Dari tujuh orang yang ada di kelas—termasuk sensei—, cuma
saya yang Jawa muslim.
Sabtu terakhir menjelang bulan Ramadan, sensei bertanya pada
saya, “Wahyu-san sudah puasa?” Karena memang saat itu belum mulai puasa—wong
sidang isbat aja baru akan dilaksakanan Senin selanjutnya—, saya jawab, “Belum,
Sensei.”
Kemudian kata sensei, “Ja,
mina san. Raishuu kara tabemono no hanashi wa dame. Gokyouryoku onegaishimasu.”
Mulai minggu depan, jangan berbicara tentang makanan ya. Mohon kerja samanya.
Sabtu berikutnya, alias Sabtu lalu, benar-benar tidak ada
obrolan tentang makanan di kelas. Padahal biasanya selalu ada bahasan tentang toko
ramen, sushi, atau makanan Jepang lain. Bahkan ketika ada kalimat yang
menggunakan kata kerja taberu, makan,
teman-teman langsung berkata, “Ssst… dame
dame.” Sampai saya bilang sambil tertawa, “biasa aja kaliiii…”
Biasanya, di tahun-tahun sebelumya, Ramadan ya Ramadan aja.
Nggak pernah ada larangan buat ngomongin makanan. Iklan di televisi aja kalo
Ramadan jadi penuh produk makanan—dan minuman—, nggak mungkin buat nggak
ngomongin makanan.
Tahun-tahun sebelumnya, saya nggak pernah di’gitu’in. Ini
pertama kalinya.
Karena sebelumnya, saya selalu jadi mayoritas. Teman saya
yang beda agama dan beda suku atau ras, bisa dihitung dengan jari, saking
sedikitnya. Sesama mayoritas? Ya tau sama tau aja. Ya tetep ngomongin makanan,
tetep ngomongin minuman, tetep ngomongin orang *eh* (astaghfirullah).
Jadi buat saya, perilaku sensei dan teman-teman—meskipun
agak berlebihan sampai nggak ada obrolan tentang makanan di kelas—adalah satu
bentuk toleransi. Kalau pas SD dulu sering menulis jawaban ‘saling menghormati,
menghargai, dan toleransi’ untuk banyak pertanyaan di pelajaran PPKn, nah ini
wujud nyatanya. Buat saya pribadi, tanjun
ni, kandoshimasu. Sederhananya, saya terharu.
Sesederhana itu.
150713
久しぶり。ずっと 書いたいんですが、 書けなかった。 いろいろね。 :)