Bukan tentang jumlah pesan masuk dengan isi hampir sama yang
jumlahnya menurun lantaran lebih banyak yang ‘lempar’ pesan di grup. Bukan juga
tentang ketupat dan opor yang tidak ada di meja makan di rumah, karena memang biasanya
baru terhidang di H+7 Lebaran.
Bukan juga tentang kamu.
-
Gresik. Jalanan penuh. Mobil banyak, sepeda motor apalagi.
Era “Jalanan sepi pas Lebaran” mungkin sudah berakhir beberapa tahun lalu. Pun
tahun lalu seingatku jalan raya tak seramai ini. Kurasa ini pengaruh dari
meningkatnya kesejahteraan masyarakat dan ketidakpuasan terhadap kondisi angkutan
umum. Atau mungkin ada juga pengaruh dari tingginya rasa gengsi, yang membuat
seseorang membeli sepeda motor karena tetangganya mempunyai sepeda motor baru
juga.
-
Mobil angkot berjalan dengan kecepatan minimum. Mencari penumpang. Atau menunggu penumpang?
Berharap ada yang tiba-tiba muncul dari belokan di ujung jalan kemudian
melambai, ikut naik sampai di tempat tertentu. Karena kisah tentang orang-orang
yang mengenakan pakaian terbaik di hari Lebaran berdiri di pinggir jalan raya
menunggu angkot lewat sudah bukan topik yang asik untuk dibicarakan. Tema
tentang siapa yang punya mobil baru di Lebaran kali ini jauh lebih menarik.
-
Angkutan massal sepertinya sudah berkurang popularitasnya di
mata sebagian orang. Di jalan kecil menuju makam kakekku, berjejer tiga mobil
dengan plat B. Yang kupikirkan cuma satu saat itu: luar biasa. Aku bisa tidur
di kereta atau pesawat, tapi orang-orang ini begadang menyetir mobil dari
Jakarta ke Gresik.
-
Kasur di kamar Bulik mengecil. Meskipun sesungguhnya ukuran
tubuh kami yang membesar. Dulu kasur ini muat untuk tujuh, bahkan delapan
orang. Tempat kami semua, keponakan-keponakan perempuan, tiduran dan
bersembunyi dari tamu-tamu simbah yang tidak kami kenal. Tahun ini aku dan
beberapa sepupuku mengalah tidak ikut tiduran dan bersembunyi di kasur.
Sepupuku yang lain yang jumlahnya empat orang sudah memenuhi seluruh bagian
kasur.
-
Aku jadi sering membuka dompet. Meskipun dulu juga begitu,
untuk memasukkan uang Lebaran dari saudara-saudara yang baik hati mau
menyisihkan sebagian gaji atau bahkan menambah hutang mereka dan berharap
selalu bertemu lagi tahun depan dengan uang Lebaran yang lebih besar. Namun
harapanku itu harus kuhentikan tahun lalu, karena mulai tahun lalu uang
Lebaranlah yang keluar dari dompetku. Aku sendiri juga tak tahu apakah aku
melakukannya agar aku dianggap punya banyak uang, baik hati, suka menolong,
sukses di tanah jauh, sekedar ikut-ikutan, atau yang lainnya.
-
Bertemu setahun sekali tak membuat durasi pertemuan itu
menjadi lebih lama. Dulu, pukul 9 aku sekeluarga sudah sampai di rumah simbah.
Setelah saling bertukar senyum, uang, dan kabar—baik yang benar terjadi maupun
rekayasa agar terdengar hebat, kami mampir ke rumah tetangga simbah. Kemudian
ke rumah adik-adik simbah yang masih satu kecamatan. Lalu kembali ke rumah
simbah. Disambung makan bakso dan es kelapa muda atau es campur sambil nonton televisi.
Tahu-tahu bangun sudah di kasur Bulik. Sore, baru kami saling bertukar senyum
lagi, terkadang ditambah kecup di pipi. Beberapa tahun belakangan, bakso sudah
dicoret dari menu Lebaran karena penjualnya, yang menyewa salah satu petak
milik simbah di belakang rumah, meninggal dunia. Kami menggantinya dengan
jajanan macam siomay, rujak buah, pempek, dan es krim yang dibeli di alun-alun.
Tidak sampai sore, tapi sudah lewat cukup lama dari siang hari. Tahun ini, tak
ada jajanan. Dan lepas pukul 13, rumah simbah sudah sepi.
-
Biasanya aku tenang-tenang saja ketika Lebaran karena aku
punya tameng yang kekuatannya luar biasa: kakakku. Pertanyaan yang katanya
menyebalkan bagi para single, seperti “kapan menikah?” selama ini selalu hanya
ditujukan pada kakakku. Tapi kisah menjadi lain karena Juni lalu kakakku
menikah. Tahun ini, akulah korbannya. Oh my, ternyata pertanyaan itu memang
menyebalkan.
-
Buku catatan transportasi mudikku selalu dipenuhi oleh bis.
Atau sepeda motor, meskipun seingatku hanya satu kali. Kali ini, aku bisa
menambah satu moda transportasi baru di buku catatan itu: mobil. Meskipun penuh
dengan logistik makanan; bisa bergerak lebih bebas; bisa memutar lagu sesukaku;
tapi setelah tiba di tempat tujuan, aku sampai pada keputusan ini: aku lebih
suka mudik dengan bis daripada mobil. Karena di bis aku tak perlu mendengar
cerita-cerita yang entah benar entah tidak.
-
Tulungagung. Lontong Tahu khas Tulungagung di warung pinggir
jalan. Kupikir akankah ia seperti Tahu Campur, Tahu Tek, atau Kupat Tahu yang
masih ada tambahan bahan lain. Lontong tahu ternyata benar-benar hanya berisi
lontong dan tahu. Dengan siraman kuah kecap yang dicampur bawang putih dan
petis, serta taburan daun bawang dan bawang goreng. Setelah makan, aku merasa
sangat beruntung lahir dan besar di Gresik.
-
Trenggalek. Tak sedingin biasanya. Tak lagi berkabut tebal
seperti biasanya ketika pagi. Aku bahkan tak menggigil ndeso seperti dulu
ketika bangun tidur atau tubuhku terkena air. Tak lagi malas mandi pagi-pagi.
Meskipun ketika aku berkata begitu kepada temanku yang tinggal di kota itu juga,
dia cuma bilang, “sek tetep adeeeem. Aku ae lho jaketan. Masih tetap dingiiiin.
Aku saja pakai jaket.”
-
“Anakmu ndak iso Jowoan to?” Aku cuma cengar-cengir. Bapakku
menjawab, “nek ngoko yo iso. Tapi nek kromo yo ngerti tapi angel ngomonge.
Kalau bahasa Jawa kasar ya bisa. Tapi kalau bahasa Jawa alus ya ngerti tapi
susah bicaranya.” Mungkin sepupu-bapak yang bertanya itu belum tahu bahwa aku
sangat jago sekali berucap dalam bahasa Jawa halus, “nggih, mboten, sampun,
dereng. Iya, tidak, sudah, belum.” Ada juga beberapa tambahan kata seperti
wonten, duko, sami-sami. Ada, entah, sama-sama.
-
Teguran kadang datang hanya dengan sebuah kalimat. Pakdheku
bertanya, “kantormu depannya kantor Pak Bidin (sepupu Bapak) to, Ndhuk?”
Kuiyakan. “Wong kantor cedhak ae kok ndak tau mampir iki piye lho. Kantor dekat
saja kok nggak pernah mampir ini gimana sih.” Setelah kutanyakan pada Bapak,
sehari sebelumnya ternyata Pak Bidin sudah berkunjung ke rumah Pakdheku ini. Pantas
Pakdheku tahu.
-
Alun-alun di malam hari. Tak begitu banyak orang, tapi
sebagian besar orang berkumpul di depan tulisan besar TRENGGALEK yang dipasang
di salah satu sisi. Antre berfoto. Mungkin untuk dipasang di layar ponsel, komputer,
atau sekedar tanda bahwa ini adalah salah satu kota yang pernah dikunjungi
selama hidup.
-
Seseorang dan lainnya terhubung oleh enam orang. Aku semakin
agak memercayainya ketika kemarin tahu bahwa rumah teman kosku semasa kuliah
ternyata ada di belakang rumah salah satu kerabatku, dan mereka saling
mengenal. Sayangnya ketika aku berkunjung ke rumah Belinda, temanku ini, dia
sudah tidak di rumah. Panggilan tugas membuatnya kembali ke Jakarta sehari
sebelumnya. Padahal aku di sini masih enak-enak makan kue dan minum soda.
-
Pertanyaan yang sama kuajukan setiap tahun ketika berkunjung
ke rumah kerabat. “Ini siapanya Bapak?” Tiap tahun pula Bapakku mengulang kisah
yang sama tentang silsilah keluarga. Dan tiap tahun aku mengangguk-angguk, sok
mengerti. Untuk kemudian di tahun berikutnya bertanya dengan pertanyaan yang
sama, “ini siapa?” Kurasa aku perlu menggambar silsilah keluarga mulai dari
buyutku, lengkap dengan nama dan foto tiap orang.
-
Trenggalek-Madiun. “Tahu kenapa begitu banyak makanan manis
saat lebaran? Karena ada banyak kepahitan yang perlu disembunyikan. -Ruslan,
buruh serabutan-.“ Twit @el_nonymous.
Saat itu aku tengah berada di satu titik di jalan penghubung Trenggalek-Madiun
yang berkelok-kelok mengikuti alur gunung. Dan saat itu pula aku ingin sekali
bertemu dengan Ruslan. Kalau dia ikut nyaleg, kurasa aku akan langsung
mendukungnya tanpa dia perlu memberiku pamflet berisi foto dan nama dirinya
serta lambang dan foto pemimpin partai.
-
Madiun. Pun tak sedingin dulu. Mungkin karena sudah ada
Matahari, Giant, Carrefour, dan A&W di kota ini. Mungkin juga karena salah
satu calon wali kotanya punya kekayaan Rp 12,8 miliar. Memang tidak ada
hubungannya sih. Aku hanya mencari sebab kenapa kota ini tidak dingin seperti
dulu.
-
Ponorogo. Cuma numpang naik bis. Karena sudah pasti tidak
ada kursi yang kosong kalau aku (dan Bapakku) naik di Madiun. Semua akan
menyenangkan kalau perjalanan ini berlalu seperti biasa. Tetapi menjadi tidak
menyenangkan ketika perjalanan Ponorogo-Gresik yang seharusnya enam jam
bertambah dua kali lipat menjadi sebelas jam lebih. Tak ubahnya seperti
perjalanan Surabaya-Jakarta dengan kereta api. Jalanan penuh dengan sangat
banyak mobil dan cukup banyak bis. Sepeda motor pindah jalur ke trotoar. Sampai
di sini, aku berpikir bahwa orang-orang yang naik mobil di jalanan ini sangat
egois. Anggota keluarga bertambah satu, beli mobil baru. Tetangga punya mobil,
ikutan beli mobil. Ada mobil murah, jadi beli mobil. Padahal sudah ada bis yang
bisa mengangkut banyak orang. Tapi kemudian aku sadar bahwa akulah yang paling
egois di antara orang-orang ini karena cuma bisa menyalahkan orang lain.
-
RATCHANOK INTHANON, THE YOUNGEST CHAMPIONS EVER. Pesan itu
(yang memang dikirim oleh temanku dengan huruf kapital) dan beberapa pesan lain
yang mengabarkan bahwa Owi-Butet dan Hendra-Ahsan memenangi Kejuaraan Dunia
Bulutangkis 2013 cukup membuatku sejenak lupa bahwa aku tengah berada di dalam bis
menuju Surabaya, bukan di gedung olahraga di Guangzhou ataupun di depan televisi
yang menyiarkan pertandingan itu.
-
Ah, kupikir aku bisa menyelesaikan sampai 26 poin. Ternyata
tidak. Kadang manusia memang menilai dirinya terlalu tinggi, sampai ia sadar
atau disadarkan bahwa kemampuannya tidak setinggi yang ia pikirkan.
Menjelang maghrib, 14 Agustus 2013
Selamat Hari Pramuka :)