Friday, June 24, 2016

Satu Kisah Patah Hati


Seorang penulis sekaligus penyair sekaligus sastrawan sekaligus budayawan—dan beberapa sekaligus lagi yang hampir tak terhingga—pernah mengungkapkan suatu pernyataan dalam sebuah wawancara. Bahwa patah hati akan membuat seseorang jadi produktif menulis. Pernyataan tersebut kemudian, oleh wartawan dan disetujui oleh editor, dijadikan judul berita dan dimuat dalam sebuah koran. Tentu bukan jadi judul utama berita di halaman muka karena bagian itu sudah memiliki penghuni tetap—politikus brengsek, pejabat korup, pelaku kriminal yang kisahnya dinantikan kelanjutannya oleh pembaca setia koran tersebut. Tulisan hasil wawancara tersebut tersempil begitu saja di halaman ketiga dari belakang, di bagian bawah.

Tadi pagi, saat membeli nasi pecel di ibu-ibu penjual nasi banyak macam—ia tak hanya berdagang pecel—di ujung pertigaan jalan, ibu itu mengambil selembar kertas koran yang ukurannya telah menjadi lebih kecil dari ukuran kertas koran sebenarnya. Kertas koran yang kalau dibentangkan panjangnya bisa mencapai 70 sentimeter itu dipotong-potong menjadi delapan bagian. Ibu penjual nasi tentu saja tak hanya memotong selembar kertas koran. Mungkin anaknya di rumah sudah memotongkan kertas koran sepuluh eksemplar, yang kemudian ditumpuk dengan hasil potongan yang lalu-lalu sehingga sudah menjadi setinggi dua bolpoin yang ditegakkan dan ditumpuk. Salah satu bagian dari sekian eksemplar tersebut diambil oleh ibu penjual dan dilapisi daun pisang, diisi nasi, sayur-mayur, serta bumbu pecel. Itu nasi pecel untuk saya. Saya menambahkan dua potong tempe goreng dan satu telur dadar di atasnya sebelum ibu penjual dengan cekatan melipat kertas lantas membungkusnya dan menyerahkannya kepada saya.

Setelah menghabiskan pecel sembari menonton televisi, saya beranjak ke tempat sampah dan membuang daun pisang yang mengalasi nasi pecel saya tadi. Kertas korannya tetap saya pegang, lalu saya kembali ke depan televisi. Teve saya matikan, koran bekas bungkus nasi pecel mulai saya baca. Begitulah ungkapan penulis serbabisa itu lantas sampai di tangan saya.

Lantas saya sedikit merenung. Tak sedikit orang-orang di sekitar saya yang mengalami patah hati. Beberapa di antaranya bahkan sampai patah tulang, sebab mencoba lompat dari jendela kamar. Tapi tak ada yang mengalahkan cerita satu kawan saya. sebenarnya tak terlalu nyambung juga dengan wejangan si penulis, tetapi karena masih ada sedikit sangkut-pautnya, baiklah saya ceritakan saja kisah kawan saya.

Kawan saya yang satu ini bebalnya keterlaluan. Sebenarnya ia pandai saja, tetapi mengenai cinta, ia sungguh bebal.

Pernah suatu kali ia jatuh cinta pada orang yang sama selama sepuluh tahun. Selama sepuluh tahun itu, tak sekalipun hatinya beranjak pada orang lain yang bahkan ada di depan hidungnya. Kepala dan hatinya setiap hari selalu disesaki orang yang merebut hatinya itu. Saking sesaknya, ia jadi bersikap dingin pada orang-orang yang ingin mendekatinya. Senyumnya murah, tetapi bisa mendadak mahal pada orang-orang itu. Hatinya baik, tetapi bisa tiba-tiba buruk pada orang-orang itu.

“Kau tampak seperti orang jahat kalau terus begitu,” sekali waktu pernah saya mengingatkannya demikian.

“Aku cuma tak ingin goyah. Juga tak ingin memberikan harapan awal pada mereka.”

Saya lantas terdiam.

Kawan saya ini,  hanya pernah bertemu empat tahun dengan cintanya itu. Saya masih menganggap tak ada yang aneh kalau ia jadi cuek pada orang lain selama empat tahun itu. Karena kalau saya jadi dia, saya juga bisa jadi begitu. Selepas empat tahun itu, mereka berpisah. Ada jarak sejauh sekitar 850 kilometer yang memisahkan.

Kawan saya, yang pemalu ini, tak pernah bertanya nomor ponsel atau surel atau apapun pada pujaan hatinya itu—sejak awal mereka bertemu sampai tak pernah bertemu. Dengan kata lain, pada enam tahun sisanya ia mencintai orang yang tak pernah berkabar dengannya dan tak tahu ada di mana. Ia tak pernah tahu bagaimana perubahan wajah orang yang entah kenapa selalu bisa ia rindukan itu; mungkinkah keriput dengan cepat menghampirinya, apakah ia orang yang suka menumbuhkan kumis dan jambang, atau apakah rahangnya makin menegaskan bentuk wajahnya. Ia juga tak punya ide apakah 850 kilometer di seberang sana, tambatan hatinya itu sudah memiliki kekasih atau belum.

“Kalau sudah, kau menghabiskan waktu memikirkan orang yang tak memikirkanmu. Rugi.” Kata saya padanya.

“Kalau belum?” sahutnya. Sejak tadi matanya tak beralih dari novel grafis kisah Dalai Lama—yang sebenarnya sudah ia khatamkan berjuta-juta kali—dan tangannya tak henti memindahkan keripik kentang dari bungkus ke mulutnya.

Saya mencari-cari jawaban. Atau mungkin ia tak pernah peduli apakah cintanya di sana itu sudah memiliki kekasih atau belum.

Bagi saya, mencintai orang yang tak ada wujudnya di depan kita dan tak pernah berkomunikasi adalah serupa mencabut pagar balkon dengan tangan kosong: itu mustahil, dan saya bodoh kalau terus mencobanya. Itulah bodohnya kawan saya ini, yang tetap saya sayangi apa adanya walaupun ia keterlaluan bebalnya.

Suatu hari, saat hari masih dini dan matahari baru muncul beberapa jam lagi, saya memperoleh kabar dari kawan jauh saya. Ada berita tentang orang yang selalu dicintai oleh kawan saya selama sepuluh tahun tanpa henti. Dua pekan sebelumnya ia tiba-tiba pingsan dan dilarikan ke rumah sakit. Dokter bilang, ada suatu cairan yang harus diambil dari otaknya. Ia dioperasi. Namun tak kunjung sadar.

Ketika hari mulai agak terang, saya berlari ke tempat kawan saya. wajahnya pias mendengar kabar itu. Saya ajak ia duduk, dan saya menyeduhkan teh untuknya. Kawan saya hanya diam saja, mulutnya rapat. Matanya bergerak-gerak cepat. Kedua tangannya mencengkeram celana yang ia kenakan.

“Aku harus ke sana.” Katanya, tiba-tiba.

“Tiket pesawat. Pesankan.” Lanjutnya. Ia lalu berdiri, berjalan menuju lemarinya. mengambil tas ransel, lalu menyambar beberapa helai pakaian dari dalam lemari.

Ponsel saya berbunyi. Saat membaca pesan yang masuk, saya segera tahu bahwa saya harus menyampaikannya pada kawan saya ini.

Kawan saya lunglai. Ia jatuh terduduk. Kedua tangannya menutupi wajahnya, lalu saya dengar senggukan-senggukan kecil yang makin lama makin membesar. Beberapa saat kemudian, bersamaan dengan tangannya yang terbuka dan wajahnya yang terangkat, senggukan itu berubah menjadi raungan yang kencang.

Kawan saya kehilangan orang yang ia cintai selama sepuluh tahun. Hatinya, yang penuh sesak oleh sosok itu, juga dibawa pergi orang tersebut.


240616 

0 comments:

Post a Comment