“Waduh gawat, minggu depan aku beneran jadi naik gunung!”
Warga kos sedang asik berkumpul di depan tv saat teman saya tiba-tiba berteriak
demikian. Serempak, kami menoleh ke arahnya.
“Ngapain naik gunung? Kapan?”
Teman saya, yang masih syok dengan kabar yang dia peroleh
dari temannya melalui sms, menjawab sambil terus melihat hapenya. “Diklat, Selasa sampai Jumat minggu depan.”
“Aduuuh… kok naik gunung sih? Sama Kopassus pula.” Gumamnya.
Mungkin masih syok.
“Ih kan keren. Kopassus gitu loh.” Kata saya.
“Keren dari Hongkoooong…” sungutnya. “Heran deh. Judulnya
diklat kepemimpinan, kok malah naik gunung ya?” katanya.
Saya merenungi pertanyaan teman saya sebentar. Tak begitu
lama, jawabannya muncul di kepala saya. Dan saya setuju ide siapapun-itu yang
menggagas diklat kepemimpinan berupa mendaki gunung. Kalau boleh, saya mau ikut
deh #eh
Haha.
Ketika mendaki gunung, akan terlihat bagaimana watak asli
seseorang.
Saya pernah dua kali naik gunung *yaelah, cuma dua kali toh.
Gitu aja bangga*. Biarin lah ya, daripada enggak pernah naik sama sekali.
Lagipula biasanya, orang yang sok-sokan tahu sesuatu *seperti saya, dalam kasus
naik gunung ini* akan lebih banyak berkomentar dan berceloteh.
Dua kali saya naik gunung itu, saya selalu berada dalam
posisi terbelakang, alias yang paling lambat. Memang jarang olahraga sih, jadi
gampang capek. Sedikit-sedikit minta berhenti, ngaso. Padahal yang lain masih
belum berkeringat.
Dalam posisi terbelakang itu, ada beberapa karakter yang bisa
saya lihat.
Pertama, orang yang cuek. Saya nggak tau juga sih ini cuek
atau gimana. Tapi, jika orang seperti ini mempunyai teman yang ketinggalan, dia
cenderung terus berjalan. Nggak peduli lagi deh pokoknya. Entah berbeda jarak
berapa ratus meter, dia nggak bakal berhenti dan menunggui temannya tersebut
kecuali diminta oleh teman-teman lainnya. Atau juga dia nggak bakal berhenti
kecuali dia sendiri yang capek.
Kedua, teman yang baik. Orang seperti ini bakal selalu ada
di samping kita. Nggak selalu juga sih. Haha. Tapi kalau dia melihat kita sedikit
kelelahan, dia akan menanyai kita dan menawari bantuan. Orang bertipe teman
yang baik ini juga selalu menghibur kita dengan terus memberi semangat ataupun
mengajak ngobrol sehingga lupa kalau sebenarnya capek. Tiba-tiba aja sudah
sampai puncak. Wohooo..
Ketiga, tipe silent. Kalau yang ini, dia antara acuh-tak
acuh. Kalau di dunia maya mungkin tergolong silent reader gitu. Liat doang,
tapi nggak ikut berpendapat atau urun rembug. Kalau ada temannya capek, dia cuma
ngeliat, trus ikutan berhenti. Nggak nanyain atau nawarin bantuan. Kalau si
temannya yang capek tadi udah ada yang nemenin di belakang, kadang juga dia
langsung tancap gas, nggak ikutan berhenti.
Keempat, tipe pahlawan. Biasanya sih yang begini ini ya para
koordinatornya atau penanggung jawabnya. Nggak tau juga sih. Tapi selama ini
yang jadi pahlawan buat saya ya cuma koordinatornya #ngenes. Haha. Orang-orang
ini selalu ada di belakang orang yang paling belakang. Kalau ada yang capek,
dia bakal nemenin si yang capek tadi. Dan kalau jarak dari teman-teman yang
lain sudah jauh, dia bakal meminta sekelompok buat berhenti. Dia juga paling
sering kasih semangat, meskipun itu dengan ngibul yang becanda. Misalnya,
“Tinggal lima belokan lagi nih.” Padahal faktanya: lima belokan ke kanan dan
entah berapa puluh belokan ke kiri. Hahahaha
Kelima, tipe gampang menyerah. Saya banget nih *kok bangga
-.-‘*. Tipe ini, kalo udah beberapa kali capek, bakal nggak mau nerusin
perjalanan. Eh tapi saya nggak gitu ding. Saya cuma minta istirahat, tapi ya
lanjut jalan *ngeles*. Yang bisa bikin dia nggak menyerah, salah satunya adalah
“Sebentar lagi sampe di puncak, koook.” Haha
Begitulah lima tipe yang sejauh ini saya kenali dalam
perjalanan naik gunung saya. Mungkin masih banyak yang lain, tapi sayanya yang
nggak ngeh karena emang masih newbie dalam dunia daki-mendaki.
Menulis begini, saya jadi ingin naik gunung lagi. Lelah,
tapi seru!
Gunung Gede, November 2010
Menjelang Zuhur, 12 Juni 2012
Salam,
Wahyu Widyaningrum
0 comments:
Post a Comment