Seekor
kucing hitam sekonyong-konyong melompat ke arahku. Tubuhku limbung, tanganku
melepaskan gelas yang tengah kupegang. Aku sendiri berputar agak oleng demi
menghindari si kucing, dan tangan kiriku melayang demi menjaga keseimbangan. Naas,
bukannya keseimbangan yang kudapat, justru tangan kiriku ini menyambar
serangkaian benda pecah belah di dekatku. Dalam waktu tak begitu lama, bunyi
barang pecah—yang lebih terdengar seperti dentuman bom di kupingku—memenuhi
ruangan.
Sementara
si kucing dengan seenaknya keluar rumah lewat pintu depan, pintu yang sama yang
tadi ia masuki. Ia meninggalkanku dalam keadaan tercengang.
Kupandangi
beberapa benda yang pecah berantakan. Benar-benar berantakan, karena beberapa
pecahan masih ada di rak ketiga, tempat tanganku tadi menyambar. Beberapa lagi
turun di rak pertama, dan sebagian besar mengotori lantai.
Dengan
berjingkat, kulangkahi semua pecahan-pecahan itu. Ah, kucing itu membuatku rugi
setengah mati.
Benda
pecah-belah yang kupecahkan tadi adalah koleksiku, yang kukumpulkan dengan
susah payah, melalui beragam pengorbanan. Anda juga tentu tahu, mengumpulkan
koleksi tidak mudah. Lihat saja perjuangan para pengoleksi perangko. Filatelis
itu bahkan harus mengeluarkan barang yang tidak sedikit demi perangko langka.
Atau kisah para pengoleksi action figure berbagai tokoh. Bahkan yang hanya
diproduksi beberapa unit dan harganya selangit, mereka rela membelinya. Demi
apa? Tanya saja pada mereka.
Aku
masih lebih beruntung, karena belum pernah merogoh kantong demi
koleksi-koleksiku. Hanya perlu mengeluarkan uang sejumlah ala kadarnya untuk
kumasukkan dalam amplop, dan berharap semoga kedua mempelai bahagia.
Selebihnya? Aku makan-makan sampai kekenyangan, tertawa-tawa dengan kawan-kawan
yang juga hadir, dan koleksiku bertambah satu. Atau lebih, jika teman-temanku
tadi mau memberikan milik mereka untukku.
Betul, kuakui upayaku untuk mengumpulkan koleksiku sangat minimal. Jangan kaubandingkan dengan kolektor-kolektor yang tadi sudah kusebutkan. Tapi seperti juga sudah kubilang tadi, hancurnya benda-benda kesayanganku ini membuatku rugi. Sebab sebuah gelas mungil pemberian almarhum nenekku juga pecah. Gelas itu berada di antara koleksiku yang lain. Kata nenekku dulu, gelas tersebut berusia lebih tua daripada buyutnya buyutnya nenek—entah berapa generasi sebelum nenek.
Kemarin aku mendapat pesan pribadi
dari seseorang. Ia mengutarakan minatnya untuk membeli gelas tersebut seharga
tiga puluh juta rupiah.