Demi
apapun, aku tak akan pernah melakukan hal ini lagi.
Sejak
tadi aku sudah mengelilingi lokasi ini. Tadinya kupikir pencarianku tak akan
sesulit ini. Ketika pertama memasuki gang, kulihat beberapa meter dari mulut
gang ada sekelompok ibu-ibu sedang berkumpul. Aku mendekat, kukatakan bahwa aku
mencari orang bernama Hari. Satu persatu, ibu-ibu itu menggeleng.
“Hari
siapa, mbak?” Tanya salah satu dari mereka.
Aku
juga menggeleng. Aku tak tahu nama lengkap Hari.
“Orangnya
kayak apa?” Tanya mereka lagi.
Hari
yang kukenal adalah seorang laki-laki dengan usia sekitar setahun di atasku.
Tinggi badannya rata-rata, sekitar 172 cm. Tidak gemuk, juga tidak kurus.
Standar lah. Rambutnya pendek. Mengenakan kaca mata dengan gagang penuh
berwarna cokelat. Apa lagi? Ah iya. Lesung pipi di pipi sebelah kiri.
Ibu-ibu
di depanku kembali menggeleng setelah aku menjelaskan perawakan Hari. Gelengan
mereka membuatku mengucapkan terima kasih untuk kemudian balik badan, mencari
ibu-ibu atau bapak-bapak lainnya yang bisa kumintai informasi mengenai
keberadaan Hari.
Dan
ternyata kumpulan ibu-ibu di dekat mulut gang tadi adalah satu-satunya yang
kutemukan. Selanjutnya aku tak menemukan ada kumpulan orang lagi. Jadi aku
menyusuri jalan pelan-pelan, mencari rumah yang pintunya sedikit terbuka—aku
berpikir bahwa rumah dengan pintu tertutup berarti penghuninya sedang sibuk
atau tak mau diganggu—dan bertanya pada sang tuan rumah. Tentu saja mengenai Hari.
Jarum
jam di tanganku sudah menunjukkan pukul 13.30, hasil masih nihil. Aku
beristirahat sejenak di bawah sebatang pohon kersen. Ada batu lumayan besar.
Aku duduk di atas batu itu.
Sambil
mengibas-ngibaskan tangan dan memandangi matahari yang entah kenapa sinarnya
seperti makin terang, aku merutuki diriku sendiri. Merutuki kenapa aku tak tahu
siapa nama lengkap Hari, kenapa aku tak tahu apa pekerjaan dia dengan
jelas—yang kutahu, dia bekerja di sebuah bengkel motor. Titik.—, dan kenapa aku
hanya tahu nama kampung tempat tinggalnya: Kampung Sumur dekat pasar. Jadi bekalku
hanya: Hari, tinggal di Kampung Sumur dekat pasar, kerja di bengkel.
Ponselku
bergetar. Aku sedikit berharap, jangan-jangan pesan masuk dari Hari!
Segera
kurogoh kantongku, kubuka ponselku dengan cepat. Dan semangatku kembali meredup
ketika nama pengirim yang muncul bukanlah nama Hari. Sejak sebulan lalu nomor
ponselnya tak aktif.
Rabu
lalu, saat berkunjung ke rumah singgah, aku dihujani pertanyaan yang kesekian
kalinya oleh adik-adik di sana.
“Kak,
Kak Hari kapan ke sini? Kok Kak Hari nggak pernah dateng lagi sih?”
Aku
pertama kali bertemu dengan Hari tujuh bulan lalu, saat ada pertemuan
sukarelawan mengajar di rumah singgah. Sejak perkenalan pertama, entah kenapa rupanya
Hari mampu menarik perhatian anak-anak di rumah singgah yang kebanyakan berusia
4-12 tahun. Hari jadi magnet utama anak-anak untuk datang setiap Rabu dan Sabtu
di rumah singgah. Kalau tak ada Hari, rumah singgah jadi sepi.
Tujuh
bulan berjalan, jumlah sukarelawan menyusut. Mulanya ada sepuluh orang, kini
tinggal dua. Hanya tersisa aku dan Hari. Oh salah. Kini tinggal satu. Hanya
aku. Karena Hari sudah tak pernah hadir sejak sebulan lalu.
Rumah
singgah sudah sepi. Hanya tinggal aku, mbak Mei, dan mbak Lis. Mereka adalah
pengurus yayasan. Ketika aku sedang memasang sepatu di bibir pintu, seorang
anak menghampiriku. Namanya Adit. Usianya sekitar lima tahun.
“Kak,
besok sabtu Kak Hari dateng nggak? Kalo Kak Hari nggak dateng, aku sama Nina
juga nggak dateng.” Ucapnya ringan. Nina adalah adik Adit, usia mereka terpaut
satu tahun.
Aku
tersenyum. “Iya, besok Kak Hari dateng kok. Jadi, Adit dan Nina harus dateng
juga, ya.”
“Kak
Hari dateng? Janji?”
“Iya.
Janji.” Kuacungkan jempolku sambil tersenyum lebar.
Adit
mengangguk ceria, kemudian berlari meninggalkanku.
Demi
janji itulah aku berada di sini sekarang. Untuk mencari dan menemukan sosok Hari.
Supaya anak-anak di rumah singgah tak kehilangan semangatnya untuk belajar
karena ketidakhadiran Hari.
Kuputuskan
melanjutkan pencarian. Apapun yang terjadi, Hari harus kutemukan. Besok ia harus
datang!
Sebuah
rumah tampak terbuka sedikit pintunya. Kuucap permisi sambil kuketuk pintunya.
Seseorang
menjawab dengan sedikit berteriak, kemudian kudengar langkah kakinya mendekat
ke arah pintu.
Di
depanku, berdiri seorang laki-laki. Yang sebulan belakangan menghilang. Yang
tak bisa dihubungi. Yang dirindukan anak-anak di rumah singgah. Yang
kucari-cari sedemikian rupa.
Hari!!!!!
Ia
hanya tersenyum meringis.
“Maaf.”
Itu kata pertamanya. Aku dipersilakan masuk. Ia menghidangkan segelas air putih
yang kuminum dengan semangat, sebelum kusadari bahwa rasanya agak payau.
“Bengkel
tempatku bekerja tutup. Bangkrut. Sampai sekarang aku belum bekerja lagi. Ponselku
kujual untuk menyambung hidup. Aku tak sempat mampir ke rumah singgah, setiap
hari aku berkeliling kota mencari pekerjaan. Mungkin nanti, kalau aku sudah
dapat kerja, aku bisa bantu di rumah singgah lagi.”
“Besok,
bisa? Anak-anak mencarimu. Beberapa sudah tak pernah datang lagi sejak kamu
menghilang.”
“Aku
tidak menghilang. Hanya istirahat sebentar dari sumah singgah.”
“Apapun
lah. Gimana? Besok bisa?”
Hari
terdiam lama.
“Oke.
Besok aku datang. Oiya, di sini orang mengenalku dengan nama Ahmad.”
*****
Dua
orang sukarelawan-baru datang. Ia akan membantu aku, Mbak Mei, dan Mbak Lis mengajar
anak-anak di rumah singgah ini.
“Hari.”
Kata salah seorang sukarelawan tersebut.
“Novi.”
Kataku memperkenalkan diri.
Ah,
kenapa namanya sama dengan Hari yang dulu? Aku mengingat-ingat persitiwa dua bulan
lalu, saat terakhir kali Hari datang ke rumah singgah. Ia datang dengan senyum,
tawa, keriangan, dan kehangatan seperti biasa. Sabtu itu, rumah singgah penuh
oleh anak-anak.
Di
akhir pertemuan, anak-anak seperti biasa mencium tangan kami—para pengajar. Hari
juga tetap mengelus kepada setiap anak, seperti biasanya. Tak ada yang berubah.
Tunggu
sebentar. Sepertinya ada yang berbeda.
Ah
iya. Saat itu, Hari mengambil posisi berjongkok. Sambil mengelus kepala tiap
anak, kurasa ia mengucapkan sesuatu. Entah apa. Mungkin nasihat agar mereka
tetap rajin belajar dan datang ke rumah singgah. Atau mungkin berpesan bahwa
esoknya ia tak akan datang lagi.
Sabtu
itu adalah hari terakhir Hari datang ke rumah singgah. Pada hari Rabu pekan
depannya, ia tak datang. Begitu juga pada Rabu dan Sabtu berikutnya. Hari tak
pernah datang lagi.
Aku
pernah kembali ke tempat tinggalnya, tapi Hari tak kutemukan. Tetangganya
bilang ia pindah, tak ada yang tahu ke mana.
Aku
memandang salah satu sudut rumah singgah yang berukuran 3x5 meter ini. Sehelai
kertas tertempel di sana. Beberapa baris tulisan tertulis di atasnya: Tetap
rajin belajar ya. Raihlah cita-cita setinggi bintang. Hari.
Numpang di kamar orang, Juni 2012
Cerpen pertama setelah sekian abad :)