Judul: 星の子 (Hoshi no Ko)
Pengarang:
Natsuko Imamura
Penerbit:
Asahi Shimbun
Tahun Terbit: 2017
Jumlah Halaman: 220 halaman
Chihiro berada di persimpangan jalan.
Di salah satu ujung jalan, orang tuanya
menantinya dengan sabar. Merekalah yang dengan gigih mencoba segala upaya untuk
membuatnya sembuh dari sakit yang ia idap sejak lahir. Salah satu upaya itu
adalah dengan menyeka tubuhnya dengan Berkah Bintang Kejora: air ajaib yang disebut-sebut
diberkati oleh energi alam raya. Sejak saat itu, Berkah Bintang Kejora rutin
hadir di rumah itu. Sebagai air minum sudah tentu—walaupun tak diperkenankan
untuk menyeduh kopi. Selain itu, air itu hadir sebagai bahan jaram utama yang
membasahi handuk putih di atas kepala orang tuanya.
Handuk putih beserta air ajaib sebagai
jaram yang ditumpangkan di atas kepala itu adalah keberkatan bagi orang tuanya,
tapi kegilaan di mata orang lain.
Orang-orang lain ini berada di ujung jalan satunya.
Gurunya berkata orang tuanya aneh. Teman baiknya bilang ia dan orang tuanya ditipu
habis-habisan. Pamannya menganggap orang tuanya diperdaya. Sepupunya
berpendapat ia lebih baik menjaga jarak dengan orang tuanya.
Sebab hidup adalah perkara memilih satu
(atau beberapa) hal atas hal lainnya, Chihiro pun dihadapkan dengan
pilihan-pilihan yang harus ia ambil satu (atau beberapa) di antaranya. Serangkaian
bintang jatuh yang ia saksikan, agaknya, telah membantunya mengambil keputusan.
Saya membayangkan hidup sebagai seorang
Chihiro. Orang tua saya dipertemukan dengan sebotol air, mengalami keajaiban,
lantas percaya setengah mati kepada air tersebut. Orang lain bisa apa kalau orang
tua saya sendiri sudah merasakan betapa terberkatinya air tersebut? Belum lagi
saya sendiri juga merasakan mukjizat itu saat kecil, dan melihat orang tua saya
sehat walafiat selama lima belas tahun. Lalu tiba-tiba orang-orang itu: guru, kawan
sekolah, dan kerabat; mencerocos dan mendikte tentang betapa apa yang orang tua
saya (dan saya) yakini adalah konyol dan kami ditipu. Bah, siapa mereka? Tetapi
mereka juga membawa bukti-bukti yang, sayangnya, cukup membuat pendirian saya
goyah dan kepercayaan saya kepada orang tua meluntur. Ke mana saya harus
menuju? Ini rumit sekali.
Saya tak sanggup menghadapi beban seperti
Chihiro.
Segala detail beban dan kebimbangan yang
dialami Chihiro itulah yang agaknya dipilih untuk diramu oleh Natsuko Imamura dalam
novel Hoshi no Ko. Kebimbangan ini semakin pelik karena tokoh Chihiro
digambarkan duduk di kelas 3 SMP, usia remaja yang penuh dengan pencarian jati
diri. Jalan pencarian Chihiro tidak mudah. Terjalnya jalan emosi Chihiro
dipotret dengan detail yang apik oleh Natsuko. Penuhnya isi kepala Chihiro
dapat dibaca dari dialog-dialognya dengan orang-orang yang ada di sekelilingnya.
Sayangnya, ada sedikit detail yang cukup
menganggu bagi saya.
Pada halaman 79, termuat biodata Minami,
guru Chihiro yang juga merupakan orang yang ia sukai. Di situ tertulis bahwa
negara favorit sang guru adalah Hawai. Saya langsung menandai bagian ini: sejak
kapan Hawai menjadi sebuah negara?
Selain itu, novel ini didominasi oleh
dialog. Kebanyakan merupakan dialog singkat satu atau dua baris dan kurang
penting, yang membuat jalan cerita menjadi agak membosankan. Misalnya dari
halaman 212 hingga 219, yang menggambarkan adegan keluarga Chihiro duduk
bersama di bukit sembari ngobrol ngalor-ngidul memandang langit malam. Pada
bagian tersebut, mayoritas—ada sekitar 75 baris—dipadati tarik-ulur demikian dari
Chihiro: “aku tidak melihat bintang jatuh, tapi pulang sajalah,” dan
Ayah-Ibunya: “kita tidak akan pulang sebelum kita semua melihat bintang jatuh.”
Pun demikian, adegan itulah yang menarik
perhatian Yoko Ogawa, salah satu dewan juri Akutagawa Prize yang memberi nilai
sempurna untuk Hoshi no Ko. “Adegan langit malam di bagian terakhir. Penuh letupan
emosi di sana, meskipun akhir kisahnya tidak diceritakan. … Kalimat-kalimat
yang tidak dituliskan terasa hadir lebih dekat dibanding yang dituliskan,”
demikian komentarnya.
Selain Yoko Ogawa, ada seorang dewan juri
lain yang juga memberi tanda dua lingkaran biru sebagai tanda nilai tertinggi
pada karya Natsuko ini. Adalah Hiromi Kawakami, yang berkomentar, “Penulis novel
ini memahami dengan baik sesuatu yang tidak bisa diajarkan oleh siapa pun:
bagaimana cara menulis novel agar menjadi sebuah novel yang seharusnya.”
Sementara itu, juri lainnya berpendapat bahwa novel ini "berhasil menggambarkan dunia seorang anak yang sedang terperangkap".
Menanggapi pujian-pujian itu, Natsuko hanya mengatakan ia mencintai aktivitas menulis dan akan terus melakukannya sepanjang ia masih menikmati kegiatan tersebut. "Saya sama sekali tidak merasa sedang melakoni pekerjaan sebagai penulis, tapi saya akan merasa sedih jika dilarang menulis."
Natsuko menceritakan dalam sebuah wawancara dengan suatu koran Jepang, bahwa ia mendapat inspirasi untuk menulis novel dari pengalamannya sehari-hari. Untuk novel Hoshi no Ko ini, Natsuko mengambilnya dari apa yang ia lihat pada suatu waktu di Osaka. Ia berkisah, ia melihat sepasang suami istri yang saling menuangkan air dari botol minuman ke atas kepala satu sama lain. Bagian inilah yang menjadi ide utama Hoshi no Ko: orang tua Chihiro melakukan rutinitas tersebut setelah mengenal air ajaib.
Novel ini mungkin juga menyisipkan semacam pesan
bagi orang-orang dewasa: bijaklah mengambil langkah, sebab anakmu juga akan menerima
dampaknya; kau sangat beruntung kalau anakmu tak sampai limbung.
Hoshi no Ko menjadi satu dari empat novel
yang masuk daftar pendek Akutagawa Prize ke-157. Dari sepuluh orang dewan juri,
dua orang memberi penilaian tertinggi untuk novel ini. Hoshi no Ko akhirnya
tidak memenangi penghargaan tersebut. Novel ini kalah dari karya berjudul Eiri
karya Shinsuke Numata, yang memperoleh penilaian tertinggi dari tiga dewan
juri. Akutagawa Prize sendiri adalah salah satu penghargaan paling bergengsi
untuk karya sastra Jepang.