“Aku suka Atticus. Ini kalimat yang pernah ia ucapkan yang
kemudian menjadi favoritku: "Bukankan kau suka berkhayal? Pura-pura saja
kau berada di rumah Radley."”
“Siapa Atticus? Pacarmu? Dan siapa Radley? ”
“Lihatlah langit di sebelah sana. Gelap sekali. Sepertinya sebentar
lagi hujan turun dengan deras di sana. Rumahmu ada di arah sana kan? Sebaiknya
nanti kau pulang membawa payung dan mantel yang selalu kau simpan di lacimu.”
“Aku merasa sangat keren kalau hujan-hujanan. Apalagi kalau
setelahnya aku tidak terkena flu atau demam.”
Aku kembali pada buku di tanganku. Aku sadar sepenuh hati
bahwa membaca buku memerlukan tempat dan waktu yang tepat: tak boleh ada yang
ngobrol di dekatku. Otakku secara otomatis akan menyuruh telingaku untuk
menguping, ketimbang fokus melanjutkan bacaan. Dan tentu saja tak boleh ada yang
mengajakku ngobrol. Bisa-bisa aku membaca satu paragraf yang sama sampai lima
kali.
Seperti kali ini. Ia berbicara lagi.
“Hei, kau belum menjawab pertanyaanku. Siapa Atticus?”
Aku mengulang bacaanku ke kalimat pertama.
“Apakah dia pacarmu?”
Kuhentikan bacaanku.
“Kenapa kau tak memperkenalkannya padaku?”
Mataku mundur, membaca beberapa kata terakhir di kalimat
pertama.
“Dan siapa Radley?”
Kuhembuskan nafas, agak keras. Aku menutup buku dan
memasukkannya ke tas.
“Mendung. Aku mau pulang.” Aku pergi dengan langkah cepat.
Buru-buru ia memberesi gawainya—ia punya empat buah dan
semuanya selalu ia bawa kemanapun— dan memasukkannya ke dalam tas, kemudian
menyusulku .
Aku suka berkhayal. Dan sekarang aku berpura-pura melihatnya
sedang hujan-hujanan. Tanpa payung, tanpa mantel. Dia keren sekali.
Hey, lusa sudah bulan baru.
もっと 頑張りましょうよ!
300114