Kisah berikut ini tidak ada kaitannya dengan apa yang akan
saya ceritakan selanjutnya: pagi ini saya bermimpi tengah berjalan di tepi
pantai, menginjak bintang laut yang lalu menempel lekat sehingga saya harus menghentakkan
kaki. Kaki saya sungguhan memancal, dan saya terbangun dari tidur.
Sungguh menyeramkan.
Beberapa waktu lalu, saya bermimpi tentang suatu kejadian yang
memilukan.
Mimpi itu muncul beberapa kali, tentang seorang laki-laki
yang telah meninggal dunia. Laki-laki itu sebaya dengan saya; ketika usianya 22
tahun ia memilih untuk meninggalkan dunia ini. Hubungan kami sama sekali tidak
terkait percintaan. Ia adalah kawan yang berarti bagi saya.
Entah mengapa, di dalam mimpi itu saya bertemu dengannya,
meskipun saya mengetahui bahwa ia telah meninggal dunia.
Lokasinya di depan Stasiun Matsudo. Di dalam mimpi, saya
sendiri tidak paham mengapa kami bertemu di situ. Barangkali karena makamnya
ada di Matsudo, dan depan Stasiun Matsudo adalah tempat di mana saya bersama
seorang kawan saya bertemu ketika berziarah ke makamnya. Saya mengingatnya
karena saya melihat bunga sakura bermekaran sekitar bulan April, padahal mimpi
itu terjadi pada tanggal 17 Februari.
Di dalam mimpi itu, kami duduk di sebuah bangku di tanah
lapang di depan stasiun. Ia bercerita tentang kabar terbaru kawan-kawan kami.
“Si S sudah melahirkan.”
“Si T tidak jadi bercerai. Untunglah.”
“Si H berpindah pekerjaan setelah keluar dari kantornya.”
Ia bercerita sembari menampakkan senyumnya yang indah,
tetapi sepertinya ia merasa kesepian. “Enak ya. Sepertinya menyenangkan,”
ucapnya. Setelah cukup lama berbincang, tiba-tiba ia berkata, “Yoshimoto,
bagaimana kalau kadang-kadang kita bertemu seperti ini lalu mengobrol tentang
kawan-kawan kita? Saya butuh teman ngobrol.”
Saya menjawab, “tentu saja!” padahal saya tahu dia sudah
meninggal. Saya tidak menyangka ia akan bertanya seperti tadi. Atau
kekhawatiran saya adalah, barangkali itu merupakan sinyal-sinyal asmara ala
Botan Dourou, mitologi tentang seorang samurai yang jatuh cinta kepada arwah
berwujud wanita cantik pembawa lentera. Namun ia memang orang yang sopan dan
gemar bercerita tentang teman-teman kami. Saya izin kepadanya untuk pergi
sebentar ke toilet. Saya beranjak dari tempat duduk, mengarah ke toilet,
berusaha berpikir dengan jernih, lalu kembali dan menemukan bahwa ia sudah
tidak berada di sana.
Ia juga tidak ada di sekitar tempat itu.
Saya menunggunya beberapa lama. Lalu entah bagaimana
ceritanya, lewatlah Hara, ilustrator buku ini. “Hai, Yoshimoto. Kebetulan
sekali. Saya hendak mengantarkan ini ke rumahmu. Kau kan juga wanita,” ujarnya,
sembari memperlihatkan sebuah benda, sebatang ranting besar yang berbunga
anyelir merah.
“Kau sendiri yang membuatnya?” tanya saya.
“Bukan. Numata yang membuatnya,” jawabnya. Jelas bahwa
Numata yang dia maksud adalah si Numata Genki.
Setelah itu kami minum teh sebentar, kemudian berjalan kaki
bersama. Sampai di adegan itu, saya terbangun, dan memikirkan apa sesungguhnya
arti dari mimpi itu.
Apakah ia, yang sudah berkalang tanah itu, betul-betul ingin
menjangkau saya sehingga kami terhubung melalui mimpi, lalu ia menyaksikan
kegamangan saya dan memutuskan untuk menghilang? (Memang begitulah orangnya.)
Lalu apa maksud kehadiran Hara? Apakah ia hendak
menyelamatkan saya yang sudah dalam kondisi seperti Hoichi Tanpa Telinga,
folklor Jepang tentang seorang tuna netra bernama Hoichi yang telinganya
dipotong sebab ia memantrai tubuhnya—kecuali telinga—agar tidak dibawa oleh roh
jahat? Atau ia memang murni seseorang yang kebetulan saja melintas? (Memang
begitulah orangnya; bedanya, ia belum meninggal.)
Kalau melihat dari frekuensi kemunculan Hara di mimpi saya,
jangan-jangan saya sendiri sebetulnya mencari sosoknya. Saya memikirkan hal-hal
itu dengan serius, tapi sepertinya saya tidak pernah merasa mencarinya. Bagi
saya, ia hanyalah orang yang numpang lewat, doyan bercerita, dan teman sesama pengeroyok
sup nabe.
Selanjutnya, dari mana Numata Genki muncul? Mengapa?
Misteri ini mengundang misteri berikutnya.
Yang terpenting, saya merasa kesepian karena tidak bisa
meneleponnya langsung untuk menceritakan mimpi yang saya alami.
Sebab seiring waktu, ini akan menjadi kisah yang lucu untuk
ditertawakan.
Saya, juga untuknya, akan menjalani hidup dengan lebih
bergembira. Kalau pun ia sendiri berpulang dalam kondisi tidak sedang
bergembira, ia tidak akan iri dengan kegembiraan saya—memang begitulah
perangainya. Saya dan kawan-kawannya yang lain yakin bahwa hal itulah yang akan
membuatnya bersukacita.
**
Diterjemahkan dari 死んだ人の夢, salah satu tulisan dalam kumpulan esai karya Yoshimoto Banana berjudul 夢について(Perihal Mimpi).
Judul buku: 夢について
Penulis: Yoshimoto Banana
Tahun Terbit: 1994
Penerbit: Gentosha Inc.