Sewaktu SMA, pengajar
kursus-bahasa-Inggris saya sering bercerita tentang China Benteng. Beliau
bercerita begini— bukan bermaksud rasis, “kalau yang kalian lihat selama ini,
kan orang Tionghoa itu kulitnya putih, tajir, gitu ya. Nah sebenernya ada lho orang
Tionghoa yang item dan nggak tajir. Namanya China Benteng, di Tangerang sana.” Maklum,
sebelumnya dia, yang juga seorang Tionghoa, adalah manajer cabang kursus
tersebut di Tangerang.
Cerita itu, dan nama “China Benteng” sangat melekat di
benak saya—karena pengajar itu sering menceritakan sesuatu yang sama berulang
kali.
Ketika beberapa hari
yang lalu ada email masuk dari milis @jakartabytrain tentang Jakarta by Train
Go West Tour, saya curiga jangan-jangan tur ini akan membawa saya ke China
Benteng. Setelah mempertimbangkan beberapa hal, akhirnya hari Kamis saya
memutuskan untuk bergabung menjadi peserta tur kali ini.
Bersama 16 peserta
lain, kami berangkat dari Stasiun Manggarai pukul 09.20. Dengan rute Manggarai-Duri-Tangerang,
kami sampai di stasiun Tangerang sekitar pukul 11.00. Sebenarnya tidak selama
itu, karena kami juga harus menunggu kereta dari Duri ke Tangerang sekitar 30
menit.
Setelah bercengkerama
di stasiun Tangerang sekitar 40 menit—hujan turun deras sekali begitu kami
sampai di stasiun dan sempat ada sedikit teguran dari pihak keamanan karena
kami mengambil foto beramai-ramai di sana— akhirnya kami mulai berjalan menuju
destinasi pertama kami: Kelenteng Boen Tek Bio.
Keluar dari stasiun
Tangerang, ada dua rute yang dapat ditempuh menuju kelenteng. Pemandu tur kami,
yang tidak lain adalah pengelola situs jakartabytrain.com, menyarankan kami
untuk belok kanan dan mengambil rute dengan menyusuri Sungai Cisadane. Pilihan
rute lainnya adalah belok kiri melewati Pasar Lama, yang tidak kami ambil
karena jalanan menuju ke sana pasti becek selepas hujan deras.
Sekitar satu kilometer
dari stasiun, tampak sebuah plang bertuliskan Boen Tek Bio di mulut sebuah
gang. Kelenteng Boen Tek Bio ada di ujung gang tersebut. Di sepanjang jalan
menuju kelenteng, terdapat beberapa warung makan yang menjual bubur, bakso,
ataupun mie, dengan tambahan daging babi. Hampir semua mencetak menu mereka
dengan huruf besar dan warna terang, mungkin memastikan agar yang akan makan di
warung mereka tahu bahwa mereka menyajikan daging babi.
Informasi mengenai kelenteng
Boen Tek Bio ini minim sekali. Satu-satunya informasi yang kami dapat dari
pemandu tur adalah: kelenteng ini merupakan kelenteng tertua di Tangerang—tidak
tahu dibangun pada tahun berapa. Ada satu lagi informasi yang tertulis dengan
jelas di bagian depan kelenteng, di atas sebuah lonceng besar: Juli 1940. Entah
peristiwa apakah yang ingin ditunjukkan dengan menuliskan bulan dan tahun
tersebut.
Sebenarnya pemandu
berencana agar kami bisa masuk ke dalam kelenteng, melihat apakah ada
benda-benda yang memiliki nilai sejarah dan juga memperoleh informasi mengenai
keberadaan kelenteng tersebut. Namun urung, lantaran saat itu banyak orang
sembahyang.
Kami melanjutkan
perjalanan ke Museum Benteng Heritage, yang letaknya hanya seratus meter dari kelenteng
Boen Tek Bio.
Tidak ada plang
ataupun penunjuk yang memberitahukan bahwa salah satu bangunan di Pasar Lama
tersebut adalah sebuah museum. Pun dari luar, bangunannya mirip sebuah rumah
biasa. Hanya sebuah plakat bertuliskan “Museum Benteng Heritage” yang terpasang
di tembok bagian depan yang berfungsi sebagai penanda. Ukurannya pun tidak
cukup besar dan mencolok. Museum Benteng Heritage—meskipun mengusung judul
“Benteng”, sebenarnya memiliki tagline Museum Kebudayaan Indonesia-Tionghoa
pertama di Indonesia.
Museum Benteng Heritage
Dengan membayar tanda
masuk sebesar Rp 20.000—ini adalah museum dengan harga tiket termahal yang
pernah saya kunjungi—, kami menunggu jadwal tur museum yang akan dimulai pada
pukul 13.00.
Bersama dua rombongan lain,
kami memulai tur museum Benteng Heritage bersama seorang pemandu dari pihak
museum. Awalnya dikisahkan bagaimana asal mula nama China Benteng, yaitu karena
VOC setelah datang ke Jakarta banyak membangun benteng-benteng di sepanjang
Sungai Cisadane sebagai pertahanan dari serangan Kerajaan Banten saat itu, dan
banyak masyarakat etnis Tionghoa yang tinggal di sekitar benteng tersebut. Meskipun
sekarang tidak ada lagi bekas benteng yang pernah dibangun Belanda tersebut,
namun nama China Benteng tetap digunakan.
Gedung Museum Benteng
Heritage terdiri dari dua lantai, diperkirakan dibangun pada abad 17. Namun
tidak ada foto dari bagian dalam museum karena pengunjung tidak diperbolehkan
mengambil gambar. Lantai satu, yang lantainya menggunakan terakota, adalah
sebuah ruangan besar dengan banyak meja dan kursi, yang selain digunakan
sebagai tempat untuk memberikan penjelasan mengenai restorasi bangunan awal
museum, juga sebagai tempat jamuan makan bagi pengunjung yang ingin menikmati
kuliner peranakan/Babah Tangerang. Ada juga prasasti Tangga Jamban—namanya
nggak enak dibaca, ya :) —yang ditemukan
di dekat sungai Cisadane.
Di lantai dua, karena
lantainya terbuat dari kayu, maka pengunjung diminta untuk melepas alas kaki
saat naik. Lantai kedua berisi benda-benda terkait kebudayaan China, di
antaranya adalah sempoa China, yang ternyata berbeda dengan sempoa Jepang yang
saat ini lebih luas penggunaannya; replika kapal Laksamana Cheng Ho dan
penjelasan mengenai ekspedisi beliau; sepatu mungil yang digunakan untuk membebat
kaki wanita bangsawan China pada masa lalu; meja mahjong—yang ternyata memiliki
banyak laci rahasia; dan ranjang pengantin—lengkap dengan penjelasan prosesi
pernikahan ala masyarakat China Benteng.
Tur museum selama
sekitar satu jam ini berakhir di sebuah toko suvenir di lantai satu sebelah
selatan yang menjual berbagai macam barang, mulai dari kecap buatan pabrik di
Tangerang yang sudah ada sejak tahun 1930an, buku-buku, kaos, hingga lukisan. Pun
demikian, yang paling banyak diserbu pengunjung adalah kecap. Konon, kecap ini
rasanya lebih enak daripada kecap yang sering memasang iklan di televisi.
Berakhirnya tur Museum
Benteng Heritage tidak membuat Jakarta by Train Go West Tour berakhir. Kami makan
siang-agak-sore di warung ayam bakar,
tidak begitu jauh dari Menara Jam Damatex di ujung jalan keluar museum. Seusai
makan, kami kembali ke Jakarta dengan kereta dari Tangerang pukul 16.20.
Selain bertemu
orang-orang baru—ada seorang peserta yang ternyata juga alumni STAN—dan
mengunjungi tempat baru, yang paling membahagiakan adalah saya akhirnya bisa
melihat sendiri apa yang dikisahkan berkali-kali oleh pengajar kursus bahasa
Inggris saya sewaktu SMA dulu. Yang membuat saya berujar: ooooh, ternyata ini toh
yang dulu diceritakan.
Ditemani suara kipas
angin di kamar,
15 Maret 2014
Ceritakan padaku
tentang sesuatu: apa, siapa, bagaimana, mengapa, dan di mana. Suatu saat aku
akan menjejakkan kaki dan menghirup udara di tempat itu.