Ada dua orang kecil yang tinggal bersamaku di sini.
Mulanya aku tinggal seorang diri. Kalau sedang banyak angin
yang menerbangkan debu-debu sehingga mereka akhirnya hinggap dan menumpuk di beberapa
sudut, dirikulah yang akan mengambil sapu dan mengangkat debu-debu itu. Kutaruh
mereka di dalam wadah di pojokan, yang beberapa hari sekali kulempar ke luar.
Kalau aku sedang lupa menutup gelas yang isinya juga lupa
kuhabiskan, lalu seekor kucing masuk melalui pintu yang lupa kututup, kemudian
ia dengan anggunnya menyenggol gelasku dan menumpahkan isinya, dirikulah yang
akan mengambil lap dan mengeringkan bekas senggolan tak sengaja itu. Kutaruh
gelasnya di bak cuci piring, yang baru akan kubersihkan beberapa waktu
setelahnya.
Kalau hari-hari membuatku penat raga dan jiwa hingga tak
sempat melirik apapun lantas teralihkan dari melemasnya daun dan menghitamnya
kelopak mawar yang kutaruh di vas di meja tengah, dirikulah yang akan
membungkuk-bungkuk minta maaf pada satu-dua batang mawar merah—atau putih, yang
lebih jarang kutemui sehingga jarang pula mampir ke atas meja—atas kelalaianku.
Kubuang mereka dengan segenap penyesalan, lalu kucuci vasnya, yang entah berapa
lama lagi baru akan berisi kembang segar.
Sebab terlalu lama sendiri, aku tak pernah mempersoalkan
apapun. Sudah kubilang tadi: aku terbiasa sendiri dalam membersihkan debu-debu,
mengelap tumpahan air, dan mencuci wadah kembang. Kalaupun ada yang tak biasa
kulakukan, barangkali itu adalah mengangkat sekarung beras. Lebih-lebih yang
ukuran 25 kilogram. Dua minggu sekali aku membeli beras di pasar. Ada sekitar
enam karung dan tiga bak berisi beras berjejer di atas sebuah meja rendah.
“Yang paling pulen, Pak,” kataku. Aku tak menunjuk salah satu karung ataupun
bak. Kupercayakan seluruhnya pada si bapak penjual.
“Yang ini, Neng? Sekilo tiga belas ribu.”
“Kalau yang ini?” Ah, toh akhirnya aku menunjuk juga ke
salah satu karung.
“Sebelas ribu, Neng. Yang ini sebelas setengah, yang ini dua
belas, yang ini sepuluh setengah.”
Aku memilih untuk percaya pada petunjuk si bapak penjual.
Beras paling pulen, tiga belas ribu rupiah, satu kilo. Sebab aku hanya selalu
beli beras sebanyak satu kilo, jadi aku tak punya alasan untuk mengangkat
sekarung beras 25 kilogram, apalagi membelinya. Itu hanya akan membuat mereka
menjadi sarang kutu-kutu kecil berwarna hitam, dan rasa berasku akan berkurang
drastis.
***
Aku sedang mengupas jambu biji saat dua orang kecil itu
datang. Mereka datang pada saat yang bersamaan. Untunglah postur tubuh mereka
sedikit berbeda—meskipun sama-sama kecil dan mengenakan kacamata, sehingga aku
mudah mengingat keduanya.
Orang kecil Satu tubuhnya agak tambun. Bukan tambun, hanya
agak tambun saja. Perutnya sedikit buncit, lipatan-lipatan dagunya cukup
kentara. Adapun postur orang kecil Dua berkebalikan dengan orang kecil Satu:
kurus, tak ada perut buncit, tak tampak lipatan dagu. Oh, ada lagi yang
berbeda: senyum orang kecil Dua lebih manis dan segar dibandingkan senyum orang
kecil Satu, yang tak pernah menghilangkan kesan serius dari wajahnya.
Kupersilakan orang kecil Satu dan orang kecil Dua duduk
terlebih dahulu. Kulanjutkan aktivitasku. Jambu biji yang sudah kuupas lantas
kuiris, kutata di piring, dan kuhidangkan di atas meja di depan mereka.
“Silakan,” kataku, “saya akan mengambil minuman dahulu di dalam.”
Saat aku kembali dengan nampan dan dua gelas minuman di
atasnya, kulihat jambu biji yang tadi kuupas telah tandas.
Mereka berdua tersenyum. Kali ini sama-sama manis dan segar.
Mereka menyenangi (jambu-biji)ku. Begitu pikirku.
***
Sebab aku pun menyenangi orang kecil Satu dan orang kecil
Dua yang terbukti lahap menyantap jambu biji yang kuhidangkan, kuizinkan pula
mereka tinggal bersamaku di sini. Setidaknya aku jadi punya kawan untuk berbagi
jambu biji. Atau durian, jika nanti tiba musim durian.
Aku merupakan tipe orang yang tak banyak berkata-kata, jadi
tak banyak obrolanku dengan mereka berdua. Aku pun bahkan tak pernah bertanya
apakah mereka betul menyenangi jambu bijiku saat itu.
Orang kecil Satu, ternyata, mengeluarkan kata-kata dengan jumlah
yang jauh lebih sedikit daripada aku. Aku terkadang merasa takut padanya,
terlebih di wajahnya jarang sekali tersunggi segaris senyuman. Seingatku hanya
satu kali saja ia melakukannya, ya ketika aku kembali dengan dua gelas minuman
itu.
Orang kecil Dua, kupikir sama saja denganku. Irit kata-kata
juga, tapi tidak separah orang kecil Satu. Tapi aku tak pernah takut padanya.
Oh pernah, satu kali saja. Saat itu aku mengajaknya ke pasar melewati jalan
yang belum pernah kulalui sebelumnya. Kami berhasil sampai di pasar dengan
selamat, tapi butuh waktu empat kali lipat saat kami kembali dari pasar. Aku
membawanya melintasi jalan-jalan yang ternyata salah. Aku capek, dan kupikir ia
pasti lebih capek sebab ia orang kecil yang kakinya pendek saja sehingga butuh jumlah
ayunan kaki yang lebih banyak.
***
Suatu hari, aku berinisiatif mengajak mereka bermain. Permainan
ini ideku sendiri, dan belum pernah kumainkan sebelumnya. Aturan mainnya
sederhana saja. Aku bersembunyi, lalu orang kecil Satu dan orang kecil Dua akan
mencariku sampai ketemu. Siapa yang terlebih dahulu menemukan aku, itulah
pemenang permainan ini. Pagi harinya aku sudah menyiapkan sepiring martabak
daging dan semangkuk es mentimun sebagai hadiah bagi pemenang.
Aku sudah bersembunyi. Dari tempatku ini, sungguh aku
leluasa sekali mengamati pergerakan mereka.
Orang kecil Satu, kulihat ia masuk sebentar ke dalam rumah.
Ditentengnya palu saat ia keluar. Aku terkejut dengan barang bawaannya itu, dan
tak bisa berhenti menebak-nebak apa yang ia lakukan selanjutnya.
Langkah orang kecil Satu tak salah lagi sudah menuju ke
arahku. Jelas tak seru kalau ia bisa menemukanku dengan mudah.
Oh, sepertinya aku salah.
Di akhir langkahnya, orang kecil Satu berbelok. Ia menghadap
tembok yang berdiri di sebelah kananku, tak jauh dari tempat persembunyianku.
Tangannya mulai berayun. Palu yang ia pegang dihantamkannya
ke tembok. Satu kali, dua kali. Pada hantaman ke sekian kali, tembok mulai
bergetar.
Kualihkan pandangan mata kepada orang kecil Dua. Tadi begitu
orang kecil Satu masuk ke dalam rumah, orang kecil Dua juga ikut berbalik
badan. Namun ia mengambil jalan memutar ke luar, lalu berbelok lagi, melipir
lewat jalan samping yang tembus ke belakang.
Orang kecil Satu terus saja menghantam tembok.
Orang kecil Dua tak menghentikan langkahnya berjalan ke belakang
rumah.
Aku masih menunggu salah satu dari mereka berteriak,
“ketemu!” saat melihatku, yang kemudian akan kuhadiahi sepiring martabak daging
dan semangkuk es mentimun.
Foto:
https://www.pexels.com/photo/person-foot-prints-on-sands-photo-723997/