Pagi itu saya agak uring-uringan.
Seharusnya saya menumpang pesawat menuju Surabaya yang
berangkat pukul 09.35, tetapi sekitar pukul 09.00 terdengar pemberitahuan
melalui pelantang di ruang tunggu:
Sedang ada perbaikan landasan pacu di Bandara Juanda,
Surabaya, yang menyebabkan operasional bandara ditutup selama empat jam.
Artinya, saya paling cepat bisa sampai di Surabaya pukul
13.00 dan saya jadi punya waktu sekitar tiga jam sembari menunggu penerbangan.
Sialnya, saya alpa membawa bahan bacaan.
Saya memutuskan untuk mampir ke Periplus yang ada di ruang
tunggu. Beberapa buku sempat menarik perhatian saya.
The Courage To Be Disliked. Saya sempat menikmati drama
televisinya yang tayang di Jepang, berjudul sama: Kirawareru Yuuki. Tangan saya
hanya membolak-balik buku itu, lalu saya letakkan kembali ke rak karena saya
ingin membaca versi bahasa asalnya saja.
The Subtle Art Of Not Giving A F*ck. Buku yang sering
mondar-mandir dalam penglihatan saya—karena ia bestseller dan warna sampulnya
luar biasa mencolok—ini pun akhirnya saya letakkan kembali di tempatnya karena
sejatinya saya adalah orang yang mahacuek sejak lahir. HAHAHA.
Rainbirds. Nama penulisnya tidak asing bagi saya. Ada label
30% tertempel di luarnya. Dua hal itulah yang melatarbelakangi keputusan saya
untuk membeli buku ini (meskipun pada akhirnya saya harus membayar penuh karena
periode potongan harga itu sudah berakhir sehari sebelumnya).
Bagi saya, Rainbirds adalah novel yang mudah dibaca,
sederhana, dan menghanyutkan. Alurnya tenang sekali, tidak grasa-grusu, dan
memberikan penggambaran dengan porsi yang pas untuk setiap adegan yang muncul.
Dialognya juga proporsional dan sesuai dengan sikon saat kejadian, bukan tipe
dialog-pendek-absurd-sok-puitis-dan-filosofis.
Di atas semuanya, yang memenangkan hati saya adalah:
detailnya.
Clarissa Goenawan mengambil latar belakang Jepang untuk
novel ini, dan ia menggunakan nama-nama orang Jepang, latar tempat di beberapa
kota di Jepang, iklim Jepang, dan istilah-istilah Jepang (seperti zori dan
osechi). Ya, ini juga yang dilakukan banyak penulis ketika menulis cerita
berlatar Jepang, tapi banyak yang hanya berhenti pada hal-hal itu.
Namun, tidak demikian dengan Clarissa. Ia tidak alpa
mengisahkan detail-detail yang justru menghidupkan nuansa Jepang dalam
ceritanya.
Saat Ren
pamit dari Yotsuba, kepala sekolah mengatakan, “thank you for your hardwork”
yang merupakan terjemahan dari otsukaresamadeshita.
Saat
memasuki kedai makan, pemilik warung menyambut dengan “Welcome!” yang merupakan
terjemahan dari irasshaimase.
Saat akan
memasuki rumah Kato, Ren diceritakan melepas alas kakinya.
Saat
tertinggal bus terakhir, Ren berjalan kaki selama dua jam.
Saat memilih
apartemen baru selepas pindah dari kediaman Kato, pertimbangan Ren (dan masukan
Honda) adalah jarak dari stasiun atau halte bus dan swalayan terdekat.
Perubahan
penyebutan nama tokoh antara nama diri dan nama keluarga, misalnya Ren dan
Ishida.
Beberapa poin di atas adalah titik
penting yang semakin menguatkan Rainbirds secara keseluruhan. Semuanya Jepang banget! Saking detailnya penceritaan, saya sampai merasa bahwa
novel ini ditulis oleh penulis Jepang dan diterjemahkan ke bahasa Inggris oleh
penerjemah yang sangat baik. Bahkan saya sampai bisa membayangkan dialog-dialog
itu dalam bahasa Jepang, saking nyatanya dan saking “ya memang beginilah reaksi
atau diksi orang Jepang dalam kondisi ini”.
Setelah Aroma Karsa, saya belum
pernah lagi membaca satu buku sampai akhir. Sampai akhirnya Rainbirds datang
ke genggaman saya melalui insiden penutupan bandara. Saya kemudian berikrar
memasukkan Rainbirds dalam daftar bacaan terfavorit saya. Di sana sudah ada
Things Fall Apart, Of Mice And Men, Cannery Row, dan Vegetarian.
Mbak Clarissa, aku bocahmu!
130219