Tuesday, June 12, 2012

Tipe Orang Saat Mendaki Gunung: Opini Sok Tau


“Waduh gawat, minggu depan aku beneran jadi naik gunung!” Warga kos sedang asik berkumpul di depan tv saat teman saya tiba-tiba berteriak demikian. Serempak, kami menoleh ke arahnya.

“Ngapain naik gunung? Kapan?”

Teman saya, yang masih syok dengan kabar yang dia peroleh dari temannya melalui sms, menjawab sambil terus melihat hapenya. “Diklat, Selasa sampai Jumat minggu depan.”

“Aduuuh… kok naik gunung sih? Sama Kopassus pula.” Gumamnya. Mungkin masih syok.

“Ih kan keren. Kopassus gitu loh.” Kata saya.

“Keren dari Hongkoooong…” sungutnya. “Heran deh. Judulnya diklat kepemimpinan, kok malah naik gunung ya?” katanya.

Saya merenungi pertanyaan teman saya sebentar. Tak begitu lama, jawabannya muncul di kepala saya. Dan saya setuju ide siapapun-itu yang menggagas diklat kepemimpinan berupa mendaki gunung. Kalau boleh, saya mau ikut deh #eh

Haha.

Ketika mendaki gunung, akan terlihat bagaimana watak asli seseorang.
Saya pernah dua kali naik gunung *yaelah, cuma dua kali toh. Gitu aja bangga*. Biarin lah ya, daripada enggak pernah naik sama sekali. Lagipula biasanya, orang yang sok-sokan tahu sesuatu *seperti saya, dalam kasus naik gunung ini* akan lebih banyak berkomentar dan berceloteh.

Dua kali saya naik gunung itu, saya selalu berada dalam posisi terbelakang, alias yang paling lambat. Memang jarang olahraga sih, jadi gampang capek. Sedikit-sedikit minta berhenti, ngaso. Padahal yang lain masih belum berkeringat. 

Dalam posisi terbelakang itu, ada beberapa karakter yang bisa saya lihat. 

Pertama, orang yang cuek. Saya nggak tau juga sih ini cuek atau gimana. Tapi, jika orang seperti ini mempunyai teman yang ketinggalan, dia cenderung terus berjalan. Nggak peduli lagi deh pokoknya. Entah berbeda jarak berapa ratus meter, dia nggak bakal berhenti dan menunggui temannya tersebut kecuali diminta oleh teman-teman lainnya. Atau juga dia nggak bakal berhenti kecuali dia sendiri yang capek.

Kedua, teman yang baik. Orang seperti ini bakal selalu ada di samping kita. Nggak selalu juga sih. Haha. Tapi kalau dia melihat kita sedikit kelelahan, dia akan menanyai kita dan menawari bantuan. Orang bertipe teman yang baik ini juga selalu menghibur kita dengan terus memberi semangat ataupun mengajak ngobrol sehingga lupa kalau sebenarnya capek. Tiba-tiba aja sudah sampai puncak. Wohooo..

Ketiga, tipe silent. Kalau yang ini, dia antara acuh-tak acuh. Kalau di dunia maya mungkin tergolong silent reader gitu. Liat doang, tapi nggak ikut berpendapat atau urun rembug. Kalau ada temannya capek, dia cuma ngeliat, trus ikutan berhenti. Nggak nanyain atau nawarin bantuan. Kalau si temannya yang capek tadi udah ada yang nemenin di belakang, kadang juga dia langsung tancap gas, nggak ikutan berhenti.

Keempat, tipe pahlawan. Biasanya sih yang begini ini ya para koordinatornya atau penanggung jawabnya. Nggak tau juga sih. Tapi selama ini yang jadi pahlawan buat saya ya cuma koordinatornya #ngenes. Haha. Orang-orang ini selalu ada di belakang orang yang paling belakang. Kalau ada yang capek, dia bakal nemenin si yang capek tadi. Dan kalau jarak dari teman-teman yang lain sudah jauh, dia bakal meminta sekelompok buat berhenti. Dia juga paling sering kasih semangat, meskipun itu dengan ngibul yang becanda. Misalnya, “Tinggal lima belokan lagi nih.” Padahal faktanya: lima belokan ke kanan dan entah berapa puluh belokan ke kiri. Hahahaha

Kelima, tipe gampang menyerah. Saya banget nih *kok bangga -.-‘*. Tipe ini, kalo udah beberapa kali capek, bakal nggak mau nerusin perjalanan. Eh tapi saya nggak gitu ding. Saya cuma minta istirahat, tapi ya lanjut jalan *ngeles*. Yang bisa bikin dia nggak menyerah, salah satunya adalah “Sebentar lagi sampe di puncak, koook.” Haha

Begitulah lima tipe yang sejauh ini saya kenali dalam perjalanan naik gunung saya. Mungkin masih banyak yang lain, tapi sayanya yang nggak ngeh karena emang masih newbie dalam dunia daki-mendaki. 

Menulis begini, saya jadi ingin naik gunung lagi. Lelah, tapi seru!


 Gunung Gede, November 2010


Menjelang Zuhur, 12 Juni 2012
Salam,
Wahyu Widyaningrum



0 comments:

Post a Comment