Kemarin malam, saat aku sudah mematikan lampu dan menata
selimutku, sebuah pesan masuk. Darimu. Bagaimana kalau besok kita makan es krim
di kedai di Jl. Tangkuban Perahu? Begitu pesanmu. Aku tak terlalu banyak
berpikir. Sudah lama aku tak makan es krim, dan kupikir aku juga merindukan
sensasi dingin-lembut-manis hadir di mulutku. Kubalas, baiklah, kita pergi
besok siang.
**
Aku tak tahu kenapa kamu mengajakku pergi ke kedai ini. Menurutku,
kalau aku ingin makan es krim, dan aku bertanya kepada seluruh penduduk kota
ini ke kedai mana aku harus pergi, aku yakin mereka pasti menyebutkan kedai di
Jl. Merdeka—sebuah kedai yang sudah berdiri bahkan sejak ayahku belum lahir. Dan
aku pun berpikiran begitu: kita tidak seharusnya pergi ke sini.
“Ini tempat rahasia yang hanya diketahui oleh orang-orang
tertentu,” katamu, yang kausambung dengan sebuah tawa lepas. “Nanti kamu akan
selalu ingin ke sini kalau sedang ingin makan es krim.”
Tawa lepasmu itu beberapa menit kemudian berganti menjadi
sebuah kemurungan. Menu yang kau inginkan—roti irisan tebal dengan es krim
serta campuran potongan pisang dan almon—sedang kosong. “Padahal menu itu yang
ingin aku pamerkan padamu,” nadamu terdengar sedih waktu itu, yang entah
mengapa membuatku ingin tertawa—namun aku setengah mati menahan tawaku.
Setelah beberapa kali membolak-balik halaman buku menu,
akhirnya kau memesan roti dengan taburan keju, dan aku meminta roti cokelat.
Kau diam. Tanganmu sibuk memainkan gawai, kakimu bergerak-gerak
kecil.
Tidak biasanya kau begini. Apakah kau sedang gugup?
Tapi aku tak mau memikirkan hal itu. Semalam kau yang
mengajakku kesini. Pastilah kau ingin bercerita mengenai sesuatu yang
menyenangkan. Mungkin tentang sulamanmu yang sudah selesai, kucingmu yang
semakin menggemaskan, sketsa gambarmu yang akhirnya beres, atau proyek
terjemahan freelance-mu yang sudah
kaukirim pada klien.
“Maaf,” katamu. Singkat saja.
Aku tak tahu harus bereaksi apa. Terlebih, aku tak tahu arti
ucapanmu barusan. Meminta maaf bisa memiliki sejuta kemungkinan, bahkan lebih. Atau
mungkin juga kurang. Tapi tetap saja ada banyak kemungkinan di balik kata maaf
tersebut.
Kau meminta maaf untuk apa? Karena tadi kau berdandan
terlampau lama sehingga aku harus menunggu lebih lama? Kupikir itu bukan
masalah besar, dan aku memang tak pernah mempermasalahkannya. Atau karena kau
tak kunjung menjawab pertanyaanku waktu itu? Kalau benar begitu, aku harus bersiap-siap
untuk tetap tersenyum dan terlihat biasa saja, seolah tak ada apapun yang
terjadi.
“Maaf.” Dua maaf. Aku benci ini.
Pelayan datang membawa dua piring. Masing-masing berisi roti
cokelat.
“Kupikir aku tadi memesan roti keju,” kau menggumam, namun
tetap mengambil pisau dan garpu, lantas mulai mengiris roti.
“Begitukah? Akan kubilang kepada pelayan biar rotimu
diganti.” Kataku.
“Biarlah. Roti cokelat bukan menu yang buruk. Kurasa aku
memang memerlukan sesuatu yang manis.”
“Kenapa?”
“Akhir-akhir ini hidupku hambar sekali. Beberapa hari lalu
kucingku mati, kakakku menemukannya di pinggir jalan, katanya mungkin ia
tertabrak. Kemarin klien marah-marah padaku karena terjemahanku tidak memenuhi
standar mereka. Kemarin lusa adikku menumpahkan susu cokelat di atas bantal
kesayanganku dan nodanya tidak bisa hilang.” Kau mengiris-iris rotimu menjadi
beberapa bagian, mengiris tiap bagian menjadi potongan yang lebih kecil, dan
begitu seterusnya
.
“Kurasa hari ini kamu lebih baik menyantap roti cokelat
daripada roti keju.”
Kau hanya mengangguk.
“Lalu, untuk apa kau tadi meminta maaf?”
Kau meletakkan pisau, mulai menusuk roti yang potongannya
menjadi sangat kecil tadi dengan garpu, dan memakannya.
Kau diam saja.
Kedai tidak begitu ramai. Hanya ada dua pengunjung di pojok
ruangan dan dua lagi di meja tengah. Terdengar lagu Happy milik Pharrel
Williams dari pengeras suara kedai. Aku merasa ia tidak seharusnya
diperdengarkan sekarang.
Lantas kita sama sekali tidak berbicara sampai piring kita
tandas.
asdfghjkl, 250515