat itu.
***
Mitsuru dan ibunya tinggal di lantai 4 sebuah rumah susun. Kakek dan
neneknya tinggal tepat di bawah rumahnya, di lantai 3.
Selesai sekolah, Mitsuru pulang ke rumah
kakek-neneknya. Ia akan terus bersama neneknya sampai
ibunya pulang.
Jika ibunya pulang, ibunya datang memanggilnya, lalu mereka berdua bersama-sama
kembali ke lantai 4.
Suatu hari, terdengar suara dari lantai atas, tetapi ibunya tidak
datang memanggilnya.
“Sepertinya Ibu sudah pulang,” kata Mitsuru pada neneknya.
“Kalau ibumu pulang, ia akan datang menjemput. Tunggu saja dulu,”
sahut neneknya.
“Aku mau pulang,” kata Mitsuru. Ia berlari keluar, tetapi neneknya
menghentikannya.
“Coba kita telepon dulu, ya.” Setelah berkata demikian, neneknya
menelepon rumah Mitsuru. Ibunya lalu datang menjemput. Mitsuru bersama ibunya pulang ke rumah mereka; dan sudah ada
seorang pria di sana. Kekasih ibunya.
Setelah peristiwa itu, jika malam tiba, Mitsuru sering membuka
jendela rumah neneknya dan melihat ke lantai atas: jendela
di posisi yang sama di lantai atas juga terbuka. Ia tahu
ibunya sudah pulang dari cahaya yang keluar melalui jendela tersebut.
Malam-malam, Mitsuru yang masih SD berkali-kali melongokkan lebih dari
separuh badannya
melalui jendela untuk melihat ke atas. Neneknya melihatnya.
“Ini rumahmu. Yang di atas itu milik ibumu!” Neneknya marah.
“Tidak, rumahku yang di lantai empat,” pikirnya.
Pada masa itu, ibunya berkencan dengan banyak laki-laki. Ketika
Mitsuru kelas 6 SD, ibunya tinggal bersama Mikio Muta (nama samaran), usianya 50 tahun. Mikio yang seorang asisten
di kota T sudah memiliki istri dan anak. Kadang-kadang bahkan istrinya
menelepon. Mikio membenci Mitsuru. Kalau Mitsuru sedang melihat televisi, Mikio membentaknya. “Berisik!”. Kalau Mitsuru menyetel pendingin ruangan terlalu dingin, Mikio memarahinya.
Suatu ketika, Mitsuru pergi untuk mengambil surat yang ditujukan
untuk dirinya. Di kotak pos, selain surat, ada juga koran. Mitsuru berpikir ia lebih baik tidak
mengambil yang bukan untuknya, jadi
akhirnya ia hanya mengambil suratnya dan membawanya kembali
ke ruangan. Tiba-tiba Mikio
menanyainya, “mana korannya?”
“Ada di kotak pos ….” Mitsuru menjawab lirih.
“Kenapa korannya tidak diambil? Benar-benar anak yang tidak tanggap!” Mikio marah.
Bagi Mitsuru, Mikio adalah sosok yang menyeramkan.
Tengah malam, tiba-tiba Mikio membentak ibu Mitsuru. Ketika Mitsuru keluar, ia tercengang melihat
ibunya membawa barang-barang. Mikio membentak ibunya dengan suara keras, sehingga Mitsuru berkata, “HENTIKAN!”
Mendengar itu, Mikio menatapnya tajam, “Apa kau?”
“Karena Anda pejabat, harga diri Anda juga tinggi kan?” kata
Mitsuru.
Saat kelas 1 SMP, Mitsuru
dan ibunya meninggalkan rumah susun, lantas tinggal di sebuah rumah. Ketika mereka akan pindah, Mikio datang dan marah,
“ini tidak sesuai dengan pembicaraan kita … “. Sebelumnya, Mikio berencana menitipkan
Mitsuru pada kakek-neneknya, lalu menyewa rumah dan tinggal berdua dengan ibu
Mitsuru.
Pada plat nama di depan rumah, tertulis
nama Mikio
dan ibu Mitsuru.
Bagi Mitsuru saat itu, hal
yang paling menyebalkan adalah ketika
teman-temannya yang datang bermain ke rumahnya bertanya mengenai plat nama itu.
***
Kelas 1 SMA, Mitsuru yang ingin bertemu dengan ayahnya mengintip
buku agenda kecil milik ibunya dan mencari alamat kantor serta nomor telepon
ayahnya. Ayahnya bekerja di sebuah perusahaan kecil yang menjual pernak-pernik
secara eceran ke swalayan.
Mitsuru bolos sekolah dan pergi ke Tokyo. Di tengah hari yang dingin di musim salju, Mitsuru
pergi ke alamat kantor ayahnya. Tetapi ternyata kantor itu tidak ada lagi karena sudah pindah lokasi. Ia mengumpulkan nyali dan menelepon ayahnya.
Telepon tersambung. Tapi ayahnya sedang pergi, tidak ada di kantor.
“Ini Mitsuru, ya?”
Mitsuru ingat suara di
seberang telepon. Rupanya teman kantor ayahnya yang dulu sering mampir ke
rumah.
“Iya,” jawab Mitsuru.
“Ada urusan mendadak?”
“Ah, tidak.”
“Kalau begitu, nanti saya sampaikan kalau ada telepon darimu ya.
Nanti telepon lagi saja.”
‘Padahal aku ingin dengar suara Ayah ….” Mitsuru kecewa. Ia bersandar pada dinding dan jatuh terduduk. Di bawah sinar matahari musim
dingin, ia memeluk lutut dan sejenak tak bisa bergerak.
***
Ketika Mitsuru lulus ujian masuk universitas, ibunya bahagia sekali.
“Ibu beri hadiah. Mau apa?” tanya ibunya.
Sejak dahulu Mitsuru menjawab bahwa ia ingin robot, karena barang
selain robot tidak akan membuatnya puas. Tapi ia mengajukan permohonan lain kepada ibunya.
“Aku ingin Ayah datang di hari penyambutan universitas.”
Pada hari penyambutan
universitas, mereka bertiga bertemu di stasiun Shibuya. Mitsuru terakhir kali bertemu ayahnya
saat kelas 6
SD, jadi ini adalah pertemuan setelah tujuh tahun terpisah.
“Kamu sudah besar, ya.” Kata ayahnya.
“Terima kasih.” Mitsuru menjawab sambil tersenyum.
Mereka bertiga kemudian pergi ke acara penyambutan universitas, lalu makan, lalu
berpisah. Tidak banyak percakapan yang terjadi, tetapi seharian itu Mitsuru
merasa ada kehangatan di dadanya.
Kesan Mitsuru pada ayahnya saat itu adalah: ‘ternyata tubuh Ayah
kecil’. Badan Mitsuru sendiri makin membesar. Tingginya 180 cm.
Ayahnya juga memiliki kesan pada Mitsuru. ”Ayah terkejut kamu
sebesar ini. Lalu, apa ya, tampaknya kamu laki-laki yang baik, jadi ayah merasa
tenang. Hahaha ….” Kata ayahnya yang disusul dengan tawa. Rupanya ia tersipu
karena memuji anaknya, “sejak berpisah waktu kamu SD, ayah selalu berpikir kita
tak bisa bertemu lagi. Lalu ketika kamu bilang ingin ayah datang ke penyambutan
universitas, ayah berpikir, ‘Wah, Mitsuru ingin bertemu denganku, aku boleh
pergi ke penyambutan universitas.’ Beban di dada ayah rasanya sudah terlepas.”
***
Setelah itu, ayah dan anak itu bersua empat mata.
“Aku mempertimbangkan banyak hal untuk bertemu Ayah,” kata Mitsuru,
“aku berpikir aku menyimpan dendam pada Ayah. Awalnya aku bilang; tidak, aku
tidak dendam. Lalu setelah kita bercakap tentang banyak hal dan pikiranku lebih terbuka, ayah memasukkan tiket
kereta kemudian memperlihatkan foto istri dan
anaknya dengan wajah gembira.”
Ayahnya berkata begini, “Waktu kita bertemu dan bisa mengobrol
dengan santai, pertama-tama ayah bilang, ‘maaf, ayah telah membuatmu menderita.’
Lantas pertemuan ayah-anak itu dimulai.
“Sebenarnya ada hal yang bagaimanapun ingin sekali kukatakan,” kata
Mitsuru, “SD, SMP, SMA, aku ingin sekali bertemu Ayah. Kupikir mungkin saja
Ayah juga ingin bertemu denganku, tetapi … bagaimana sebenarnya?”
Ayahnya menjawab.
“Ayah mengatakan yang sejujurnya. Ayah tidak ada pikiran ingin
bertemu denganmu.”
Ada perbedaan antara perasaan anak dan ayah ini. namun itu merupakan
hal yang tak bisa terhindarkan. Ayahnya memiliki istri, dengan istrinya yang
ini mereka telah memiliki putri. Ada keluarga yang harus
diberi curahan kasih saying. Demi melindungi
keluarganya ini dan membiayai keperluan Mitsuru, ayahnya harus bekerja di
perusahaan. Jangankan untuk memikirkan bagamana perasaan Mitsuru kepadanya;
memikirkan Mitsuru saja ayahnya tak ada waktu.
Tetapi bagi Mitsuru, tetap saja jawaban itu menyedihkan.
Ayahnya mengetahui kesedihan Mitsuru. Ia
diajak berjalan-jalan dengan keluarga ayahnya yang sekarang. “Sebelumnya aku
sudah pernah bertemu dengan keluarga Ayah,” ungkap Mitsuru, “istri Ayah tahu
kalau aku
putra Ayah, tapi putri Ayah tidak tahu. Kalau disambungkan, dia jadi adikku kan. Ah, rasanya
agak absurd.”
Mitsuru, yang sejak SD hampir selama sepuluh tahun melalui waktunya dengan
kehampaan lalu tiba-tiba bertemu dengan ayahnya, ingin kembali menjadi anak SD
di depan ayahnya.
***
“Waktu saya TK, Ayah pergi berlibur ke luar negeri. Nah ini, ini oleh-oleh waktu itu,” Mitsuru berkata sambil menunjuk
gambar kecil yang terpajang di dinding. Lukisan suasana Venesia. Di bawahnya
ada senar yag menjulur; Mitsuru menarik senar itu, terdengar suara benda
beradu, lalu terdengar alunan nada dari kotak musik. Lagunya adalah Eden no Higashi.
Sebuah melodi yang memancarkan kesedihan mulai menggema. Di kamar
berukuran 4,5 tatami ini terdengar suara kotak musik yang kesepian.
Di tengah mengalunnya lagu, saya melihat dengan saksama wajah robot
satu per satu. Mata saya menyapu pelan seperti di film. Mulut yang berbentuk
seperti topeng berwarna perak, hidung yang kecil dan detil, mata berwarna
kuning yang bersinar, segitiga merah yang terpatri di dahi. Ekspresi tiap robot
yang dingin terlihat seperti sedang menanggung sesuatu.
“Apa arti robot bagimu?” tanya saya pada Mitsuru.
“Misalnya ini ….” Mitsuru memegang salah satu robot, “saya ingat ini
adalah robot yang dibelikan Ayah.
Dengan memegang ini
saya tidak bisa melupakan saat-saat itu. Semacam barang warisan: menatap masa depan tapi
tidak melupakan masa lalu. Kalau saya berkeluarga, saya bersumpah saya tidak akan pernah
meninggalkan anak saya sendiri.”
Yang sedang digenggam oleh Mitsuru adalah robot Goggle.
Itu adalah robot yang dibelikan oleh ayahnya saat ia kelas 6 SD,
ketika mereka kembali bertemu di pintu barat Stasiun Yokohama.
Diterjemahkan dari “ロボットのへや” karya Takashi Uehara dalam buku 喜びは悲しみのあとに, Gentosha Outlaw Bunko, 2004.