Seorang penulis sekaligus penyair sekaligus sastrawan
sekaligus budayawan—dan beberapa sekaligus lagi yang hampir tak terhingga—pernah
mengungkapkan suatu pernyataan dalam sebuah wawancara. Bahwa patah hati akan
membuat seseorang jadi produktif menulis. Pernyataan tersebut kemudian, oleh
wartawan dan disetujui oleh editor, dijadikan judul berita dan dimuat dalam
sebuah koran. Tentu bukan jadi judul utama berita di halaman muka karena bagian
itu sudah memiliki penghuni tetap—politikus brengsek, pejabat korup, pelaku
kriminal yang kisahnya dinantikan kelanjutannya oleh pembaca setia koran
tersebut. Tulisan hasil wawancara tersebut tersempil begitu saja di halaman
ketiga dari belakang, di bagian bawah.
Tadi pagi, saat membeli nasi pecel di ibu-ibu penjual nasi
banyak macam—ia tak hanya berdagang pecel—di ujung pertigaan jalan, ibu itu
mengambil selembar kertas koran yang ukurannya telah menjadi lebih kecil dari
ukuran kertas koran sebenarnya. Kertas koran yang kalau dibentangkan panjangnya
bisa mencapai 70 sentimeter itu dipotong-potong menjadi delapan bagian. Ibu
penjual nasi tentu saja tak hanya memotong selembar kertas koran. Mungkin
anaknya di rumah sudah memotongkan kertas koran sepuluh eksemplar, yang
kemudian ditumpuk dengan hasil potongan yang lalu-lalu sehingga sudah menjadi
setinggi dua bolpoin yang ditegakkan dan ditumpuk. Salah satu bagian dari
sekian eksemplar tersebut diambil oleh ibu penjual dan dilapisi daun pisang,
diisi nasi, sayur-mayur, serta bumbu pecel. Itu nasi pecel untuk saya. Saya
menambahkan dua potong tempe goreng dan satu telur dadar di atasnya sebelum ibu
penjual dengan cekatan melipat kertas lantas membungkusnya dan menyerahkannya
kepada saya.
Setelah menghabiskan pecel sembari menonton televisi, saya
beranjak ke tempat sampah dan membuang daun pisang yang mengalasi nasi pecel
saya tadi. Kertas korannya tetap saya pegang, lalu saya kembali ke depan
televisi. Teve saya matikan, koran bekas bungkus nasi pecel mulai saya baca.
Begitulah ungkapan penulis serbabisa itu lantas sampai di tangan saya.
Lantas saya sedikit merenung. Tak sedikit orang-orang di
sekitar saya yang mengalami patah hati. Beberapa di antaranya bahkan sampai
patah tulang, sebab mencoba lompat dari jendela kamar. Tapi tak ada yang
mengalahkan cerita satu kawan saya. sebenarnya tak terlalu nyambung juga dengan
wejangan si penulis, tetapi karena masih ada sedikit sangkut-pautnya, baiklah
saya ceritakan saja kisah kawan saya.
Kawan saya yang satu ini bebalnya keterlaluan. Sebenarnya ia
pandai saja, tetapi mengenai cinta, ia sungguh bebal.
Pernah suatu kali ia jatuh cinta pada orang yang sama selama
sepuluh tahun. Selama sepuluh tahun itu, tak sekalipun hatinya beranjak pada
orang lain yang bahkan ada di depan hidungnya. Kepala dan hatinya setiap hari
selalu disesaki orang yang merebut hatinya itu. Saking sesaknya, ia jadi
bersikap dingin pada orang-orang yang ingin mendekatinya. Senyumnya murah,
tetapi bisa mendadak mahal pada orang-orang itu. Hatinya baik, tetapi bisa
tiba-tiba buruk pada orang-orang itu.
“Kau tampak seperti orang jahat kalau terus begitu,” sekali
waktu pernah saya mengingatkannya demikian.
“Aku cuma tak ingin goyah. Juga tak ingin memberikan harapan
awal pada mereka.”
Saya lantas terdiam.
Kawan saya ini, hanya
pernah bertemu empat tahun dengan cintanya itu. Saya masih menganggap tak ada
yang aneh kalau ia jadi cuek pada orang lain selama empat tahun itu. Karena
kalau saya jadi dia, saya juga bisa jadi begitu. Selepas empat tahun itu,
mereka berpisah. Ada jarak sejauh sekitar 850 kilometer yang memisahkan.
Kawan saya, yang pemalu ini, tak pernah bertanya nomor
ponsel atau surel atau apapun pada pujaan hatinya itu—sejak awal mereka bertemu
sampai tak pernah bertemu. Dengan kata lain, pada enam tahun sisanya ia
mencintai orang yang tak pernah berkabar dengannya dan tak tahu ada di mana. Ia
tak pernah tahu bagaimana perubahan wajah orang yang entah kenapa selalu bisa
ia rindukan itu; mungkinkah keriput dengan cepat menghampirinya, apakah ia
orang yang suka menumbuhkan kumis dan jambang, atau apakah rahangnya makin
menegaskan bentuk wajahnya. Ia juga tak punya ide apakah 850 kilometer di
seberang sana, tambatan hatinya itu sudah memiliki kekasih atau belum.
“Kalau sudah, kau menghabiskan waktu memikirkan orang yang
tak memikirkanmu. Rugi.” Kata saya padanya.
“Kalau belum?” sahutnya. Sejak tadi matanya tak beralih dari
novel grafis kisah Dalai Lama—yang sebenarnya sudah ia khatamkan berjuta-juta
kali—dan tangannya tak henti memindahkan keripik kentang dari bungkus ke
mulutnya.
Saya mencari-cari jawaban. Atau mungkin ia tak pernah peduli
apakah cintanya di sana itu sudah memiliki kekasih atau belum.
Bagi saya, mencintai orang yang tak ada wujudnya di depan
kita dan tak pernah berkomunikasi adalah serupa mencabut pagar balkon dengan
tangan kosong: itu mustahil, dan saya bodoh kalau terus mencobanya. Itulah
bodohnya kawan saya ini, yang tetap saya sayangi apa adanya walaupun ia
keterlaluan bebalnya.
Suatu hari, saat hari masih dini dan matahari baru muncul
beberapa jam lagi, saya memperoleh kabar dari kawan jauh saya. Ada berita
tentang orang yang selalu dicintai oleh kawan saya selama sepuluh tahun tanpa
henti. Dua pekan sebelumnya ia tiba-tiba pingsan dan dilarikan ke rumah sakit.
Dokter bilang, ada suatu cairan yang harus diambil dari otaknya. Ia dioperasi.
Namun tak kunjung sadar.
Ketika hari mulai agak terang, saya berlari ke tempat kawan
saya. wajahnya pias mendengar kabar itu. Saya ajak ia duduk, dan saya
menyeduhkan teh untuknya. Kawan saya hanya diam saja, mulutnya rapat. Matanya
bergerak-gerak cepat. Kedua tangannya mencengkeram celana yang ia kenakan.
“Aku harus ke sana.” Katanya, tiba-tiba.
“Tiket pesawat. Pesankan.” Lanjutnya. Ia lalu berdiri,
berjalan menuju lemarinya. mengambil tas ransel, lalu menyambar beberapa helai
pakaian dari dalam lemari.
Ponsel saya berbunyi. Saat membaca pesan yang masuk, saya
segera tahu bahwa saya harus menyampaikannya pada kawan saya ini.
Kawan saya lunglai. Ia jatuh terduduk. Kedua tangannya
menutupi wajahnya, lalu saya dengar senggukan-senggukan kecil yang makin lama
makin membesar. Beberapa saat kemudian, bersamaan dengan tangannya yang terbuka
dan wajahnya yang terangkat, senggukan itu berubah menjadi raungan yang
kencang.
Kawan saya kehilangan
orang yang ia cintai selama sepuluh tahun. Hatinya, yang penuh sesak oleh sosok
itu, juga dibawa pergi orang tersebut.
240616
0 comments:
Post a Comment