Rangkaian tulisan mengenai memori saya saat
mengunjungi Jepang (khususnya wilayah Kansai): tentang manusianya, makanannya,
dan peristiwanya, memang sudah saya nyatakan habis. Sejak awal saya memang
tidak ingin menuliskan apa saja yang saya lakukan setiap harinya, tempat apa
yang saya kunjungi, bagaimana transportasinya, dan lain-lain. Dan saya punya
alasan remeh untuk tidak melakukan itu: terlalu mainstream. Namun beberapa hari
belakangan saya agak sedih karena mulai lupa kesan pribadi saya terhadap tempat-tempat
yang saya kunjungi. Karena foto yang saya ambil tidak akan pernah menceritakan
dengan baik apa yang saya rasakan, maka saya memutuskan untuk mengisahkan ini.
Anggap saja seperti epilog di akhir sebuah buku cerita.
1.
Melewatkan Landmark Kobe: Kobe
Port Tower dan Meriken Park
Masjid Kobe
Masjid Kobe, tampak samping (dok. pri)
Terletak di belakang
gedung NHK, Masjid Kobe merupakan masjid pertama di Jepang. Kami sengaja pergi
ke masjid Kobe dengan tujuan awal yaitu mencari restoran halal. Memang ada satu
restoran India dengan stiker halal di kaca jendelanya, namun membayar 1.200 yen untuk
seporsi makan siang di hari pertama kami terasa begitu berat. Akhirnya kami
langsung ke masjid yang sangat dekat dengan restoran tersebut.
Masjid Kobe terdiri dari
dua lantai. Lantai pertama adalah tempat sholat utama. Selain itu, terdapat
juga ruang sekretariat masjid. Saat kami datang, pintu masjid terbuka, namun tidak
ada siapapun, baik di tempat sholat maupun di ruang sekretariat. Akhirnya kami
mengikuti kertas petunjuk yang ditempel di pintu: jamaah wanita di lantai atas.
Luas tempat sholat di lantai atas ini sekitar setengah luas lantai bawah.
Terdapat dua kipas angin berdiri yang langsung kami nyalakan. Karpet tebal yang
mengalasi lantai masjid langsung membuat tiga dari kami pulas. Di luar tempat
sholat, masih di lantai atas, terdapat sebuah lorong yang memiliki tiga ruangan
berjejer: tempat wudu, toilet, dan tempat mesin cuci. Di seberang lorong
tersebut terdapat sebuah ruangan yang dapat dipakai untuk kegiatan pengajian
atau seminar, yang untuk menggunakannya harus seizin pengurus masjid.
Seusai sholat dan
beristirahat, ketika kami turun, kami bertemu seorang pria berjenggot yang
mengenakan gamis dan peci putih. Beliau, yang ternyata berasal dari Malaysia,
adalah muazin yang sempat kami saksikan mengumandangkan azan Asar beberapa
menit sebelumnya.
Kitano Meister Garden
Dari Masjid Kobe, kami
harus naik bis City Loop untuk melanjutkan perjalanan. Sungguh tidak ada niat
untuk mengunjungi Kitano Meister Garden, namun karena halte bis CityLoop ada di
area di belakang gedung ini, jadilah kami terpaksa masuk. Terdiri atas tiga lantai,
Kitano Meister Garden, menurut saya, adalah sebuah galeri sekaligus toko seni. Beragam benda
yang dijual di lantai satu dan dua, mulai dari makanan, minuman, rajutan, hingga keramik. Yang unik dari bangunan
ini adalah lantainya dibuat dari kayu, sehingga berderit-derit kecil setiap ada
pengunjung yang lewat. Sedangkan lantai tiga digunakan sebagai tempat pameran
yang tidak kami kunjungi karena tidak ada tenaga tersisa untuk menaiki tangga.
2.
Kyoto yang Tak Ada Habisnya
Kiyomizu Temple
Terletak di bukit sehingga
harus menapaki jalan menanjak sejauh sekitar 700 meter, Kiyomizudera adalah
sebuah tempat yang pertama kali masuk dalam daftar kunjungan saya karena ia
muncul dalam film Detective Conan: Meikyuu no Juujiro. Kami berangkat cukup
pagi, sekitar pukul 07.30. Jalan menuju Kiyomizudera masih sepi, jejeran toko di dekat kuil pun belum buka
seluruhnya, baru beberapa saja. Yang paling saya senangi adalah tiket masuknya
yang sangat cocok untuk digunakan sebagai pembatas buku: terbuat dari kertas
semacam karton dengan gambar depan Kiyomizudera dan bagian belakangnya berisi tulisan semacam kata
mutiara.
Komplek Kiyomizudera cukup
besar, dan karena terletak di bukit, masih banyak ditumbuhi pohon. Saya sempat
mengikuti tiga siswa sekolah yang tampaknya sedang berwisata juga. Mereka
memasuki semacam gerbang kayu yang jalannya masih dipenuhi batu-batu kecil dan
sejauh saya melihat hanya berisi pohon, juga tidak ada petunjuk bahwa akan ada
sesuatu di dalam sana. Saya bertanya kepada tiga anak tersebut, “ini di dalam
ada apa ya?”. Salah satu dari mereka menjawab,”kami juga tidak tahu, baru kali
ini datang ke sini.” Daripada saya jalan terus dan ternyata tidak ada apa-apa
di ujung sana, saya akhirnya meninggalkan tiga anak tersebut yang masih terus
berjalan masuk ke arah pohon-pohon. Rute yang akhirnya saya ambil melewati
kolam ternyata membawa saya kembali ke depan kuil. Karena sebelumnya saya dan
teman-teman berjanji untuk bertemu di dalam, akhirnya saya kembali masuk.
Yang saya sayangkan, saya
lupa melihat ke arah tenggara untuk melihat sebuah pemadangan yang khas:
seharusnya menara Kyoto tampak dari beranda bangunan utama Kiyomizudera.
Yasaka Shrine
Komplek Yasaka Shine tidak
begitu besar. Saat kami datang, sepertinya sedang ada sembahyang di bangunan
bagian belakang. Terdengar rapalan-rapalan kalimat dibacakan. Beberapa lelaki
berkepala botak berpakaian putih, mungkin biksu, nampak mondar-mandir.
Di bangunan tengah, di
sekelilingnya terdapat kertas-kertas yang digantung di batang-batang bambu,
seperti festival Tanabata. Satu keluarga datang mendekat, terdiri dari seorang
laki-laki bertampang Eropa namun berbicara dalam Bahasa Jepang dengan seorang
perempuan berwajah Jepang, seorang anak laki-laki, dan seorang anak perempuan.
Dua bocah ini kemudian masing-masing menulis pada selembar kertas yang telah
disediakan. Keduanya menulis hal yang sama seperti yang telah didiktekan oleh
ibunya: semoga aku bisa memperoleh sabuk hitam. Namun si bocah perempuan, yang
sepertinya adik dari bocah laki-laki, berulang kali bertanya pada ibunya
bagaimana cara menulis kalimat tersebut, dan pada akhirnya mencontek tulisan
kakaknya (meskipun awalnya ia salah menulis hiragana ‘o’ pada ‘obi’-sabuk-
menjadi ‘a’).
Kyoto Imperial Palace
Kami berjalan kaki dari
Kyoto Rose Café menuju Kyoto Imperial Palace yang ternyata hanya berjarak satu
blok. Sebelumnya, kami telah mendaftar untuk mengikuti tur keliling istana
melalui website resmi sankan.kunaicho.go.jp.
Tur ini gratis, namun untuk mengikutinya peserta
diwajibkan mendaftar sebelumnya, bahkan jauh hari sebelumnya, karena jumlah
peserta dibatasi. Dari beberapa jenis tur, kami memilih tur berbahasa Inggris
di Kyoto Imperial Palace.
Beberapa puluh menit
sebelum tur dimulai, kami mendatangi kantor pengelola untuk mendapatkan surat
izin masuk. Petugas mencocokkan data di paspor dengan data di formulir
aplikasi, mengonfirmasi jumlah peserta yang didaftarkan, kemudian menuliskan selembar
surat izin masuk untuk kami. Lebih dari 50 wisatawan menjadi peserta dari tur
ini. Begitu masuk, kami masih harus memperlihatkan surat izin kepada petugas
loket untuk memperoleh brosur Kyoto Imperial Palace berbahasa Inggris, lalu
dipersilakan menunggu di sebuah ruangan dengan kursi-kursi panjang berjajar ke
belakang. Terdapat dua penjual cenderamata di pojok depan ruangan, sementara di
bagian belakang teradapat satu mesin penjual minuman, satu kran air minum (kami
mengisi ulang wadah minum di sini), dan sebuah lemari loker. Tur diawali dengan
menonton sebuah video yang menayangkan rute dan tempat-tempat yang akan dilalui
dari televisi layar datar yang dipasang di bagian depan ruangan. Tak berapa
lama, pemandu tur datang: seorang wanita berumur, mengenakan celana hitam dan
kemeja putih, mencangklong pengeras suara berukuran kecil.
Di depan tiap bangunan,
pemandu berhenti dan menjelaskan beberapa hal, misalnya sejarah, material yang
digunakan dalam membuat bangunan, fungsi bangunan, dan terkadang menunjukkan
beberapa foto yang memperlihatkan bagaimana bentuk asli bangunan sebelum
direnovasi. Awalnya saya selalu berada di dekat pemandu agar bisa mendengarkan
penjelasannya, tetapi lama-lama saya lelah harus berkonsentrasi lebih untuk memahami
Bahasa Inggrisnya, selain itu juga karena saya ingin banyak mengambil gambar.
Berada di dekat pemandu yang langsung bergerak meninggalkan lokasi begitu
penjelasan usai membuat saya tidak leluasa memotret. Tur berlangsung selama
kurang lebih 60 menit, diakhiri dengan ucapan terima kasih dari pemandu dan
tepuk tangan meriah dari peserta tur.
Oikeniwa Garden, salah satu taman di dalam kompleks Kyoto Imperial Garden (dok. pri)
Uniknya, ada seorang
petugas keamanan yang berjaga mengikuti rombongan selama tur. Ia tidak akan
berpindah tempat sampai peserta terakhir pergi. Sekali waktu, rombongan sudah
cukup jauh di depan, saya menjadi yang paling belakang karena ingin memotret
lebih banyak. Namun akhirnya saya tidak jadi lama-lama di situ karena merasa
tidak enak hati pada petugas keamanan tersebut.
Fushimi Inari Shrine
Gerbang masuk Fushimi Inari Shrine (dok.pri)
Rencana awal kami adalah
kami naik bis menuju halte Tofukuji, dari sana berjalan kaki menuju Fushimi
Inari. Namun menurut petugas di Kyoto Imperial Palace yang saya tanyai,
keduanya berjarak sangat jauh (sangat jauh untuk ukuran orang Jepang berarti
sangat sangat jauh untuk ukuran kami), jadi lebih baik kami naik kereta.
Benar saja kata petugas
tersebut. Dari stasiun Fushimi Inari jalur Keihan, kami hanya perlu berjalan
kaki sekitar satu kilometer untuk sampai di Fushimi Inari. Selain Kiyomizudera,
tempat ini juga merupakan tempat yang masuk daftar wajib kunjungan saya. Bukan
karena ia muncul di film Detective Conan, namun karena tempat ini sungguh populer.
Deretan torii berwarna
merah menyala benar-benar luar biasa. Dan dibutuhkan tenaga yang luar biasa pula
untuk bisa melewati seluruh rute torii karena jalannya menanjak ke arah puncak
bukit. Kami—yang tenaga dan semangatnya tidak cukup luar biasa—hanya berjalan
sampai tengah, masih cukup jauh dari puncak bukit, kemudian kembali lagi ke
gerbang awal.
Tenryuji
Saat menyusun jadwal
perjalanan, saya memperoleh informasi bahwa Tenryuji adalah jalan masuk menuju
Sagano. Dari keterangan tersebut, yang saya pahami adalah kami harus masuk
Tenryuji untuk bisa masuk Sagano.
Ada dua jenis tiket untuk
masuk ke Tenryuji, yaitu masuk ke bangunan utama kuil dan masuk ke taman bergaya Jepang. Kami
memilih yang kedua dengan membeli tiket seharga 500 yen. Taman gaya Jepang
sebenarnya bagus, namun ya begitu-begitu saja: kolam, tanaman, batu besar, dan
batu kecil yang dibentuk beralur menyerupai aliran air. Namun, taman Tenryuji
ini agak berbeda dan tampak lebih bagus dari taman gaya Jepang lainnya karena
latar belakangnya: bukit yang dipenuhi pohon-pohon berdaun hijau dan oranye di
beberapa bagian serta hamparan langit biru cerah.
Setelah taman gaya Jepang,
terdapat taman dengan bermacam bunga yang sayangnya tidak sedang berbunga kecuali
tanaman hydrangea—yang di Indonesia dikenal dengan Bunga Panca Warna—, itupun
warna bunganya kebanyakan masih hijau.
Di dekat pintu keluar
taman, mulai tampak rimbunan pohon bambu, yang menandakan bahwa Sagano sudah
ada di depan mata.
Sagano Bamboo Forest
Masuk sebagai salah satu
daftar wajib kunjungan versi saya karena sepertinya memiliki daya magis dan
misterius, maka bagaimanapun saya harus ke lokasi ini. Sebenarnya hanya sebuah
hutan bambu yang juga banyak ditemukan di dekat rumah kakek saya di Trenggalek,
namun jenis bambu yang berwarna hijau cerah, batang panjang, tumbuh lurus ke
atas, dan tidak bergerombol membuat hutan bambu ini unik.
Sayangnya, saya tidak
menemukan cara agar bisa mendapatkan gambar yang bagus di sini. Itu yang
pertama. Hal kedua yang saya sayangkan adalah kami datang berbarengan dengan
beberapa rombongan wisatawan, entah dari Tiongkok atau Taiwan, yang tak
habis-habisnya (dan sangat berisik), sehingga mengurangi daya magis Sagano.
Ketika pulang, kami
mengikuti satu-satunya jalan yang selalu dirimbuni pepohonan sehingga sangat
adem. Begitu sampai di jalan raya, saya baru menyadari bahwa Sagano dapat
dimasuki langsung dari jalan raya, tidak perlu masuk terlebih dahulu ke
Tenryuji.
Kinkakuji
Saya akan memberikan satu
tips untuk dapat menikmati keindahan Kinkakuji: datanglah pagi-pagi saat loket
baru dibuka. Kalau tidak, maka akan bernasib seperti saya yang datang sekitar
pukul 12 siang: sesak nafas. Memang bukan dalam arti sesungguhnya, namun
melihat begitu banyaknya wisatawan yang berkerumun di depan pagoda berwarna
emas membuat saya merasa ingin segera meninggalkan tempat tersebut, tidak
peduli betapapun bagusnya. Hanya ada satu lokasi yang bagus untuk mengambil
gambar pagoda yaitu dari depan, tetapi tempatnya sangat sempit, sehingga
pengunjung terlihat berjubel dan tidak teratur. Ketika menyusuri jalan setapak
ke arah keluar, keadaannya ternyata tidak kalah menyedihkan: jalan tidak cukup
lebar, agak menanjak dengan beberapa anak tangga, banyak orang berhenti di
pinggir, dan tak sedikit pengunjung yang tetap mengembangkan payungnya sehingga
berpotensi mengenai kepala orang lain.
Saya baru bisa bernafas
lega ketika telah mecapai pintu keluar Kinkakuji.
Kyoto Botanical Garden
Salah satu sudut Kyoto Botanocal Garden (dok. pri)
Di sinilah saya bertemu
dengan Kakek Internasional. Begitu masuk, tampak aneka bunga warna-warni
bermekaran di jalan utama yang menyambut pengunjung. Namun kami tak langsung
berkeliling, hal pertama yang kami lakukan justru mencari tempat duduk untuk
makan bekal makan siang. Setelah itu, kami menuju ke gedung pusat informasi
pengunjung untuk salat. Harapan kami, kami akan menemukan tempat perawatan bayi yang
dapat ditumpangi untuk salat seperti di Kyoto Imperial Palace. Ternyata, tempat perawatan
bayi di sini menyatu dengan toilet sehingga tidak dapat digunakan untuk tempat
salat. Saya
meminta teman saya untuk bertanya kepada petugas—dan akhirnya saya dipanggil
juga karena petugas tersebut tidak dapat berbahasa Inggris. Setelah petugas tersebut berunding dengan
rekannya, kami akhirnya diperbolehkan salat di depan perpustakaan di lantai dua
yang kebetulan sedang tutup sehingga tidak mengganggu siapapun.
Setelah salat, saya sempatkan
mampir ke kafetaria yang juga sekaligus tempat penjualan cenderamata untuk
membeli kartu pos. Penjualnya memberikan kami bonus tiga buah kipas untuk
kami—dua teman sedang menunggu di luar sehingga tidak memperoleh kipas. Di
hari-hari berikutnya, kipas ini adalah senjata yang sangat bermanfaat di tengah
musim panas yang sangat menyengat.
Kami berkeliling di taman
hingga jam operasional tutup, yaitu pukul 17.00, dan hanya mengelilingi beberapa area saja,
seperti taman sakura, taman lotus, taman maple, taman mawar, taman gaya eropa,
dan taman gaya jepang, dan taman gaya Amerika. Satu hal yang kami sadari, kami tidak
menemukan rombongan keluarga yang menggelar tikar dan makan bersama seperti di
Kebun Raya Bogor—mungkin situasinya
akan berbeda kalau kami datang ketika musim semi.
JR Kyoto Station
Sungguh tidak ada niat
untuk mengajak teman-teman pergi ke Stasiun JR Kyoto. Ini hanya rencana saya
sendiri saja untuk membeli tiket Hankyu Railway Pass 5 hari di BicCamera. Saya
membebaskan teman-teman untuk pergi terserah ke manapun, namun ternyata mereka
memilih untuk menemani saya (peluk!). Pada akhirnya, saya memang sendirian
membeli tiket, dan meminta mereka untuk menunggu saja di Daiso di gedung
seberang.
Setelah saya memperoleh
tiket, saya menyusul teman-teman ke Daiso (Tuhan, Daiso adalah sebuah tempat
penuh keajaiban!), kemudian kami kembali ke depan stasiun. Di depan stasiun
terdapat sebuah gedung bertuliskan Aqua Fantasy yang mempertunjukkan atraksi
air mancur menari di atap gedungnya dengan pendaran lampu berwarna-warni dan
iringan musik yang cukup familiar.
Oh iya, saat hari masih
terang dan kami belum berpencar, kami bertemu dengan dua orang laki-laki yang
usianya sepertinya tidak berbeda jauh dengan kami dan berwajah Melayu di depan
stasiun. Salah seorang di antaranya mengenakan kaos jersey sepak bola Timnas
Indonesia yang berwarna merah, sehingga tak diragukan lagi mereka adalah orang
Indonesia.
--- bersambung ---