Thursday, February 3, 2022

Kucing Hitam dan Gelas dari Nenek


 

       Seekor kucing hitam sekonyong-konyong melompat ke arahku. Tubuhku limbung, tanganku melepaskan gelas yang tengah kupegang. Aku sendiri berputar agak oleng demi menghindari si kucing, dan tangan kiriku melayang demi menjaga keseimbangan. Naas, bukannya keseimbangan yang kudapat, justru tangan kiriku ini menyambar serangkaian benda pecah belah di dekatku. Dalam waktu tak begitu lama, bunyi barang pecah—yang lebih terdengar seperti dentuman bom di kupingku—memenuhi ruangan.

     Sementara si kucing dengan seenaknya keluar rumah lewat pintu depan, pintu yang sama yang tadi ia masuki. Ia meninggalkanku dalam keadaan tercengang.

    Kupandangi beberapa benda yang pecah berantakan. Benar-benar berantakan, karena beberapa pecahan masih ada di rak ketiga, tempat tanganku tadi menyambar. Beberapa lagi turun di rak pertama, dan sebagian besar mengotori lantai.

     Dengan berjingkat, kulangkahi semua pecahan-pecahan itu. Ah, kucing itu membuatku rugi setengah mati.

    Benda pecah-belah yang kupecahkan tadi adalah koleksiku, yang kukumpulkan dengan susah payah, melalui beragam pengorbanan. Anda juga tentu tahu, mengumpulkan koleksi tidak mudah. Lihat saja perjuangan para pengoleksi perangko. Filatelis itu bahkan harus mengeluarkan barang yang tidak sedikit demi perangko langka. Atau kisah para pengoleksi action figure berbagai tokoh. Bahkan yang hanya diproduksi beberapa unit dan harganya selangit, mereka rela membelinya. Demi apa? Tanya saja pada mereka.

     Aku masih lebih beruntung, karena belum pernah merogoh kantong demi koleksi-koleksiku. Hanya perlu mengeluarkan uang sejumlah ala kadarnya untuk kumasukkan dalam amplop, dan berharap semoga kedua mempelai bahagia. Selebihnya? Aku makan-makan sampai kekenyangan, tertawa-tawa dengan kawan-kawan yang juga hadir, dan koleksiku bertambah satu. Atau lebih, jika teman-temanku tadi mau memberikan milik mereka untukku.

    Betul, kuakui upayaku untuk mengumpulkan koleksiku sangat minimal. Jangan kaubandingkan dengan kolektor-kolektor yang tadi sudah kusebutkan. Tapi seperti juga sudah kubilang tadi, hancurnya benda-benda kesayanganku ini membuatku rugi. Sebab sebuah gelas mungil pemberian almarhum nenekku juga pecah. Gelas itu berada di antara koleksiku yang lain. Kata nenekku dulu, gelas tersebut berusia lebih tua daripada buyutnya buyutnya nenek—entah berapa generasi sebelum nenek.

Kemarin aku mendapat pesan pribadi dari seseorang. Ia mengutarakan minatnya untuk membeli gelas tersebut seharga tiga puluh juta rupiah.