Doumo :)
Kali ini saya menampilkan salah satu cerpen lama saya (saya membuatnya tahun 2012 2010). Cerpennya sendiri cukup panjang. So, be ready guys :)
Apa yang Kita Bicarakan Ketika Kita Bicara tentang Berlari
KITA
suka sekali berlari. Ketika hari telah menjadi sekarat, ketika burung-burung
memutuskan terbang pulang, ketika matahari menjadi terlalu berat, ketika
sebentar dia pancarkan semburat-semburat, dan pada akhirnya tenggelam di ujung
barat. Namun, tentu tidaklah kita mengejar matahari. Dulu kau pernah berkata
kepadaku, kita hanya berlari ke arah
barat. Kebetulan saja matahari juga tenggelam di barat. Tapi mungkin kita
berdua suka berlari adalah juga sebuah kebetulan.
Biasanya kita berlari-lari kecil
sampai di belokan ujung jalan itu, lalu mulai menambah kecepatan sampai di
pohon beringin di depan rumah sakit, lalu dari sana kita selalu mencapai
kecepatan tak terkira, dan selanjutnya kita akan berlomba siapa yang tercepat
untuk sampai lebih dulu di halte bus di dekat kantor gubernur.
Ketika aku
pertama kali bertemu denganmu, kau sedang sibuk mengatur nafas dan mengelap
butiran-butiran jagung yang menggelinding di wajahmu. Ketika itu aku belum tahu
kau memang rutin beristirahat di tempat yang akhirnya menjadi garis akhir kita
sekarang. Aku sendiri datang membawa lima puluh nafas putus-putus. Berantakan.
Berserakan asal-asalan.
Kala
itu aku belum terbiasa berlari.
Dari
situ akhirnya aku tahu namamu dan mengetahui satu fakta bahwa kau masih
tetanggaku, yang tinggal di belakang rumahku—pergaulanku tak begitu baik di
lingkungan rumah.
Dan sejak itu, setiap sore kita
selalu berlari bersama-sama. Dari garis awal, menuju garis akhir, yang selalu
sama.
Namun
seingatku—kumohon koreksilah aku jikalau aku salah dan kau sempat membaca
tulisan ini—sejak pertama kali aku mengenalmu, tak pernah kita berlari ke
timur. Tak mau kau kuarahkan kesana. Sampai hari ini, daerah timur dari
perjalananku adalah kenanganku bersama orang lain, bukan denganmu.
***
SATU
jam yang lalu kau datang ke rumahku, mengajakku untuk berlari seperti biasanya.
Tapi aku sedang tak enak badan. Sejak kemarin malam suhu tubuhku mendadak tinggi.
Dan belum juga reda. Entah tadi kau menyadari atau tidak, tapi wajahku merah
sekali. Dan hari ini aku terpaksa menolak rutinitas kita. Kita tak bisa berlari
bersama. Aku sedih tidak bisa menemanimu berlari. Entah kau pun sedih atau
tidak.
Setelah berlari, kita selalu mampir
ke kafe pinggir jalan yang letaknya tak begitu jauh dari kantor gubernur. Di
sana kita akan memesan menu yang sama, yang tak pernah berubah sejak pertama
kali kesana. Kau pesan jus wortel, sedangkan aku pesan jus tomat. Hanya itu.
Rasanya kita tak pernah tergoda untuk mencoba steak daging yang kabarnya lezat itu.
Dulu, ketika pertama kali kesana,
aku malu setengah mati. Waktu itu aku hanya mengenakan kaos oblong, celana
pendek, dan sepatu. Handuk melingkar di leherku. Wajah, leher, tangan, dan
kakiku berkilat-kilat oleh keringat yang belum kering. Bajuku berwarna lebih
gelap dari semula karena sudah basah oleh keringat. Sementara kursi-kursi di
kafe itu penuh dengan orang-orang berpakaian rapi, setidaknya tak ada yang
melingkarkan handuk di leher. Tapi kau memaksaku, sambil berkata bahwa kau saja
tak malu meski celanamu lebih pendek dari punyaku dan sepatumu lebih kotor dari
sepatuku lantaran noda lumpur menempel di hampir seluruh bagian sepatu dan
belum sempat kau bersihkan.
Mendadak aku jadi ingin minum jus
tomat sambil melihatmu minum jus
wortel, di kafe pinggir jalan dekat kantor gubernur itu.
Kau tentu tak tahu jika aku selalu
melihat tiap tingkahmu dan menyu….
Tok tok tok tok….
Oke. Ada seorang pengacau lamunanku
saat ini. Pengacau itu tengah mengetuk pintu keras-keras, dan di sela-sela
ketukan pintunya ia memencet bel berulang kali. Mungkin jika aku tengah tidur,
aku tak akan bisa bangun lagi karena detak jantungku akan berhenti dengan
tiba-tiba gara-gara raungan ketukan pintu dan bel yang sangat mendadak dan
meneror itu.
Aku berjalan lambat sekali karena
tubuhku benar-benar lemah. Aku ingin berteriak, “Hoi, berisik!” pada pengacau
di depan rumahku, tapi suaraku tak bisa keluar dengan lantang. Aku tadi sudah
mencobanya dan mungkin hanya telingaku yang mendengarnya. Cicak di dinding pun
mungkin tak mendengar teriakanku
tadi.
Pintu sudah kubuka. Pencetan bel
terakhir masih berbunyi keras.
Di depanku, seorang pengacau
berdiri. Tubuhnya berkeringat. Pakaiannya basah. Nafasnya terengah-engah.
Sesekali ia mengelap wajahnya dengan handuk yang tergantung di lehernya. Ia
tersenyum. Di tangan kirinya, ia menenteng sekantong sesuatu.
“Ini untukmu. Segelas jus tomat dari
kafe pinggir jalan dekat kantor gubernur.”
Aku terhenyak.
Kaulah
pengacau itu. Kaulah yang sejak tadi mengetuk pintu dan memencet bel dengan
tidak sabar. Kaulah yang membuyarkan lamunanku.
Tapi kau membawakanku jus tomat.
Jadi kau bukan pengacau.
“Masuk,” kataku. “Kalau kau selalu
mengetuk pintu dan memencet bel seperti tadi di rumah semua orang, lama-lama
tak ada yang mau menerimamu sebagai tamu.”
“Kenapa?” tanyamu setelah masuk dan
duduk di kursi tamu yang menghadap ke barat.
“Karena esoknya jika mereka ke
dokter, maka dokter akan menemukan bahwa tuan rumah-tuan rumahmu itu jantungan
gara-gara ulahmu.”
Kau tertawa, keras dan tak kunjung
berhenti, sampai sudut-sudut matamu mengeluarkan air mata. Kau bahkan sampai
memegangi perut dan menepuk-nepuk paha.
Padahal menurutku perkataanku tak
begitu lucu.
Perlahan-lahan tawamu habis.
“O iya. Besok kita lari ke timur,
yuk.” Ajakmu.
Wow. Aku sungguh terkejut. Aku tak
pernah menduga suatu hari kau akan mengubah haluan kita dan beralih menuju arah
timur.
“Bosan juga ke barat terus.”
“Kau bohong,” kataku, “bosan tak
cukup kuat untuk menjadi alasan bagimu untuk mengubah kebiasaan berlarimu yang
selalu ke barat itu. Apa alasanmu sebenarnya?”
“Aku ingin melihat bagaimana dunia
timur.”
“Cukup oke,” jawabku datar, “banyak
pohon, kendaraan tak bermesin motor, orang-orang yang lebih ramah, udara
sejuk…..”
“Bagaimana kau tahu? Kapan kau
pernah ke timur? Kita kan selalu berlari ke barat? Bukankah selama ini kita
selalu berlari bersama dengan garis akhir di halte bus dekat kantor gubernur
itu?”
“Haha. Terkadang aku jalan-jalan ke
timur juga, dengan kawan-kawanku.”
“Begitu?….”
“Ya,” sahutku, “tapi tunggu… aku
punya satu pertanyaan untukmu. Sungguh aku ingin menanyakan hal ini sejak lama,
namun aku tak berani mengungkapkannya.”
“Apa itu?”
“Mengapa tiap sore kau selalu
mengajakku untuk berlari ke barat?”
Aku siap mendengarmu bercerita.
Sepertinya sebuah kisah yang panjang. Kau memulainya dengan mengambil napas
beberapa kali dan sebelum memulai cerita kau mengambil satu napas yang panjang
dan dalam.
“Aku mencintai barat. Karena semua
berpusat di barat….”
Lantas kau mulai berkisah. Sejak
kecil kau selalu merasa bahwa semua hal pusatnya ada di barat. Itu sebabnya
barat lebih maju dari timur. Kau ingin menjadi bagian dari kemajuan itu.
Kemajuan zaman, kemajuan teknologi, kemajuan ilmu pengetahuan, kemajuan
pembangunan, kemajuan cara berpikir, dan segudang kemajuan lain. Semuanya
lantas membuatmu tergila-gila pada barat. Ketergilaanmu membuat kau tak
mengerti timur sama sekali.
Suatu hari, katamu, ketika kau masih
duduk di kelas lima sekolah dasar, kau sedang membuka-buka buku atlas dunia.
Kau membuka lembarannya secara acak. Ketika itu kau menemukan bahwa ibukota
sebuah negara selalu ada di barat. Jakarta ada di barat. Kuala Lumpur ada di
barat. Paris ada di barat. Amsterdam ada di barat. New Delhi juga ada di barat.
Dan sampailah kau pada sebuah kesimpulan yang kau bikin ketika itu: barat
selalu lebih maju dari timur karena ibukota selalu ada di barat. Kau
menyimpulkannya, memegangnya, dan mempercayainya.
Bahkan kemudian ketika di
tahun-tahun berikutnya, ketika katamu, kau menemukan bahwa Tokyo, Washington
DC, Canberra, Beijing, London, Roma, dan Berlin semuanya ada di timur, kau
tetap mempercayai keyakinan-kelas-lima-SD-mu itu.
Bahwa barat selalu lebih maju dari
timur karena ibukota selalu ada di barat.
Apalagi, kau bilang, barat identik
dengan Eropa dan Amerika.
“Haha. Itu karena letak kedua benua
itu memang di sebelah barat Indonesia. Kau aneh.” Aku menyela ceritamu.
“Ssst. Dengarkan dulu.”
Aku terdiam, menahan tawaku, dan
kembali berkonsentrasi pada kisahmu tentang barat dan timur ini.
Kau berkata bahwa kau sangat
menikmati barat dengan segala nuansanya: gedung bertingkat, mobil-mobil mewah
supermahal yang melaju dengan anggun di atas jalanan aspal yang mulus, mal-mal
yang tidak pernah sepi dikunjungi ribuan orang, dan bangunan-bangunan lain. Di
barat kau juga melihat orang-orang berjas dan berdasi yang tampak gagah dan gigih memperjuangkan idealisme mereka, ribuan
orang berkemeja yang menyesaki jalanan di pagi dan sore hari, dan banyak
golongan manusia lainnya.
Katamu kau seperti telah melihat
Kuala Lumpur, Paris, Amsterdam, dan New Delhi sekaligus.
Aku sekarang jadi paham mengapa kau
selalu tersenyum-senyum sendiri ketika kita sampai di garis akhir kita, di
halte bus dekat kantor gubernur itu. Kau tersenyum ketika jalanan ramai oleh
mobil dan pekerja kantoran, kau tersenyum ketika melihat kantor gubernur, dan
kau tersenyum ketika melihat beberapa orang keluar dari kantor gubernur dengan
pakaian rapi dan dagu terangkat—kau tak pernah tahu siapa mereka sesungguhnya
ketika suatu kali kau kutanyai.
“Lalu apa yang kau harapkan dari
rencanamu pergi ke timur besok?” tanyaku.
Kau menerawang—tak jelas juga
sebenarnya apakah kau sedang berpikir menerawang atau melihat dua ekor cicak
yang sedang berkejaran di plafon. Aku jadi berpikir, mungkin ketika kita sedang
berlari bersama di sore hari, orang lain bisa jadi melihat kita seperti dua
ekor cicak ini. Entahlah.
“Emmm….”
Akhirnya kau memalingkan pandangan
dari entah-apa-yang-kau-pandang-tadi. Lantas kau bilang bahwa kau ingin tahu
bagaimana timur.
“Di timur nanti kita akan melihat
hutan, jalanan berbatu, dan bukit-bukit kecil dengan air terjun yang suara
gemericiknya menenteramkan hati. Tapi sepertinya di Tokyo, Washington DC,
Canberra, Beijing, London, Roma, dan Berlin, kau tak akan menemui itu semua.
Sudah kubilang, kesimpulan yang selama ini kau yakini itu tak benar. Barat tak
selalu lebih maju dari timur.”
“Diamlah. Aku sedang tak ingin
berdebat saat ini. Pokoknya besok temani aku, kita akan berlari ke timur.” Kau
beranjak.
Mendadak aku merasa sedih karena kau
akan pergi. Kucari-cari alasan untuk menahanmu sejenak lebih lama, dan jus
tomat menyelamatkanku.
“Tunggu sebentar. Aku harus
menghabiskan jus tomat ini.”
“Kenapa begitu? Nanti saja bisa,
kan? Aku harus segera pulang.”
Kita, tiap sore, selalu menghabiskan
jus tomat dan jus wortel bersama-sama. Selalu di kafe pinggir jalan tak jauh
dari kantor gubernur itu, tak pernah di tempat lain.
Selalu hanya kita berdua. Aku minum
jus tomat, kau pesan jus wortel.
“Baiklah. Segera habiskan.”
Sungguh aku senang mendengar
kesediaanmu menemaniku minum jus tomatku kali ini. Ini berarti aku belum
kehilangan satu pun kesempatan minum bersamamu tiap sore, selama tiga bulan
sejak perkenalan kita.
“Terima kasih.”
“Sama-sama. Aku pergi. Sampai jumpa
besok. Jangan lupa, besok kita ke timur.”
***
KALI
ini kita akan memulai sejarah. Untuk pertama kalinya kita akan berlari ke
timur. Dan kau, untuk pertama kalinya seumur hidupmu, akan menuju timur. Sesaat
lagi kau akan tahu bagaimana timur.
“Aku tak sabar.”
Ah, sungguh aku ingin sekali
tertawa. Jika kau tak berada di depanku saat ini, mungkin tawaku sudah lepas dari
tadi, dan suara tawaku akan terdengar sampai radius lima puluh meter. Ekpresimu
seperti murid taman kanak-kanak yang sedang menanti bus pariwisata yang akan
membawa mereka berdarmawisata ke kebun binatang, pantai, taman, atau museum.
Kita terus berlari ke arah timur,
entah akan berhenti garis akhir yang mana. Kita belum punya kesepakatan soal
itu. Atau mungkin jika nanti di timur ada halte bus dekat kantor gubernur, kita
akan bergenti di situ. Lalu mampir minum jus tomat dan jus wortel di kafe
pinggir jalan. Tapi setahuku, ketika dulu aku ke timur, tak ada halte bus,
kantor gubernur, dan kafe pinggir jalan.
“Kita sudah di bagian timur.” Ucapku
di tengah-tengah nafasku yang tinggal satu-satu. Sudah tiga bulan rutin lari,
nafasku tak juga panjang. Selalu pendek-pendek. Barangkali bawaan lahir atau
masalah genetika dari mbah buyutku.
Kau berhenti berlari. Badanmu
berputar-putar pelan, mengamati sekitar.
Hahaha. Raka, tak ada gedung
bertingkat disini. Tak ada jalanan mulus, mobil mewah, mal, halte bus kantor
gubernur, dan kafe pinggir jalan yang menjual jus tomat dan jus wortel.
Kau melihat ke bawah. “Jalannya
jelek sekali.”
Aku tersenyum. Maklum saja, namanya
juga jalan batu. Belum diaspal. Kalau tergenang air jelas becek, menyusahkan
tiap orang yang lewat entah ia jalan kaki atau naik kendaraan—lebih tepatnya
sepeda kayuh.
Kau mengajakku menuju pohon besar di
pinggir jalan dan duduk di bawahnya. Sambil menyeka keringat, kau bilang bahwa
ini sungguh di luar dugaanmu.
“Timur ternyata sungguh menyedihkan.
Bagaimana orang-orang timur hidup dengan kondisi seperti ini?”
“Raka, Tuhan menciptakan masalah
bersama dengan solusinya. Lagipula makhluk hidup diberi kemampuan beradaptasi.
Masa kau tak ingat pelajaran SD macam ini?”
Kau tersenyum pahit.
“Tidak mungkin….” Kau menggumam.
“Apanya?” Ah, gumamanmu terlalu
keras bagiku. Aku masih bisa mendengar suaramu, meski hanya samar-samar.
“Iya, tidak mungkin Tokyo,
Washington DC, Canberra, Beijing, London, Roma, dan Berlin seperti ini. Mereka
pasti sudah maju sekali.”
“Apa kubilang? Barat tidak selalu
lebih maju dari timur.” Aku bangga sekali mengucapkan ini. Rasanya aku berhasil
mematahkan teori yang sudah kau pegang selama belasan tahun dan sudah terpatri
dengan baik di dalam hati.
“Lantas apa yang selama ini kulihat?
Yang kulihat selalu barat lebih maju. Gedung ada dimana-mana, mobil mewah, dan
lain-lain. Sementara timur? Hanya jalanan berbatu yang becek ketika hujan dan
hutan rimbun yang entah makhluk buas macam apa sedang menunggu mangsa di dalam
sana.”
“Selama ini kau hanya memegang ekor
gajah, tapi kau mengatakan kau telah memahami gajah secara keseluruhan.”
Kau memandangku.
“Entahlah. Mungkin hanya di negara
ini saja yang baratnya lebih maju dari timur. Mungkin orang-orang di barat
merasa lebih eksklusif, mungkin orang-orang di barat tak tahu timur juga sama
sepertimu, dan banyak kemungkinan lain. Atau
mungkin saja orang-orang di barat yang berjas dan berdasi, yang tampak gagah dan pintar itu tak suka
jika timur menjadi semaju barat. Di sini, aku mengakui bahwa semua berpusat di
barat. Tetapi tetap saja, timur lebih indah dari barat.”
Kau mengangguk-angguk setuju.
Ah, ternyata lari kita sore ini
hanya sampai di sini. Sepertinya halte bus dekat kantor gubernur lebih jauh
daripada pohon ini.
“O iya, Raka. Bisakah kita terus
seperti ini?” tanyaku.
“Maksudmu lari tiap sore? Sepertinya
bisa saja. Aku suka lari sore hari, jadi tak masalah bagiku.”
“Bukan. Kita seperti ini, selalu
bersama.”
Kau mengernyitkan alis.
“Aku menyukaimu.”
Hening.
“APA?” tiba-tiba kau berdiri. Nada
bicaramu menjadi tinggi sekali. “Andre, kau sudah gila? Aku masih normal!!”
Tanpa pamit kepadaku, kau berlari
meninggalkanku. Kau berlari ke arah barat, entah kembali ke rumah, ke halte bus
dekat kantor gubernur, atau ke kafe pinggir jalan.
Aku kecewa. Kukira kegilaanmu kepada
barat—yang lebih berpikiran bebas—membuatmu bisa menanggapi hal-hal seperti
yang kurasakan dengan lebih
bijaksana. Kukira kau, jika memang masih normal, hanya akan tertawa dan
menganggap perasaan ini biasa saja meski tak menerimanya.
Matahari terus beranjak turun.
Beberapa menit lagi ia akan menghilang di barat. Aku berlari sambil menyeka air
mata, mengejar matahari terus ke arah barat, yang tenggelam di ujung dunia.
Tiba-tiba aku jadi membenci barat.
***
Note:
Cerpen yang panjang, kan? :)
Cerpen yang panjang, kan? :)
Well, saya sendiri pas semalam baca ulang cerpen ini, jadi senyum-senyum sendiri. Temanya agak aneh unik, dan mungkin jalan ceritanya juga agak aneh unik. Haha.
Bagaimanapun, cerpen ini pernah dimuat di Majalah Civitas Volume 8 Tahun V, April 2011. Hehe.
Kritik dan saran silakan dilemparkan diungkapkan di kolom komentar.
Doumo :)
Salam,
Wahyu Widyaningrum